Jumat, 29 Januari 2010

Mendobrak Konservatisme Pembelajaran Agama Islam

Masyarakat Islam di bangun atas dasar prinsip-prinsip keimanan dan akhlakul karimah. Karena itu, perwujudan nilai-nilai Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari sangat ditekankan dalam pandangan hidup islami. Hal ini menjadi kerangka berpikir yang jelas bahwa menjadi seorang muslim yang kaffah mensyaratkan suatu bukti, yaitu bahwa keimanannya harus diwujudkan dalam kehidupan nyata, baik secara personal (kesalehan individual) maupun dalam interaksinya dengan kehidupan masyarakat luas (kesalehan sosial).

Namun demikian, sejauh ini protret seorang muslim kaffah, yang pada pribadinya tumbuh dan berkembang sikap-mental yang kuat dan konsisten serta memiliki sifat-sifat mulia, seperti; mandiri, bertanggung jawab, adil, kreatif, peduli terhadap sesama, cinta lingkungan dan memiliki dedikasi yang tinggi terhadap perjuangan kemanusiaan (jihad fi sabilillah) dan sebagainya, ternyata masih jauh dari kenyataan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita masih sering menyaksikan adanya seseorang yang mengaku muslim, tetapi belum mau dan mampu menjalankan rukun Islam. Hal ini dapat terjadi karena beberapa sebab. Pertama, masih rendahnya pemahaman terhadap ajaran Islam. Kedua, lemahnya semangat atau belum tumbuhnya kesadaran untuk menjalankan rukun Islam secara maksimal. Kesadaran rasionalnya, masih terbelenggu oleh emosionalitas personal yang cenderung malas, cepat bosan, kurang disiplin, tidak memliki visi hidup yang lebih baik dan sebagaiya. Ketiga, pengaruh budaya global yang cenderung mengedepankan gaya hidup materialis, hedonis, instant, dan sebagainya. Ketiga faktor ini, secara simultan menjadikan kepribadian umat compang camping.
Demikian juga dalam kehidupan sosial, kita masih dihadapkan pada berbagai persoalan umat, seperti; kemiskinan dan keterbelakangan yang masih menjerat sebagian besar umat Islam, hubungan antar aliran keagamaan yang kurang sehat, klaim kebenaran (truth claim) dari salah satu aliran keagamaan tertentu, lemahnya tatanan ekonomi dan sosio-budaya umat, serta terfragmentasinya kekuatan politik umat Islam. Inilah sederetan persoalan umat Islam yang muncul di permukaan yang jika ditelusuri, maka muaranya adalah rendahnya kualitas pendidikan Islam di Indonesia.


Kemudian, dalam hubungannya dengan pendidikan Islam ini, maka aspek yang paling menentukan adalah menyangkut pembelajaran agama Islam. Tulisan ini akan memfokuskan pada upaya mendobrak konservativisme pembelajaran agama Islam yang berkembang di masyarakat pada umumnya dan di lembaga-lembaga pendidikan Islam (madrasah) khususnya.

Visi Pembelajaran
Proses pembelajaran adalah proses pengembangan potensi seseorang untuk lebih manusiawi (being humanize). Karena itu, visi atau tujuan utama pembelajaran adalah proses menjadi dewasa dan mandiri. Demikian halnya dengan pembelajaran agama Islam, essensinya adalah proses humanisasi, yaitu proses menjadikan sosok pribadi yang pada mulanya lemah menjadi kuat dalam aspek mental, pengetahuan dan ketrampilan, pribadi yang tergantung menjadi mandiri, pribadi yang belum tahu ajaran Islam dan kehidupan menjadi tahu dan mampu menjalankan ajaran Islam dan disiplin, pribadi yang belum tahu hukum menjadi taat hukum, dan sebagainya. Prinsipnya, pembelajaran agama Islam itu tujuan utamanya adalah "memanusiakan" manusia.


Dalam konteks "memanusiakan" manusia ini, bisa kita lihat secara praktis dalam perbedaan antara kanak-kanak (child) dengan orang dewasa (adult). Perbedaan antara keduanya dapat diringkas dalam satu kata, yaitu kemampuan (ability). Kemampuan ini, umumnya berkaitan dengan tiga hal, yaitu; pengetahuan (knowledge), sikap (know-why, attitude) dan keterampilan (know-how, skill). Masa kanak-kanak memiliki pengetahuan yang amat terbatas dalam segala hal, baik menyangkut dirinya, orang lain, alam semesta, dan apalagi tentang Allah SWT. Kanak-kanak juga belum mampu menentukan sikap, apakah harus positif atau negatif, kritis atau nrimo, terhadap hampir semua hal yang terjadi di sekitarnya. Dalam hal keterampilan, kanak-kanak juga masih sangat terbatas, entah itu yang bersifat pertukangan (memukul, memanjat, memutar, membuka dan sebagainya) maupun kemampuan non teknis-kemanusiaan, seperti komunikasi, kepemimpinan, manajemen dan human skill lainnya. Dalam konteks inilah proses pembelajaran berfungsi, yaitu menjadikan seorang manusia menjadi semakin mampu, berdaya dan semakin merdeka dari segala hal di luar dirinya (Harefa,2000: 37).
Sebagai manusia muslim, maka dirinya semakin yakin terhadap realitas mutlak, yaitu Allah SWT, pencipta dirinya dan kehidupan alam raya, sadar terhadap makna kehadiran dirinya dengan seperangkat peran dan fungsinya, semakin mampu memenuhi kewajiban dan hak-haknya sebagai warga dunia dan pada akhirnya ia tetap sadar bahwa nantinya akan kembali kepada pencipta-Nya, Allah SWT.

Problem Pembelajaran
Tetapi, proses pembelajaran yang terjadi sementara ini, ternyata belum membuat orang terbuka pikirannya, apalagi peka nuraninya. Sekolah-sekolah kita pada umumnya dan madrasah-madrasah khususnya cenderung berperan sebagai lembaga pengajaran (teaching) atau bahkan pelatihan (training), ketimbang menjadi lembaga pembelajaran (learning). Artinya bahwa pendidikan kita baru bisa melahirkan orang-orang pintar (termasuk pintar agama) tetapi belum dewasa dan mandiri. Mengapa demikian? Karena proses pembelajaran yang terjadi di dalam lembaga-lembaga pendidikan kita masih sebatas transfer pengetahuan (knowledge). Peserta didik memang mampu mendefinisikan sesuatu obyek, mampu mendefinisikan iman, islam dan ihsan, tetapi tidak mampu memaknainya, apalagi mengembangkannya secara kreatif-inovatif. Ironisnya lagi, sekolah-sekolah kita cenderung menginginkan lulusan yang gemilang dengan melupakan pembentukan karakter dan kepribadian (Peter Drost, 1998: 251). Hal ini persis seperti dongeng mengenai angsa dan telur emas karangan Aesopus.
Aesopus menggambarkan ada seorang petani yang tidak sabar hanya mendapatkan satu telur emas setiap harinya. Lantas, ia menyembelih angsa itu untuk mengambil semua telur emas yang ada di dalam perutnya. Ternyata kosong. Akhirnya, angsa itupun mati serta tidak ada lagi telur emas. Ini berarti, petani itu hanya mengejar hasil, tetapi melupakan kemampuan berhasil. Inilah gambaran sederhana pembelajaran di sekolah-sekolah kita.


Apa hasil dari pembelajaran seperti di atas? Hasilnya adalah robot. Warga belajar hanya dapat menirukan apa yang ditransfer/diajar guru. Warga belajar tidak mampu mengaktualisasikan potensi kreatifnya ataupun menentukan jalan hidupnya sendiri. Akibatnya, kemampuan berhasil anak menjadi mati atau menjadi manusia dengan karakter dan kepribadian yang mati. Proses ini memperkuat masalah besar, yaitu generasi kita menjadi generasi egosentris, bahkan egoistis. Generasi kita terjebak pada semangat untuk mencapai hasil yang dituntut dirinya sendiri dan juga para guru yang dilakukan dengan cara manipulasi.


Bagaimana dengan pembelajaran agama Islam? Sejauh ini pembelajaran agama Islam tidak jauh berbeda dengan kondisi pembelajaran pada umumnya. Proses yang terjadi sejauh ini belum menunjukkan sebagai proses pembelajaran agama yang sebenarnya, tetapi cenderung baru sebatas pengajaran agama.


Pembelajaran agama Islam masih terpola dengan ritualisme pengajaran konvensional, yaitu terpaku pada lima proses; 1) diajar, 2) diset menjadi pekerja (tukang) ibadah, 3) dites, 4) dinilai, 5) dirangking. Proses semacam ini akibatnya melahirkan generasi "setengah matang". Pesan-pesan Islam yang dipelajari, difahami baru sebatas sebagai "a body of information" daripada sebagai "a body of experience". Nilai-nilai Islam yang tersurat dan tersirat di dalam Alquran dan Sunnah Nabi yang sebenarnya memiliki muatan makna sangat luas dan mendalam, belum mampu menjadi sumber inspirasi dan motivasi yang memperkaya khazanah pengetahuan yang akan melahirkan pengalaman-pengalaman hidup yang lebih kreatif dan inovatif.


Karena itu, generasi kita memang pandai membaca teks kitab suci dan kemungkinan malah rutin menjalankan berbagai praktek ibadah ritual. Tetapi, apa yang dilakukan itu belum membentuk sikap-mental yang kuat dan gaya hidup yang mencerminkan pribadi muslim yang santun, simpatik dan memiliki ketrampilan sosial (social skill) yang tinggi. Mengapa demikian? Karena cara berpikirnya monolitik dan dikhotomis, yaitu pikiran yang hanya mampu menerima kebenaran (informasi) secara diametral. Kecerdasan intelektualnya mampu berkembang dengan cepat, sementara kecerdasan emosionalnya mandeg. Akibatnya, generasi semacam ini pikirannya selalu tertutup, tidak mau menerima wacana (discourse) hidup yang baru, yang berasal dari luar dirinya. Inilah salah satu sebab utama yang menjadikan masyarakat Islam sulit memiliki perspektif yang sama dalam melakukan perjuangan di ranah sosial, ekonomi dan politik.


Bagi kebanyakan anak-anak muslim khususnya dan masyarakat muslim pada umumnya, pesan-pesan Islam belum mampu menjadi sumber inspirasi dan dipandang kurang bermakna (meaningless) dan bahkan dipandang kurang relevan dengan kehidupan pribadi serta pengalaman-pengalaman kehidupan mereka. Islam baru dipahami sebagai seperangkat praktek ritual yang tidak bersentuhan dengan realitas kemanusiaan. Implikasi sosialnya, masyarakat Islam masih terus terjerat kemiskinan, terbelakang, mudah tersinggung, gampang mencaci maki satu dengan yang lain, dan sebagainya. Semua ini, adalah akibat dari proses pembelajaran agama Islam yang baru sebatas pengajaran.

Visi Pembelajaran Agama Islam
Visi tentang pembelajaran agama Islam yang dimaksud di sini adalah mencoba membedakan antara pengajaran tentang Islam (teaching about Islam) dan pembelajaran tentang bagaimana menjadi seorang muslim (teaching about being moslem). Telah disebutkan di depan bahwa umumnya para pendidik muslim, dalam pengajarannya lebih menekankan tentang informasi dan fakta-fakta tentang Islam (fact about Islam), karena hal ini memang lebih mudah dan sebenarnya merupakan pendekatan yang kurang diperlukan (Abdul Goffar, 2004). Karena kita memang belum menjumpai suatu bentuk pengembangan program yang sistematik untuk melakukan proses pembelajaran generasi kita untuk "menjadi muslim (being moslem). Karena hal ini memang memerlukan upaya yang lebih rumit dan pemahaman yang mendalam, baik berkaitan dengan karakter ilmiah generasi muslim maupun ajaran Islam itu sendiri.


Visi sebenarnya dari pembelajaran Islam itu bukanlah "mengisi" otak generasi kita dengan informasi-informasi tentang Islam, tetapi lebih terletak pada bagaimana mangajarkan pada generasi kita untuk menjadi muslim yang baik (kaffah). Karena itu, visi pembelajaran Islam perlu perpijak pada pemahaman yang utuh bahwa pesan-pesan Islam itu harus memfokuskan pada pengembangan kepribadian (personality) dan akhlak generasi, serta lebih memperhatikakn pada kebutuhan dan harapan riil masyarakat kita (relevansi sosial). Di samping itu, pembelajaran itu juga perlu mempersiapkan generasi dengan daya kritis (critical thinking) dan ketarmpilan memecahkan masalah (problem solving skill) yang sangat diperlukan dalam peran sertanaya dalam kehidupan bermasyarakat.


Dalam konteks inilah, maka visi pembelajaran Islam harus mampu mengembangkan beberapa muatan berikut: 1) bermakna (meaningful), 2) terintegrasi (emosional, sosial, intelektual dan fisik), 3) berbasis nilai Islam, 4) menanatang (challenging), 5) menawarkan sesuatu yang baru (up-to date).
Implementasinya, lembaga-lembaga pendidikan Islam (khususnya madrasah-madrasah, pondok pesantren, perguruan tinggi Islam dan sebagainya) juga masyarakat Islam (khsususnya orang tua) harus mampu mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana generasi itu tumbuh dan belajar. Kita harus paham mengenai proses pengembangan moral dan metode yang efektif dalam proses pembelajaran. Dengan begitu, maka generasi kita akan tumbuh dan berkembang menjadi generasi yang memiliki moralitas yang tinggi, yang merupakan sinergi antara akal, rasa dan nurani dan sekaligus memiliki peluang-peluang untuk tahu dan mampu mengaplikasikan nilai-nilai Islam secara nyata dalam kehiudupan sehari-hari.

Visi pembelajaran Islam seperti di atas dapat diaplikasikan dengan fokus utama pembelajarannya pada; 1) pengembangan kepribadian (personality) dan akhlak, 2) terkait dengan persoalan nyata, 3) mempersiapkan generasi dengan daya kritis, keterampilan memecahkan masalah, 4) para pendidik yang memiliki pemahaman proses pemkembangan moral dan metode pembelajaran yang efektif.


Praktisnya, tanpa pemahaman yang tepat terhadap sistem nilai Islam, maka tipis harapan visi pembelajaran Islam dapat tercapai. Bagaimanapun juga, sekarang ini, sekolah-sekolah Islam memiliki peran yang krusial untuk memainkan peranannya dalam mengembangkan solusi-solusi dan program-program yang kongkrit untuk memberikan pemahaman yang tepat terhadap para siswa, tanpa menafikan pentingnya peran dan tanggung jawab keluarga dalam proses pembelajaran ini.


Patut memberikan rasa optimisme bahwa beberapa dekade terakhir ini, di Indonesia, khususnya di Yogyakarta dan beberapa kota lainnya, telah berkembang kesadaran untuk memperbaiki konservativisme pembelajaran agama Islam dan mengembangkan program-program pembelajaran alternatif yang dikemas dalam sekolah islam terpadu, seperti (TKIT, SDIT, SMPIT, SMAIT dan sebagainya).


Proses pembelajaran agama Islam yang efektif itu haruslah aktif. Studi Islam itu mesti mampu memenuhi kebutuhan utama, baik kebutuhan peserta didik maupun para pendidiknya (guru/ustazd). Para guru dituntut aktif dan genuin terlibat dalam proses pembelajaran, seperti; membuat perencanaan, memilih dan menyesuaikan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi generasi mendatang, serta tetap berjalan dalam koridor perundang-undangan. Guru yang efektif haruslah dipersiapkan dengan baik dan dilakukan up to date secara kontinyu terhadap ilmu pengetahuan, metode pengajaran yang efektif, kebutuhan para peserta didik, dan pengembangan keterampilan (skill) mengajarnya. Dengan kata lain, belajar haruslah aktif, dengan menekankan proses belajar interaktif yang mengajak peserta didik berpartisipasi secara aktif dalam proses tersebut.


Beberapa hal di atas adalah faktor-faktor kunci dalam proses pembelajaran agama Islam yang efektif. Dengan begitu, maka pembelajaran agama Islam ke depan diharapkan mampu menumbuh-kembangkan generasi muslim dengan tingkat pemahaman keislaman yang tinggi dan komitmen serta tanggung jawab sosial yang tinggi pula. Generasi semacam inilah yang mampu memotivasi dan memberdayakan masyarakat secara efektif. Pembejalaran agama Islam harus mampu mencetak generasi muslim yang memiliki kemampuan mengidentifikasi, memahami dan bekerja secara kooperatif untuk memecahkan berbagai persoalan keummatan dimana mereka tinggal, dan meproyeksikan kegemilangan peadaban Islam di masa depan.



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

0 komentar:

Posting Komentar