Selasa, 16 Oktober 2012

Keutamaan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah

Bulan Dzulhijjah ternyata memiliki keutamaan yang luar biasa, utamanya 10 hari pertamanya. Untuk menambah wawasan tentang keutamaan 10 hari pertama bulan yang juga dinamakan bulan haji ini, kami sajikan tulisan dari ustadz H. Ridwan Hamidi, Lc, yang memiliki kompetensi dalam bidang ilmu hadits khususnya dan ilmu keislaman pada uumnya.

Sebuah karunia Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa yang sangat besar, disediakan untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, musim-musim untuk memperbanyak amal shaleh. Dengan hikmah-Nya Allah melebihkan zaman atau waktu tertentu untuk beramal shalih. Beberapa amalan di dalamnya dilipatkan. Di antara musim-musim tersebut adalah sepuluh hari (pertama) bulan Dzulhijjah yang keutamaannya dinyatakan dalam dalil-dalil dari al Qur’an dan Sunnah: 1. Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa: وَالْفَجْر وَلَيَالٍ عَشْر الفجر “Demi fajar dan malam yang sepuluh” (QS. Al Fajr[89]:1-2) Kebanyakan ahli tafsir (diantaranya Ibnu Abbas, Abdullah bin az Zubair dan Mujahid) menafsirkan bahwa makna “Malam yang sepuluh” adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Sumpah Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa atas waktu tersebut menunjukkan keagungan dan keutamaannnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/535 dan Zaadul Maad 1/56). 
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan maknanya: والليالي العشر: المراد بها عشر ذي الحجة. كما قاله ابن عباس، وابن الزبير، ومجاهد، وغير واحد من السلف والخلف. (Dan demi malam yang sepuluh): maksudnya adalah sepuluh hari (pertama) pada Dzulhijjah. Sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas, Ibnu Az Zubair, Mujahid dan beberapa ulama lain dari kalangan salaf dan khalaf. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 8/390. Dar Ath Thaybah) 2. Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman: لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ “Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan atas rizki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (QS. Al Hajj [22]: 28) Ibnu Abbas menjelaskan bahwa, “(Yang dimaksud hari-hari yang telah ditentukan adalah) 10 hari pertama (bulan Dzulhijjah).” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir). 3. Shahabat Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: «مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ. قَالَ «وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ». “Tidak ada hari-hari yang di dalamnya amalan shaleh, yang paling dicintai oleh Allah kecuali hari-hari ini, yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah” Para shahabat bertanya “Wahai Rasulullah: Tidak juga jihad (lebih utama dari itu)? Beliau menjawab: “Tidak juga jihad, kecuali seseorang yang keluar berjihad dengan jiwa dan hartanya, kemudian kembali tanpa membawa sesuatupun” (HSR. Abu Daud 2440, At Tirmidzi 757, Ibnu Majah 1727, Shahih Ibnu Hibban 324 dan Shahih Ibnu Khuzaimah 2865). Dalam Shahih Bukhari (926) diriwayatkan dengan lafadz: مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ. قَالُوا: وَلَا الْجِهَادُ؟ قَالَ: وَلَا الْجِهَادُ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ. “Tidak ada amal perbuatan yang lebih utama dari (amal yang dilakukan pada) sepuluh hari bulan Dzulhijjah, Para shahabat bertanya: “Tidak juga jihad (lebih utama dari itu)?”, Beliau menjawab: “Tidak juga jihad, kecuali seseorang yang keluar berjihad dengan jiwanya dan hartanya kemudian kembali tanpa membawa sesuatupun.” Imam Nawawi dalam Riyadhush Shalihin menempatkan hadits ini dalam bab ke 226 dengan judul: “Keutamaan puasa dan (ibadah-ibadah) lainnya pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah.” Imam Ibnu Rajab Al Hambali menuturkan, “Hadits Ibnu ‘Abbas di atas menunjukkan bahwa amalan di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari lainnya tanpa ada pengecualian.” (Lathaaiful Ma’aarif, 295) 4. Imam Ahmad -rahimahullah- meriwayatkan dalam Musnad-nya, dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلُ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنْ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ “Tidak ada hari-hari yang lebih agung dan amal shalih yang lebih dicintai oleh Allah padanya, melebihi sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, maka perbanyaklah pada hari itu tahlil (Laa ilaaha Illallaah), Takbir (Alloohu Akbar) dan Tahmid (Alhamdulillaah).” (HR Ahmad 6154, Syu’aib al Arnauth mengatakan: Ini hadits shahih). 5. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Qurath Radliyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: إِنَّ أَعْظَمَ الأَيَّامِ عِنْدَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَوْمُ النَّحْرِ ثُمَّ يَوْمُ الْقَرِّ ”Sesungguhnya hari yang paling agung di sisi Allah Tabaaroka wa Ta’aalaa adalah hari an nahr (Idul Adha) kemudian yaumul qorr (hari setelah hari an nahr).” (HSR. Abu Daud 1765, Ibnu Hibban, 2811 Ibnu Khuzaimah 2866, al Hakim 7522. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh al A’zhami mengatakan sanadnya shahih). Imam Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Ini menunjukkan bahwa amalan mafdhul (yang kurang keutamaannya) jika dilakukan di waktu afdhal (lebih utama) untuk beramal, maka itu akan mengimbangi dan melebihi amalan afdhal (amalan utama) yang dikerjakan di waktu-waktu lainnya, karena pahalanya yang akan dilipatgandakan.” (Lathaaiful Ma’aarif, 289). Al Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan dalam kitabnya Fathul Baari (Syarah Shahih Bukhari): “Tampaknya sebab mengapa sepuluh hari Dzulhijjah diistimewakan adalah karena pada hari-hari tersebut merupakan waktu berkumpulnya ibadah-ibadah utama; yaitu shalat, shaum, shadaqah dan haji, yang (semua) ini tidak terdapat pada hari-hari yang lain.” (Fathul Baari, 2/460). Jika seseorang bertanya: ”Manakah yang afdhal (lebih utama) sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan ataukah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah?” Imam Ibnul Qayyim – rahimahullah - menjelaskan, “Jika dilihat pada waktu malamnya, maka sepuluh terakhir bulan Ramadhan lebih utama dan jika dilihat waktu siangnya, maka sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama” (Lihat Zaadul Ma’ad 1/57) Sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan menjadi lebih utama karena adanya Lailatul Qadr, dan Lailatul Qadr ini merupakan bagian dari waktu malamnya, sedangkan sepuluh hari (pertama) Dzulhijjah menjadi lebih utama karena siangnya, yang di siang tersebut terdapat yaumun Nahr (hari berkurban), hari ‘Arafah dan hari Tarwiyah (hari ke delapan Dzulhijjah). Bagaimana para ulama kita mengisi 10 hari pertama bulan Dzulhijjah? Mari kita simak apa yang dilakukan oleh rawi hadits setelah mengetahui keutamaan yang begitu besar tersebut? كاَنَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْر إِذَا دَخَلَ أَيَّامَ اْلعَشْرِ اجْتَهَدَ اجْتِهَادًا شَدِيدًا حَتَّى ما يَكَادُ يَقْدِرُ عَلَيْهِ “Adalah Sa’id bin Jubair – rahimahullah - (beliau yang meriwayatkan hadits Ibnu Abbas), jika datang sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah sangat bersungguh-sungguh hingga hampir saja dia tidak mampu (melaksanakannya)” (HSR. Darimi, 1774 dan Al Baihaqi dan Syu’abul Iman 3476, dengan sanad yang hasan. Lihat Irwaul Ghalil, 3/398 dan Shahih at Targhib wat Tarhib, 1248). Sa’id bin Jubair –rahimahullah- juga mengatakan: “Jangan kalian matikan lampu rumah kalian pada malam-malam sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” Agar bisa terus beribadah. (Hilyatul Awliya’ 4/281 dan Siyar A’laam an Nubala’ 4/326). Para ulama salaf dahulu, sangat mengagungkan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ini. Mereka berusaha untuk tidak berbuat kesalahan dan dosa. Bahkan ketika menyebutkan hadits dla’if (lemah), di antara mereka ada yang berusaha untuk menghindar. Tidak mau menyebutkannya. Memilih untuk melakukannya setelah 10 hari pertama ini berlalu. Al Bardza’i menyebutkan dalam bukunya yang berisi pertanyaan-pertanyaannya kepada Imam Abu Zur’ah ar Raazi. Beliau berkata: “Saya bertanya kepada Imam Abu Zur’ah tentang hadits Ibnu Abi Haalah yang berisi sifat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Beliau enggan membacakannya kepadaku. Beliau mengatakan: “Di dalamnya ada perkataan (pembahasan) yang saya takut kalau itu tidak shahih.” Ketika saya desak, beliau menjawab: “Tundalah sampai keluar dari 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, karena saya tidak senang menyampaikan hadits seperti ini pada 10 hari pertama ini.” Maksudnya hadits Abu Ghassaan dari Jami’ bin Umar. (Abu Zur’ah ar Raazi wa juhuduhu fis sunnah an nabawiyah ma’a tahqiq kitabihi Adl Dlu’afaa wa Ajwibati Abi Zur’ah ‘ala su-aalaat al Bardza’i, 2/550-551). Ini semua menunjukkan bahwa 10 hari pertama bulan Dzulhijjah memiliki keutamaan yang sangat besar. Sehingga sangat layak untuk kita berikan perhatian lebih dibanding hari-hari lain. Catatan: Berdasarkan kalender Ummul Quro Saudi Arabia (http://www.ummulqura.org.sa/Index.aspx) dan kalender Muhammadiyah, tgl 1 Dzulhijjah insya Allah jatuh pada hari Selasa 16 Oktober 2012, ba’da maghrib. Selengkapnya...

Minggu, 15 Juli 2012

Yasri Sulaiman: Inspirator Para Trainer di Jogja

"Yasri Sulaiman adalah seorang pelatih (trainer) yang banyak memberikan inspirasi kepada para pelatih di Yogyakarta dan kota-kota lain yang tersebar di berbagai daerah".  Demikian pernyataan Zainudin Fanani AN pada launching Aula Yasri Sulaiman di Graha Edukasi kompleks Yayasan SPA Yogyakarta. Bukan hanya sebatas trainer, tetapi pria kelahiran Bangka ini juga sekaligus menjadi guru, sahabat dan orang tua yang sangat menghargai kehadiran setiap orang.
Pikiran dan waktunya praktis  diorientasikan untuk mengembangkan orang lain atau lembaga-lembaga sosial, pendidikan, keagamaan dan lain-lainnya. Sebagai contoh di antara lembaga pendidikan yang sekarang menjadi unggulan di kawasan Yogyakarta dan sekitarnya, yaitu SD Muhammadiyah Condongcatur, tidak bisa menafikan peran Pak Yasri Sulaiman dalam membangun kembali eksistensi lembaganya di saat mengalami masa kritis. Pak Yasri Sulaiman, yang pada saat itu putrinya menjadi siswa di SD tersebut, mencurahkan sepenuhnya segenao kemampuan untuk memberdayakan manajemen sekolah dan seluruh stakeholdernya untuk bangkit menjadi lembaga pendidikan unggulan seperti sekarang ini.
semua koleganya terhenyak - setengah tidak percaya - bahwa orang yang dermawan ini, ternyata belum berumur pamjang. Pada usianya yang baru 47 tahun, Pak Yasri Sulaiman wafat meninggalkan seorang istri, Mikhriani, MM dan satu orang putri Kun Amiroh.
"Karena itulah, untuk terus menghidupkan pikiran-pikiran inspiratif pak Yasri Sulaiman,   Yayasan SPA Yogyakarta yang sekarang ini mengelola 15 lembaga pendidikan formal dari TK sampai Perguruan Tinggi, setelah menamakan salah satunya aulanya dengan nama "Aula Yasri Sulaiman". Aula ini akan diperuntukkan untuk tempat berbagai macam pelatihan yang berorientasi pada pengembangan sumber daya manusia". Demikian penjelasan H. RUA Zainal Fafani, MM, NLP, sebagai ketua yayasan pada peresmian Aula Yasri Sulaiman, Jum'at 13 Juli 2012.
Hadir pada launsching tersebut istri pak Yasri, Ibu Hj. Mikhriani, pada murid dan koleganya yang sekarang ini tersebar aktif di berbagai lembaga pendidikan, pelatihan, konsultan dan sebagainya. Selengkapnya...

Sabtu, 14 Januari 2012

Dzikir di Waktu Petang - Sayyidul Istighfar

Sayyidul Istighfar merupakan salah satu zdikir di waktu petang, tetapi baik juga untuk amalan dzikir di waktu pagi. Berikut bacaan Sayyidul Istighfar:


اَللّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لاَاِلهَ إِلاَّ أَنْتَ, خَلَقْتَنِي وَأَنَاعَبْدُكَ, وَأَنَاعَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَااسْتَطَعْتُ, أَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّمَاصَنَعْتُ, أَبُوْءُلَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ, وَأَبُوْءُ بِذَنْبِي فَاغْفِرْلِي فَإِنَّهُ
لاَيَغْفِرُالذُّنُوْبَ اِلاَّ أَنْتَ

Allaahumma anta rabbi laa-ilaaha il-laa anta, kholaqtanii wa-anaa ‘abduka, wa-anaa ‘alaa ‘ahdika wa-wa’dika mas-tatho’tu, a’uu-dzubika min syarrimaa shona’tu, abuu-ulaka bini’matika ‘alayya, wa-abuu-u bidzan-bi fagh-firlii fa-innahu laa yaghfirudz-dzunuuba il-laa – anta.

Artinya:

“Yaa Allah, Engkau adalah Rabb-ku, tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) kecuali Engkau, Engkaulah yang menciptakan aku. Aku adalah hamaba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau”. (Hadits Riwayat Al Bukhari)

Selengkapnya...

Selasa, 26 April 2011

Pelatihan Kepala Sekolah SD Muhammadiyah Kabupaten Magelang

Rabu pagi, 27 April 2011 yang mencerahkan dan menggairahkan terjadi di Gedung Pertemuan SD Muhammadiyah Gunungpring Muntilan Magelang. Satu persatu para "Mujahid-Mujahidah" - menurut istilah ketua pania, Bapak M. Yusuf, S.Pd.I - memenuhi ruangan. Tepat pukul 08.15 WIB acara Pelatihan Pengelolaan dan Peningkatan Mutu Sekolah Muhammadiyah Kabupaten Magelang dimulai.

Pelatihan ini diikuti oleh kepala sekolah SD Muhammadiyah se-Kabupaten Magelang. "Pertemuan ini seperti mengumpulkan balung pisah", begitu sambutan ketua Panitia. Betul bahwa pertemuan kepala sekolah SD Muh sewilayah Kabupaten Magelang merupakan sesuatu yang luar biasa. Karena dengan pertemuan semacam itu, maka kita bisa menyelesaikan banyak pekerjaan dan bisa membuat banyak peluang untuk pengembaangan mutu pendidikan khususnya di tingkat dasar sekolah Muhammadiyah.
Di sisi lain,Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Periode 2005 - 2010, H. Sulistiyadi, M.Ag menyatakan bahwa budaya mutu perlu diberlakukan dan dibiasakan di sekolah Muhammadiyah, khususnya di tingkat Sekolah Dasar. Ke depan kita perlu membangun citra pendidikan Muhamamdiyah yang baik, di antaranya dengan penguatan RKAS, pendayagunaan MGMP dan jika perlu kerja sama dengan lembaga-lembaga konsultan yang berkomitmen di bidang pengembangan mutu pendidikan.
Pelatihan yang dilaksanakan selama dua hari ini difasilitasi oleh IndoConsultan2000 Yogyakarta.
Selengkapnya...

Senin, 11 Oktober 2010

Mengenal Kecakapan Emosi

Kita sering menjumpai seseorang yang sekolah atau kuliah lulus dengan nilai sangat memuaskan, tetapi tidak dapat banyak berbuat bagi masyarakat. Sederhananya, seseorang memiliki prestasi akademik yang tinggi, tetapi tidak dapat bersosialisasi dengan masyarakat lingkungannya. Bahkan cenderung egois – alias tidak memiliki kepedulian terhadap masyarakat. Ada juga seseorang yang prestasi akademik sekolah atau kuliahnya sangat baik tetapi ketika dihadapkan pada pekerjaan harus kebingungan, mau bekerja apa atau bekerja dimana. Kemudian, ketika orang tersebut mengajukan surat lamaran pekerjaan ke berbagai perusahaan, kantor atau instansi, tetapi belum juga dapat diterima.
Sementara itu, dalam kasus lainnya, ada orang yang memiliki prestasi akademik sangat baik, tetapi kurang sukses dalam bekerja. Sebaliknya, ada orang yang prestasi akademiknya biasa saja (rata-rata) tetapi justru dapat meraih kesuksesan yang baik. Mengapa demikian?
Keberhasilan pekerjaan atau kesuksesan dalam bekerja memang tidak sepenuhnya ditentukan oleh prestasi akademik yang kekuatan utamanya adalah kecakapan intelektual (intellectual question/IQ). Akan tetapi, ada kecerdasan lain yang ikut berperan dalam menentukan keberhasilan atau kesuksesan seseorang.

Beberapa tahun terakhir ini, telah berkembang beberapa pemikiran yang menyatakan bahwa keberhasilan seseorang tidak hanya hanya ditentukan oleh tingkat IQ, tetapi ada kecerdasan lain yang ikut menentukan, di antaranya kecakapan emosi (emotional question), kecakapan spiritual (spiritual question), dan lain-lain. Dalam kesempatan ini, kita akan mengeksplorasi khusus soal kecakapan emosi.


Pengertian Kecakapan Emosi
Kecakapan emosi adalah kekuatan personal yang meliputi aspek internal dan eksternal yang menjadi locus of controll aktivitas seseorang. Ini berarti bahwa kecakapan emosi sangat menentukan sikap, sifat dan kemampuan pribadi seseorang.
Kecakapan emosi terdiri dari dua aspek :
1. Kecakapan pribadi (internal), terdiri dari :
a. Kesadaran Diri (Self Awareness)
b. Pengaturan Diri (Self Regulation)
c. Motivasi (motivation)

2. Kecakapan sosial (eksternal) (Social Comptetence), terdiri dari :
a. Empati (Emphaty)
b. Keterampilan Sosial (Social Skills)

Kerangka kerja kecakapan emosi

1. Kecakapan Pribadi (Personal Competence)
Kecakapan ini menentukan dan menetapkan bagaimana kita mengelola diri sendiri, yaitu meliputi kesadaran diri (self awareness), pengaturan diri (self regulation) dan motivasi (motivation).
a. Kesadaran Diri (Self Awareness)
Mengetahui kondisi diri sendiri, kesukaan dan kegemaran , sumber-sumber daya dan intuisi pribadi.
 Kesadaran Emosi (Emotional Awareness): yakni mengenali emosi pribadi dan efeknya bagi diri sendiri.
 Penilaian diri secara akurat (Accurate self assessment ) : mengetahui keunggulan atau kekuatan-kekuatan, kelemahan dan limit diri sendiri
 Percaya diri (Self confidence): yakni keyakinan tentang harga diri dan kemampuan pribadi.


b. Pengaturan Diri (Self Regulation)
Mengelola kondisi kemauan, kebutuhan, impuls (desakan), drive (dorongan) dan sumberdaya diri sendiri.
 Kendali Diri (Self Control): mengelola emosi-emosi dan desakan ( impuls) hati-hati yang merusak.
 Sifat dapat dipercaya (Trustworthiness): memelihara dan internalisasi norma kejujuran dan integritas pribadi.
 Kehati-hatian (Conscientiousness) : bertanggungjawab atas kinerja pribadi.
 Inovasi (Innovation ) : mudah menerima dan terbuka terhadap gagasan, pendekatan dan informasi-informasi baru

c. Motivasi (Motivation)
Motivasi berkaitan dengan kecenderungan emosi yang mengantar atau memudahkan pencapaian sasaran atau tujuan hidup
 Dorongan berprestasi (Achievement drive): dorongan untuk menjadi lebih baik atau memenuhi standar keberhasilan.
 Komitmen (Commitment): menyesuaikan diri dengan sasaran kelompok atau lembaga.
 Inisiatif (Inisiative) : kesiapan untuk memanfaatkan peluang.
 Optimisme (Optimism): kegigihan dalam memperjuangkan sasaran walaupun ada kendala-kendala dan bahkan kegagalan.

2. Kecakapan Sosial (Social Competence)
Kecakapan ini menentukan bagaimana kita menangani hubungan sosial atau bagaimana kita menyikapi interaksi sosial antara kita.
a. Empati (Empathy)
Kesadaran terhadap perasaan , kebutuhan , dan kepentingan orang lain .
 Memahami orang lain (Understanding Others): Mengindra perasaan dan persfektif orang lain dan menunjukkan minat akatif terhadap kepnetingan orang lain,
 Mengembangkan orang lain (Developing Others): Merasakan kebutuhan pengembangnan orang lain dan berusaha menumbuhkan kemampuan orang lain.
 Orientasi Pelayanan (Service Orientation): Mengantisipasi, mengenali, dan beupaya memenuhi kebutuhan para pelanggan.
 Memanfaatkan Keragaman (Leveraging Diversity) : menumbuhakna peluang dengan melalui pergaulan.
 Kesadaran Politis (Political Awareness): mampu membaca arus-arus emosi sebuah kelompok dan hubungannya dengan kekuasaan.

b. Keterampilan Sosial (Social Skills)
Cerdas dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain.
 Pengaruh (influence) : Memiliki taktik-taktik untuk melakukan persuasi.
 Komunikasi (communicatuion): mengirim pesan yang jelas dan meyakinkan.
 Manajemen Konflik (conflict management) : Penanganan masalah-masalah yang berkembang di dalam masyarakat.
 Kepemimpinan (leadership): Memandu orang lain dengan membangkitkan inspirasi
 Katalisator perubahan (Change Catalyst): Memulai dan mengelola perubahan.
 Membangun hubungan (building bonds) : menumbuhkan hubungan yang bermanfaat.
 Kolaborasi dan Kooperasi (Collaboration and cooperation ) : kerjasama dengan orang lain demi tujuan bersama.
 Kemampuan tim (Team capabilities): menciptakan sinergi kelompok dalam memperjuangkan tujuan bersama.

Konsep Diri Negatif dan Positif

Seseorang dikatakan memiliki konsep diri negatif, bila:
1. Tidak memiliki pengetahuan yang menyeluruh tentang diri sendiri, sehingga ia tak memiliki kemampuan untuk mengetahui apa kekuatan dan kelemahan dirinya.
2. Memiliki pandangan yang kaku terhadap dirinya bahkan over estimate. Ia menolak gagasan dan informasi baru, sehingga ia sulit untuk mengubah konsep dirinya.
3. Lebih banyak melihat aspek kelemahan dari[pada aspek kekuatan dirinya.

Sehingga:
Orang yang mempunyai konsep diri negatif adalah orang yang tidak memiliki atau kurang memiliki pengetahuan tentang dirinya, harapan-harapannya terlalu tinggi atau rendah terutama penghargaan terhadap dirinya sendiri.

Seseorang yang mempunyai konsep diri positif, bila :
1. Memiliki pengetahuan yang menyeluruh mengenai dirinya, baik kelemahan maupun kelebihannya.
2. Dapat menerima diri apa adanya. Kelebihan tidak akan membuat dirinya sombong, sebaliknya kelemahan tidak akan membuat dirinya menjadi rendah diri atau bahkan kecewa.
3. Dapat mengubah dengan segala daya upaya guna mengurangi aspek-aspek yang dapat merugikan sebagaimana umpan balik yang ia terima.

Sehingga seseorang dikatakan memiliki konsep diri yang positif bila ia memilki pengetahuan yang luas dan dapat melakukan diversifikasi diri, harapan yang realistis dan penghargaan diri yang sehat.

Kesadaran diri Star Performer
Menurut Daniel Goleman, setiap orang yang mempunyai kesadaran diri Star Performer memiliki tiga ciri, yakni :
1. Kesadaran emosi, yakni tahu bagaimana pengaruh emosi terhadap kinerja kita, dan kemampuan menggunakan nilai-nilai kita untuk memandu pembuatan keputusan. Orang dengan kecakapan ini memiliki beberapa cirri-ciri:
 Tahu apa dan mengapa emosi yang sedang dirasakan.
 Sadar akan keterkaitan antara perasaan mereka dengan apa yang mereka pikirkan, perbuatan mereka dan apa yang mereka katakan.
 Tahu bahwa perasaan mereka akan sangat mempengaruhi kinerja mereka.
 Punya kesadaran yang jadi pedoman untuk nilai-nilai dan sasaran-sasaran mereka.

2. Penilaian diri secara akurat, yaitu perasaan yang tulus tentang kekuatan dan batas-batas pribadi kita., visi yang jelas tentang apa dan mana yang perlu diperbaiki dan kemampuan untuk belajar dari pengalaman. Orang dengan kecakapan ini memiliki beberapa ciri:
 Sadar akan kekuatan dan kelemahan
 Mampu merenung dan belajar dari pengalaman.
 Terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima gagasan baru, mau belajar dan mengembangkan diri sendiri.
 Punya rasa humor dan bersedia memandang diri dari berbagai sudut persfektif yang luas.

3. Percaya diri, yaitu keberanian karena adanya kepastian akan kempuan, nilai-nilai dan tujuan kita. Orang dengan kecakapan ini:
 Berani tampil dengan keyakinan diri, berani menyatakan eksistensi dirinya.
 Berani menyuarakan pandangan yang tidak populer dan bersedia berkorban demi kebenaran
 Tegas , yakni mampu membuat keputusan yang baik kendati dalam kondisi beresiko, tidak pasti dan tanpa data yang cukup.

Yogyakarta, 11 Oktober 2010

M. Mahlani
Islamic Counselor Kementerian Agama
Kota Yogyakarta
Sekretaris Eksekutif dan Trainer di Bimasena Training Center Yogyakarta
Sekretaris Yayasan Kemaslahatan Umat (YKU) Yogyakarta
Email: mmahalani@yahoo.com
Rumah:
Perumahan Pemda DIY No. P-23, Banjardadap Potorono Banguntapan Bantul 0274-7884217/081328075005

Sumber Bacaan :
Ary Ginanjar Agustian (2001), Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual Berdasarkan Rukun Iman dan Rukun Islam, Jakarta: Arga
Anthoni Dio Martin (2003), Emotional Quality Management, Jakarta: Arga
Daniel Goleman (1996), Kecerdasan Emosional: Mengapa EI lebih penting daripada IQ, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Selengkapnya...

Sikap Positif Menghadapi Kegagalan

Anda pernah mendengar seorang Penyuluh Agama Islam (PAI) mengalami kegagalan dalam menjalankan tugas kepenyuluhannya? Penyuluh Agama Honorer (PAH) gagal menjalankan kewajiban selama satu tahun masa tugasnya? Seorang Penyuluh Agama Fungsional gagal menjalankan tugas-tugas kedinasannya? Sejauh ini kelihatannya belum pernah ada temuan yang secara pasti menyatakan bahwa penyuluh ’A’ gagal menjalankan misinya sebagai pencerah umat. Hal ini barangkali terkait dengan indikator yang menjadi patokan keberhasilan atau kegagalan profesi penyuluh belum ada, atau kalaupun sudah ada, tetapi belum dijalankan secara efektif.
Pastinya bahwa pekerjaan atau profesi apapun dapat mengalami kegagalan. Ini artinya bahwa profesi penyuluh sama dengan profesi lain, seperti pendidik, wirausahawan, politisi, peneliti, relawan sosial, dan sebagainya sama-sama bisa mengalami kegagalan. Seorang penyuluh gagal mengelola pribadi, gagal membangun rumah tangga, gagal mengelola kelompok binaan, gagal merumuskan program kerja, gagal menjalin hubungan yang baik dengan kelompok binaan atau mitra kerjanya, gagal menyelesaikan tugas dari atasan, gagal membuat berkas-berkas sebagai syarat formal naik pangkat/golongan dan sebagainya adalah bagian dari resiko pekerjaan.

Karena itu, kita perlu memahami makna kegagalan yang sebenarnya. Tanpa faham filosofi itu, jangan berpikir kita dapat mengambil jalan menjadi profesi yang penuh resiko seperti menjadi penyuluh yang profesional. Jelas bahwa menjadi penyuluh adalah profesi yang beresiko tinggi; resiko kesehatan dan keselamatan fisiknya, resiko karirnya, resiko penghasilannya dan bahkan resiko masa depannya. Mengapa demikian? Ambil saja salah satu resiko yang paling tinggi yaitu keselamatan dan kesehatan fisiknya.
Tugas pokok penyuluh adalah melakukan pembelajaran kepada masyarakat yang tersebar di seantero wilayah kerjanya. Ini artinya, seorang penyuluh dituntut melakukan mobilitas yang tinggi dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Apalagi jika kelompok binaannya semakin banyak, maka frekuensi perpindahan tempat akan semakin banyak pula. Ini berarti juga bahwa seorang penyuluh akan menghadapi resiko yang semakin besar akan keselamatan dirinya dalam perjalanannya – khususnya resiko kecelakaan. Belum lagi jika kegiatannya dilakukan malam hari atau bahkan menjelang subuh seperti setiap bulan Ramadhan. Jelas bahwa udara malam, apalagi larut malam sampai menjelang subuh adalah waktu yang sangat beresiko terhadap kesehatan fisik – khususnya terhadap berbagai penyakit dalam. Ini hanya sekelumit gambaran, betapa pilihan menjadi penyuluh benar-benar profesi yang sarat resiko, termasuk tentunya resiko kegagalan melakukan pemberdayaan dan pencerahan terhadap masyarakat warga binaannya – alias gagal melakukan penyuluhan.
Untuk itu, penting bagi setiap PAI agar dapat memahami benar resiko yang akan dihadapinya.
Menghadapi resiko adalah gabungan kerja keras, kecerdikan, kehati-hatian, kecermatan membaca peluang dan kesiapan menghadapi kegagalan maupun keberhasilan. Akhir yang menyenangkan (happy ending) atau dalam bahasa agamanya husnul khatimah, tentu menjadi harapan setiap penyuluh. Hanya saja, ini bisa dicapai, tentu setelah melewati keberhasilan demi keberhasilan kecil, tahap demi tahap, seperti keberhasilan menyingkirkan berbagai kesulitan dan bahaya. Proses ini dibangun dari kesungguhan melahirkan segenap potensi diri seorang relawan seperti PAI. Dengan begitu, ia akan dapat mengubah “kekalahan menjadi kemenangan”, sebuah proses yang kecil peluang pencapaiannya tanpa kesiapan mental menghadapi kegagalan. Karena itu, sekiranya Anda termasuk orang yang tidak siap gagal, lebih baik jangan meniti jalan menjadi Penyuluh Agama Islam. Bahkan, mengimpikannya saja, jangan!
Setiap kegagalan adalah pelajaran yang mendorong seorang penyuluh untuk mencoba pendekatan baru yang belum pernah dicoba sebelumnya. Bagi penyuluh sejati, “berani gagal” berarti “berani belajar”. Dengan gagal dan dengan belajar, maka penyuluh akan dapat tumbuh menjadi orang yang lebih baik dan belajar bagaimana menciptakan kekayaan pengalaman sejati – dimana pengalaman sejati itu akan menjadi modal utama dalam melakukan penyuluhan. Bukankah ada orang bijak menyatakan: ”Jangan harap Anda bisa merubah orang lain, sekiranya merubah dirinya sendiri atau keluarganya sendiri saja belum mampu”, ”Jangan berharap warga binaan kita akan dengan tulus menerima pesan yang kita sampaikan, jika kita sendiri belum dapat menyampaikannya dengan ketulusan sejati”. Walaupun seorang penyuluh kehilangan kesempatan yang telah mereka peroleh, mereka tahu bagaimana menciptakannya kembali – tanpa harus menunggu. Pelajarannya tidak pernah hilang.
Sebaliknya, mereka yang tidak pernah mengalami perjalanan yang sulit dan mendapatkan ”kekayaan hati” dengan mudah, maka ia tidak akan tahu bagaimana menciptakan kekayaan itu ketika mereka kehilangan. Dengan kata lain, mereka yang tidak pernah gagal tidak akan tahu kekayaan sejati. Ini artinya bahwa bahwa setiap kegagalan dibaliknya tersembunyi pelajaran. Seorang bijak berkata,”sukses hanyalah pijakan terakhir dari tangga kegagalan.”

Menghadapi Kegagalan

Ada banyak pembahasan tentang tips menghadapi kesuksesan. Tetapi bagi kita, sama pentingnya, menyiapkan sejumlah hal ketika menghadapi kegagalan! Billy P.S. Lim, motivator kelas dunia yang berbasis di Malaysia, pernah menanyakan kepada peserta trainingnya tentang satu masalah menarik. ”Mengapa orang akan tenggelam apabila jatuh ke dalam air?”
Berbagai jawaban diberikan tetapi yang paling sering ialah ”Dia tidak dapat berenang.” Peserta traning heran, penasaran dan terbengong karena Lim menyalahkan jawaban itu. Yang hadir mengira, Lim bercanda. Untuk menyakinkan mereka, Lim memberi contoh kejadian orang tenggelam di air sedalam tiga inci. Akhirnya, ia memberitahu jawabannya, yang akan ia berikan kepada Anda sekarang. Kami kutip pendapat Lim: ”Orang tenggelam karena dia menetap disitu dan tidak menggerakkan dirinya ke tempat lain.” Ini artinya bahwa berapa kali orang jatuh tidak jadi soal. Yang penting kemampuannya untuk bangkit kembali setiap kali jatuh.
Jangan ukur seseorang dengan menghitung berapa kali dia jatuh atau gagal. Tetapi, ukurlah ia dengan beberapa kali dia berani dan sanggup bangkit kembali. Seseorang yang mampu bangkit kembali setelah gagal, maka ia tidak akan putus asa. Sungguh menyedihkan ketika kita mendengar bahwa banyak orang yang mengalami gagal sekali, dua kali, atau berkali-kali, kemudian ia memilih tetap diam dan menetap di situ, akhirnya ia mati sebagai orang yang sebenar-benarnya gagal, tersungkur, dan tidak bangkit lagi.
Persoalannya adalah apakah kapasitas dan kualitas diri kita dapat membantu bangkit kembali setelah terjatuh? Kapasitas dan kualitas diri adalah modal utama bagi seseorang untuk dapat bangkit lagi setelah mengalami kegagalan.
”Tidak ada apapun di dunia ini yang bisa menggantikannya. Bakatpun tidak; Banyak sekali orang berbakat yang tidak sukses. Kejeniusanpun tidak; Jenius yang tidak sukses sudah hampir menjadi olok-olokan. Pendidikanpun tidak; dunia ini penuh dengan orang terpelajar. Hanya kemauan dan ketabahan saja yang paling ampuh.”

Ya, ketabahan, yaitu kemampuan bangkit kembali untuk kesekian kalinya setelah terjatuh. Dalam benturan antara sungai dan batu, air sungai senantiasa menang bukan dengan kekuatan tapi dengan ketabahan. Seberapa jauh kita jatuh tidak menjadi masalah, tetapi yang penting seberapa sering kita bangkit kembali.
Apabila kita dapat terus mencoba setelah tiga kegagalan, kita dapat mempertimbangkan diri untuk menjadi pemimpin dalam pekerjaan sekarang. Jika kita terus mencoba setelah mengalami belasan kegagalan, ini berarti benih kejeniusan sedang tumbuh dalam diri kita. Seperti Thomas Alfa Edison, saat ditanya, bagaimana ia bisa bertahan setelah ribuan kali gagal? Penemu bola lampu dan pendiri perusahaan kelas dunia, General Electric ini menjawab,
”Saya tidak gagal, tetapi menemukan 9994 cara yang salah dan hanya satu cara yang berhasil. Saya pasti akan sukses karena telah kehabisan percobaan yang gagal.”

Menarik Hikmah - Jangan Menyerah

Mengantisipasi bencana sejak dini adalah karakteristik seorang relawan seperti Penyuluh Agama Islam. Jangan biarkan kebanggaan dan sentimen mempengaruhi keputusan-keputusan kita. Ini artinya bahwa jangan biarkan kegagalan sebagai sesuatu yang final. Profesi penyuluh sejati, memandang kegagalan sebagai awal, batu loncatan untuk memperbaharui kinerja perjuangan dan pengabdian suci di masa mendatang. ”Pencerah umat” tidak menghabiskan waktunya hanya untuk memikirkan kegagalan.
Untuk memicu kesiapan mental kita menghadapi kegagalan, maka kerjakan apapun yang dapat dilakukan. Semakin terbatas sumber dana atau fasilitas, kita patut semakin bijaksana. Fahami, kapan harus meminimalisasi pemborosan. Semakin terbatas sumber pengetahuan dan pengalaman, semakin tertantang untuk terus belajar-berlatih, belajar-berlatih dan terus belajar-berlatih. Sembari demikian, maka ketika kita terjatuh, maka cepat bangkit, jangan menunggu orang datang memberi pertolongan.
Jadi, kegagalan hanyalah sebuah tikungan tajam yang menuntut ”kendaraan” usaha, sedikit mengurangi kecepatan, lalu di depan, begitu melihat ”jalan mulus peluang”, kita bisa menebusnya dengan kecepatan yang lebih tinggi.
Lantas, bagaimana jika semuanya gagal? Saat gagal menimpa, kendati lelah, kecewa berat, pahit-getir, tetapi jangan matikan energi kreatif yang tersimpan di dalam diri kita. Tetaplah berpikir kreatif. Sempurnakan produk pikiran yang ada, atau hasilkan produk pikiran baru atau usaha baru yang mungkin belum terpikirkan.
Jangan terpaku pada karier dan keterampilan yang dimiliki, yang terlalu lama bersandar pada lingkungan di mana kita dibesarkan atau selama ini bergulat. Kadang kala apabila seseorang gagal setelah berusaha dengan tabah dan mengerahkan sepenuh tenaga untuk sekian lama, mungkin tiba saatnya ia mengkaji kembali bidang yang digeluti dan menilai apakah ia mampu untuk mendapatkan apa yang dinginkannya di bidang tersebut. Banyak cara untuk mencapai tujuan hidup. Sebagian lebih cepat atau lebih lambat daripada yang lain.
Kadang kala dalam kehidupan kita terpaksa menekuni bidang usaha yang berlainan dengan disiplin ilmu yang kita pelajari dan kita mesti menyesuaikan segala keterampilan dan bakat yang tidak kita peroleh dari bidang-bidang usaha di masa lalu. Lalu? Salurkan kekuatan itu di bidang usaha yang baru. Mungkin, kita dipaksa mempelajari keterampilan baru, sebagai konsekuensi menghadapi tantangan serba-baru itu.
Jika kita menyadari bahwa kita tidak berhasil mencapai tujuan pada suatu pekerjaan di mana kita telah dilatih untuk melakukannya, latihlah atau lengkapi diri kita dengan pekerjaan yang memberi peluang meraih yang lebih baik di masa depan. Jangan gantungkan diri kita pada satu keterampilan saja. Sebagai manusia, bukankah Allah SWT telah memberi kita kemampuan untuk mempelajari keterampilan baru? Jangan ”hidup-mati” kita digantungkan pada satu bidang saja.
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan" (QS. Al Israa': 70)

Orang lain bisa sukses. Kita tentu juga bisa, hanya saja, ada yang lekas tercapai, ada yang masih berliku. Semoga profesi kita termasuk profesi yang tidak harus mengalami jalan berliku untuk mengantarkan diri kita dan masyarakat kita menikmati kehidupan yang tercerahkan. Bukanlah perkerjaan yang paling mulia dari seorang penyuluh bukan pada tunjangan fungsionalnya yang memang belum seberapa dibandingkan tunjangan profesi lain, tetapi pada misinya menjadikan orang lain dapat hidup tercerahkan? Wallahu a’lam.

Selengkapnya...

Selasa, 17 Agustus 2010

Puasa dan Kebersamaan

Bulan Ramadhan bagi umat Islam, termasuk bagi warga masyarakat muslim Yogyakarta merupakan bulan yang spesial. Di samping kita menjalankan kewajiban ibadah puasa dan berbagai rangkaian ibadah lainnya selama satu bulan, juga di bulan Ramadhan ini kita bisa sekaligus menyegarkan kembali rasa kebersamaan dan persaudaraan di kalangan semua warga masyarakat. Sebab, di bulan Ramadhan ini, sebagian besar atau bahkan hampir semua ummat Islam termobilisasi oleh semangat Ramadhan setiap hari berduyun-berduyun pergi ke masjid, musholla atau tempat-tempat lainnya untuk menjalankan ibadah sholat lima waktu, sholat tawarih, berbuka puasa bersama dan berbagai kegiatan Ramadhan lainnya. Sungguh di bulan Ramadhan ini kita benar-benar menyaksikan semangat kebersamaan yang luar biasa dalam berbagai pelaksanaan kegiatan menyemarakkan bulan penuh berkah ini.

Latihan Disiplin Rohani dan Akhlak
Puasa ramadhan merupakan ibadah ritual yang dilakukan dengan aturan yang permanen, yaitu dengan menahan makan, minum, emosi, syahwat dan segala sesuatu yang bisa membatalkannya, sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Aturan yang permanen ini, tujuan utamanya adalah untuk melatih disiplin jasmani, rohani dan akhlak. Relevan dengan maksud itu, Rasulullah SAW bersabda :

"Puasa adalah perisai, maka dari itu orang yang sedang puasa janganlah berbicara kotor...dan sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum bagi Allah daripada minyak kesturi; ia berpantang makan, minum dan syahwat hanya untuk mencari ridha-Ku; puasa hanyalah untuk-Ku." (HR.Bukhari).

Berpantang makan dan minum pada saat orang biasa melak¬ukannya sehari-hari dan dilakukan dengan berulang-ulang (teratur) selama sebulan, di satu sisi dapat meningkatkan kekuatan dan memperlancar alat pencernaan tubuh. Sementara di sisi lain, puasa juga menjadi media pelatihan bagi kita untuk dapat menghadapi berbagai tantangan atau bahkan kesukaran hidup. Dengan begitu, jiwa dan mentalitas kita akan benar-benar terlatih dan memiliki daya resistensi yang tinggi terhadap tantangan dari dalam ataupun luar. Karena itu, orang yang ber¬puasa akan selalu siap menghadapi hidup dalam kondisi atau situasi apapun, tanpa harus mengalami gangguan psikologis (psicological shock). Karena itulah, maka proses hidup orang yang berpuasa akan selalu stabil emosi keagamaannya, etos kerjanya, produktifitas karya dan daya kreatif-inovatifnya.
Di samping itu, bagi orang yang berpuasa, tidak ada godaan yang paling besar daripada godaan makan, minum dan syah¬wat, apabila ketiganya telah tersedia. Namun demikian, betapapun dahsyatnya godaan itu, tetap mampu diatasinya dengan sabar dan penuh keimanan. Usaha untuk mengatasi godaan semacam itu yang dilakukan tidak hanya sekali atau dua kali, tetapi secara terus-menerus selama satu bulan, benar-benar akan melahirkan kesadaran dan kemampuan untuk menjaga kontinuitas dalam mengatasi berbagai godaan hidup sehari-hari. Lebih dari itu, kemampuan mengatasi godaan itu tanpa didasari oleh interest yang bersifat ekonomis, psikologis atau biologis belaka, tetapi semata-mata hanya untuk meraih ridha Allah SWT.
Di saat panas terik membakar bumi, lapar dan dahaga menyertai aktivitas pekerjaan sepanjang hari, dan walaupun makanan lezat serta minuman segar misalnya, telah tersedia, tetapi kita tetap menahan diri, tidak mau menyentuh makanan dan minuman sedikitpun. Sebab pada saat-saat kritis seperti itu, kita kesadaran diri yang mucul adalah, "Allah ada di sampingkudan Allah melihatku".
Karena itu, tidak ada ibadah yang mampu menumbuhkan perasaan dekat kepada Allah, selain ibadah puasa. Kehadiran Allah dalam diri orang yang berpuasa, tidak saja berada pada tingkat iman saja, tetapi telah menjadi realitas dalam kesadaran kemanusiaanya. Itulah hakekat dari disiplin rohani dan akhlak tingkat tinggi. Artinya bahwa kesadaran akan adanya hidup yang lebih tinggi, lebih tinggi daripada hidup yang hanya untuk makan dan minum atau mengumbar nafsu syahwat belaka.
Ini artinya bahwa dengan puasa, kita dapat menaklukkan nafsu jasmani¬. Dan dengan terbiasa mengatur waktu makan atau minum, juga dapat menumbuhkan kedisiplinan hidup. Lebih tinggi dari itu, dengan puasa kita bukan lagi menjadi budak nafsu makan, minum atau syahwat, melainkan kita itu benar-benar menjadi majikan yang sesungguhnya-menjadi pribadi yang otentik, pribadi yang original – bukan pribadi yang palsu atau tiruan.

Komitmen Kebersamaan Menuju Taqwa
Puasa, disamping ibadah yang bersifat individual, tetapi juga kental dimensi sosialnya. Bahwa puasa itu dapat mengingatkan umat warga masyarakat agar memelihara kesatuan, kerukunan, dan kekompakan serta meminimalisasi terjadinya perpecahan. Kebersamaan yang tercermin pada saat melaksanakan ibadah puasa dan berlebaran terjalin sebagai upaya untuk merajut dan menjalin persatuan karena hal tersebut dapat mendatangkan rahmat dan berkah.). Saat puasadi bulan Ramadhan ini, seluruh keluarga berkumpul dan melakukan buka puasa bersama, sahur, dan melaksanakan shalat Tarawih. Anak-anak maupun orang dewasa dapat bertemu dan berkumpul berkumpul di masjid untuk beribadah.
Itulah bagian dari fenomena sosial Ramadhan, bahwa di bulan Ramadhan ini, mobilitas social warga masyarakat terjadi peningkatan yang luar biasa. Hampir semua masjid dan musholla di Kota Yogyakarta ini penuh sesak oleh jamaah. Ini artinya bahwa bulan Ramadhan ini menjadi bulan yang sangat tepat untuk menyegarkan kembali komitmen kebersamaan sesame warga Negara, sesame keluarga besar umat Islam. Hal ini relevan dengan konsep puasa yang dapat diproyeksikan mengembangkan disiplin rohani dan akhlak yang tinggi. Kemudian implementasinya, puasa dapat mendorong kesadaran dan kemauan kuat bahwa kita adalah bagian inte¬gral dari komunitas masyarakat yang plural budayanya, status sosialnya, tingkat ekonominya, pendidikannya dan sebagai¬nya. Karena itu, setiap diri pribadi dituntut memiliki sikap terbuka untuk mengakomodasi pluralitas masyarakat sebagai realitas sosial yang tidak bisa dinafikan. Konsekuensinya, kesadaran untuk saling berkomunikasi atas dasar persamaan dan persaudaraan sebagai satu keluarga agung – makhluk Allah - menjadi tuntutan mutlak bagi tercip¬tanya tata sosial yang harmonis, dinamis dan progresif. Bagi kita yang telah memiliki disiplin rohani dan akhlak tingkat tinggi, yang dicapainya melalui puasa, maka selalu siap untuk menerima orang lain sekalipun berbeda budaya, bahasa, kebiasaan, status sosial dan sebagainya.
Itulah wujud bahwa puasa dapat menumbuhkan energi positif untuk membangun kebersamaan atas dasar persaudaraan. Itulah makna sebenarnya dari konsep shilaturrahim. Bahwa shilaturrahim ini merupakan nilai agung yang mendasari tata sosial yang dinamis dan harmonis, sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - : أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى أَكْرَمِ أَخْلاَقِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ؟ تَعْفُو عَمَّنْ ظَلَمَكَ وَتُعْطِى مَنْ حَرَمَكَ وَتَصِلُ مَنْ قَطَعَكَ


"Nabi saw bersabda : Maukah kalian aku tunjukkan akhlak yang paling mulia di dunia dan diakhirat? Memberi maaf orang yang mendzalimimu, memberi orang yang menghalangimu dan menyambung silaturrahim orang yang memutuskanmu” (HR. Baihaqi)


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ


"Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali persaudaraan” (H.R. Bukhari-Muslim).

“Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada salat dan saum?” Sahabat menjawab, “Tentu saja!” Rasulullah pun kemudian menjelaskan, “Engkau damaikan yang bertengkar, menyambungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan ukhuwah di antara mereka, (semua itu) adalah amal saleh yang besar pahalanya. Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali persaudaraan” (H.R. Bukhari-Muslim).

Demikinalah, puasa Ramadhan tahun 1431 H ini seharusnya memang dapat menjadi momentum meneguhkan kebersamaan sesame warga Yogyakarta khususnya, sebagai bagian dari implementasi peningkatan taqwa kepada Allah SWT. Semoga puasa dan seluruh rangkaian ibadah yang kita lakukan diterima Allah SWT dan kita dapat lebih menjadi pribadi yang otentik, pribadi yang selalu tulus untuk membangun kebersamaan dalam membangun masyarakat yang berbudaya maju dan berkeadilan sosial, amiin.
Selengkapnya...