Selasa, 29 Desember 2009

Marah

Dari Abu Hurairah ra: Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Orang kuat itu bukan pada kuatnya badan, tetapi orang kuat adala orang yang dapat mengendalikan nafsunya ketika marah”

Marah adalah salah satu sifat yang ada pada diri setiap orang. Karena itu, sifat marah tidak dapat dihilangkan sama sekali, tetapi sebenarnya bisa dikendalikan. Setiap orang, termasuk diri kita, memiliki intensitas marah yang berbeda-beda. Ada orang yang hanya didahului orang lain ketika naik motor, langsung marah, “Kurang ajar ! berani-beraninya ya mendahului aku!” demikian umpatnya. Ada orang yang dikritik karena melakukan kekeliruan, langsung naik darah. Tetapi ada juga orang yang sifat marahnya sulit muncul. Ia tetap sabar, sekalipun dikritik habis-habisan, dicaci maki atau bahkan disakiti. Dirinya tetap tenang dan tidak naik pitam. Orang demikian, sebenanya bukan berarti ia tidak dapat marah, tetapi sebenarnya ia dapat mengendalikan marah itu.

Marah biasanya timbul karena adanya perasaan terancam bahaya atau sesuatu hal yang dirasakan mengganggu “keamanan” dan “kenyamanan” diri. Ancaman itu dapat berupa dua bentuk; Pertama, ancaman fisik, seperti: dicubit, dipukul, ditembak dan sebagainya. Kedua, ancaman simbolik terhadap harga diri atau martabat pribadi, seperti; diperlakukan sewenang-wenang, dicaci maki, disepelekan, tidak dihargai pendapatnya dan sebagainya.

Mengapa orang yang marah itu wajah dan matanya menjadi merah padam, badannya memanas dan degup jantungnya mengencang ? Hal ini dapat terjadi karena “ancaman” terhadap dir itu (bagi orang yang merasa terancam) kemudian memicu rangsangan bagi lonjakan keluarnya zat katekolamin yang membangkitkan gelombang energi cepat sesaat, dimana gelombang energi tersebut cukup untuk melakukan “serangkaian tindakan dahsyat”. Sementara itu, denyutan lain yang ditimbulkan oleh amigdala (pusat emosi) melalui cabang adrenokorteks dalam sistem syaraf menciptakan suatu latar pengkondisian umum agar tubuh siap bertindak, yang berlangsung jauh lebih lama daripada lonjakan energi katekolamin.

Rangsangan yang memicu amarah ini menjadi pemicu minor terjadinya lonjakan katekolamin yang dibangkitkan oleh amigdala, yang masing-masing berdasarakan momentum hormon lonjakan-lonjakan sebelumnya. Lonjakan kedua muncul sebelum yang pertama mereda, dan yang ketiga menumpuk di atasnya, demikian seterusnya; masing-masing gelombang menumpuk di ujung gelombang sebelumnya, yang dengan cepat menambah kadar perangsangan fisiologis tubuh. Suatu pikiran yang muncul belakangan dalam rangkaian ini akan memicu intensitas marah yang lebih hebat dari pikiran yang muncul pada awal rangkaian. Inilah yang disebut “marah dibangun oleh marah”; sehingga menjadikan otak emosional memanas. Dan pada saat itulah, marah – yang tak terkendalikan lagi oleh nalar, dengan mudah meletus menjadi tindak kekerasan.
Dalam kondisi seperti di atas, maka orang tak mudah lagi memaafkan dan tak bisa berpikir jernih; yang mereka pikirkan hanyalah seputar balas dendam dan tindak balas, lupa terhadap akibat-akibat yang timbul belakangan. Menurut Dolf Zilmann, pada tahap ini akan “menimbulkan suatu ilusi kekuasaan dan kekebalan yang mempermudah timbulnya agresi” sewaktu orang mengamuk. Mereka “kehilangan pedoman kognitif “ dan terperangkap dalam respon-respon paling primitif. Dorongan limbik meningkat: dan pelajaran-pelajaran yang belum terasah dari kehidupan yang brutal justru menjadi acuan tindakan.

Bagaimanapun juga, marah itu memang tidak dapat dihilangkan sama sekali. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana setiap dir itu dapat mengendalikan marah. Karena itulah, maka Rasulullah menandaskan bahwa orang yang kuat itu bukanlah orang yang memiliki tenaga atau badan kuat, tetapi adalah orang yang dapat mengendalikan diri ketika marah.

حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.
Artinya:
"Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya: Sesungguhnya Rasulullah s.a.w bersabda: Kekuatan itu tidak dibuktikan dengan kemenangan bertumbuk. Tetapi orang yang kuat ialah orang yang dapat mengawal dirinya ketika sedang marah"

Jadi, marah adalah salah satu sifat manusiawi yang dapat muncul pada siapa saja dan kapan saja. Karena itu, beberapa tips untuk meredakan marah antara lain sebagai berikut:
1.Berwudhu dengan air bersih
2.Berjalan-jalan santai di alam terbuka
3.Menggunakan dan mengadu pemikiran-pemikiran yang memicu marah, karena pikiran-pikiran itu merupakan tanggapan asli dari interaksi yang mempertegas dan mendorong letupan awal amarah dan tanggapan-tanggapan ulang berikutnya yang mengobarkan api amarah itu
4.Banyak-banyak berkomunikasi dengan orang lain, khususnya orang-orang yang sudah akrab
5.Berdo’a (berserah diri) kepada Allah SWT.
Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Kebangkitan Sains Dalam Dunia Islam

Puncak keemasan peradaban Islam abad ke-9 sampai abad ke-13, hingga kini sering menjadi apologi umat Islam atas ketertinggalannya dengan dunia Barat (Eropa). Selama periode abad tersebut, Islam memang pernah memimpin peradaban masyarakat dunia, di saat masyarakat Barat masih terpasung oleh konservatisme berpikir dan terpenjara oleh kekuasaan gereja. Saat itu, Islam memimpin dunia dengan membentuk struktur sosial masyarakat egaliter dan kosmopolit yang didukung dengan struktur bangunan ilmu yang antisipatif terhadap pelbagai persoalan keumatan serta proyektif dalam menyikapi masa depan.

Namun demikian, setelah Eropa bangkit dengan mengkampanyekan kebebasan, demokrasi dan pembangunan, justru umat Islam sedang perlahan-lahan namun pasti, yaitu mengalami kejumudan dari dalam. Sampai akhirnya, memasuki abad pertengahan, umat Islam sedang terbelenggu oleh jaman kegelapan, kegelapan yang ditimbulkan oleh arogansinya sendiri. Sampai akhirnya menjelang akhir abad ke-19, umat Islam baru menyadari bahwa selama ini telah terjebak dalam "kebanggaan semu" yang meminggirkan umat Islam, sehingga menjadi kelompok pinggiran dan akhirnya gumunan melihat perkembangan peradaban dunia yang dipimpin oleh orang-orang Eropa. Baru pada akhir-akhir inilah (di akhir abad ke-20) umat Islam menyadari bahwa peradaban Islam masih terpuruk dan dalam kondisi yang mengenaskan. Sungguh suatu penampilan sejarah yang sangat ironis bagi peradaban yang pernah jaya memimpin dunia.

Tragedi Peradaban
Keterpurukan umat Islam menghadapi perkembangan masyarakat dunia, dapat dipandang sebagai tragedi peradaban manusia yang sangat ironis. Karena itu, sudah sepatutnya jika kenyataan tersebut menjadi pelajaran yang berharga bagi umat Islam. Adalah menjadi tuntutan sejarah kemanusiaan bagi umat Islam untuk menyikapi kondisinya yang selalu menjadi bulan-bulanan ajang profokasi dan tempat pembuangan sampah-sampah teknologi peradaban Eropa. Menurut Dr. Pervez Hoodboy , bahwa keterpurukan peradaban Islam disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, menyangkut alasan-alasan sikap dan filosofis. Bahwa dunia Islam hingga kini masih terjerembab pada sikap hidup yang berorientasi fatalistik. Pikiran ummat Islam terperangkap pada "campur tangan" Tuhan sehingga mematikan rasa ingin tahu (curiositas), imajinasi dan ambisi untuk berkreasi. Akibat dari sikap tersebut adalah menimbulkan sikap anti Barat dan puas dengan kesalehan individual. Sikap fatalisme yang berlebihan ini, semakin mempersulit berkembangnya khasanah intelektual umat, apalagi untuk melahirkan revolusi sains.
Kedua, peran pendidikan Islam yang masih cenderung berorientasi tradisional. Berkahirnya zaman keemasan Islam, menyebabkan pendidikan Islam berhenti berubah dan wawasannya kian menyempit. Pengetahuan umum, seperti ilmu-ilmu alam makin terdominasi oleh wacana keagamaan tradisional. Hal ini melahirkan manusia-manusia yang "cacat intelektual" nya. Akibatnya, menurut Hoodboy, karena perpaduan antara sakit hati, kebanggaan semu, tantangan dan konservatisme, sebagian umat Islam menolak pendidikan modern Eropa. Sikap permusuhan terhadap Barat telah membutakan mata dunia Islam sehingga menimbulkan ortodoksi dan kejumudan yang berkepanjangan.
Ketiga, peran hukum Islam yang terbatas pada hal-hal sempit dan tidak mampu mengakomodasi perkembangan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan global.
Keempat, lemahnya basis ekonomi umat Islam. Sebagian besar umat Islam, termasuk yang berada di Indonesia ataupun negara-negara yang sebgaian besar penduduknya muslim, bisa dibilang termasuk masyarakat pinggiran yang secara ekonomis banyak tergantung pada Eropa dan negara-negara industri lainnya. Barangkali, hanya Iran sebagai negara muslim yang benar-benar mampu melepaskan ketergantungannya pada dominasi ekonomi negara-negara Eropa.
Kelima, lemahnya struktur sosial dan politik umat Islam. Disadari atau tidak bahwa secara sosial-politik, umat Islam masih terus dibayang-bayangi oleh hegemoni negara-negara industri, seperti; Amerika, Inggris, Jerman, Jepang dan sebagainya. Dalam berbagai pengambilan kebijakan mengenai pembangunan sosial, demokrasi, hak asasi manusia, lingkungan hidup dan sebagainya, sedikit-banyak masih mempertimbangkan suara-suara dari negara industri.
Proyek Besar Umat Islam
Kelima faktor di atas, berjalin kelindan dan saling mempengaruhi satu sama lain serta menyebabkan umat Islam menjadi komunitas pinggiran, ortodoks dan terbelakang. Lebih jauh dari itu, persoalan tersebut menyebabkan sains Islam sebagai komponen terpenting dalam membangun peradaban Islam menjadi porak-poranda. Atas dasar itulah, maka proyek terbesar bagi umat Islam sekarang ini adalah bagaimana membangun kembali puing-puing sains Islam yang telah terjepit oleh dominasi sains Eropa. Dalam mengaplikasikan mega proyek tersebut, terdapat beberapa langkah yang perlu dilakukan.
Pertama, umat Islam perlu berpikir jauh ke depan dengan mengembangkan semangat keterbukaan, kebebasan dan toleran. Kesombongan yang luar biasa atas nama kebenaran agama, hanyalah menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan. Yang diperlukan sekarang adalah membangun masyarakat yang berpikir dewasa, punya toleransi intelektual dan agama, serta bisa memberi kebebasan asasi bagi setiap manusia.
Kedua, umat Islam harus bisa membedakan modernitas dan westernisasi. Bahwa untuk menjadi modern tidaklah harus menjadi Barat. Sebab masyarakat modern adalah masyarakat yang mau membuka diri bagi pengalaman-pengalaman dan gagasan-gagasan baru, serta menerima perhitungan rasional ketimbang menerima taqdir. Modernitas adalah bagian intrinsik dari sifat rasional manusia. Karena itu, sangatlah tidak beralasan jika umat Islam menolak modernisasi hanya dengan dalih dari Barat. Yang perlu diperhatikan adalah tidak bolehnya berkembang sikap konsumtif kepada produk-produk Barat, apalagi dengan alasan modernisasi. Sebab, hal ini bisa berakibat pada merosotnya kualitas kebudayaan dan pemborosan sumber daya serta mematikan etika rasional.
Ketiga, bahwa Islam dan sains tidaklah bertentangan. Keduanya punya batasan yang jelas. Sains adalah akal yang diatur untuk memahami isi alam semesta. Dan Islam (sebagai agama) adalah pelepasan akal yang beralasan logis yang berkait dengan masalah yang di luar jangkauan sains. Kontradiksi hanya terjadi bila keduanya ditumpang tindihkan.
Keempat, sains dan teknologi bersifat universal. Hal itu bukanlah kehendak politik atau otoritas dunia Barat. Keecenderungan sains dan teknologi Barat mendominasi dunia Islam (negara-negara berkembang), disebabkan oleh struktur sosial-politik kapitalis yang eksploitatif. Karena itu, diperlukan perombakan struktur tersebut dan perlu dikembangkan struktur sosial-politik yang membuka iklim partisipasi. Sebab, partisipasi adalah ungkapan rasa hormat terhadap warisan kebudayaan. Partisipasi harus diproyeksikan dalam rangka pengkayaan kehidupan, pengangkatan martabat manusia dan usaha kemerdekaan yang sebenarnya.
Akhirnya, kita perlu optimis bahwa dengan empat strategi di atas, sains Islam mampu tumbuh dan mekar sejalan dengan perkembangan kesadaran umat islam khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya. Dengan tumbuh suburnya sains Islam, herapan besar terbangunnya peradaban Islam, tidak lagi sebatas utopia belaka. Tetapi, hal itu akan menjadi realitas obyektif dalam sejarah kemanusiaan. Dengan kehadiran peradaban Islam, maka diharapkan tatanan dunia yang adil benar-benar bisa dinikmati oleh masyarakat dunia, tanpa mengecualikan bangsa ataupun ras tertentu. Sebab Islam sebagai ruh, maka bangunan peradaban Islam adalah ajaran kemanusiaan yang berpihak kepada universalitas kemanusiaan yang menembus batas-batas etnisitas, bahasa dan kebangsaan. Wallhu a'lam…

Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Konsep Dasar Bimbingan dan Penyuluhan

Bagi Penyuluh Agama Islam baik honorer maupun PNS, sementara ini kemungkinan jarang atau malah tidak pernah memperhatikan atau mencermati masalah konsep dasar bimbingan dan penyuluhan. Bagi mereka, yang penting adalah melaksanakan penyuluhan dalam bentuk pengajian rutin atau insidental. Jadwal, tempat, dan pesertanya sudah jelas. Soal materi? Ada sebagian penyuluh yang merumuskan materinya telah terstruktur secara sistematis. Tetapi ada juga yang materinya tergantung moodnya atau disesuaikan dengan kondisi pesertanya

Masalah konsep dasar bimbingan dan penyuluhan, bagi sebagian atau hampir semua Penyuluh Agama mungkin dianggap sebagai sesuatu yang mengawang-awang, terlalu abstrak. Karena itu, bagi Penyuluh Agama masalah tersebut dianggap tidak terlalu penting.
Apalagi sementara ini, di dalam buku-buku pedoman (buku besar Penyuluh Agama yang diterbitkan oleh Ditjen Kelembagaan Agama Islam Bagian Peningkatan Tenaga Keagamaan Penyuluh Agama Depag Pusat) belum ada yang secara detail menguraikan konsep dasar bimbingan dan penyuluhan yang mencakup pengertian, prinsip-prinsip, jenis-jenis, metode dan sebagainya. Demikian juga, para pejabat yang berkompeten dengan manajemen kepenyuluhan, di berbagai sambutan atau pembinaan yang selalu ditekankan adalah pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang identik dengan teknis penyuluhan dalam bentuk tatap muka. Tetapi, sejauh mana para Penyuluh Agama memahami betul soal konsep dasar bimbingan dan penyuluhan sementara ini sepertinya kurang dicermati.
Padahal, memahami konsep dasar bimbingan dan penyuluhan merupakan modal utama untuk dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsi secara efektif, kreatif dan inovatif. Apalagi fungsi Penyuluh Agama tidak sekedar menjadi tukang (tukang ngaji, tukang ceramah, tukang khutbah, tukang mimpin doa dan lain-lain). Lebih dari itu, Penyuluh Agama juga dituntut dapat menjadi motivator, dinamisator, pelopor, dan bahkan konseptor proses pemberdayaan, khususnya aspek keberagamaan masyarakat. Karena itu, setiap Penyuluh Agama dituntut dapat memahami dan menjelaskan konsep dasar bimbingan dan penyuluhan sebagai kerangka akademik dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.
Tulisan singkat ini akan mendeskripsikan seputar pengertian dan prinsip-prinsip dasar bimbingan dan penyuluhan. Sementara itu, masalah jenis-jenis dan metode bimbingan dan penyuluhan, sekiranya memungkinkan akan disajikan pada edisi berikutnya.

Pengertian Bimbingan dan Penyuluhan
Penyuluhan adalah kata yang sudah akrab di dunia pendidikan, baik pendidikan formal di sekolah maupun pendidikan non-formal di masyarakat. Di samping istilah penyuluhan, juga dikenal istilah bimbingan. Dua kata ini seringkali dipakai dalam satu pengertian yaitu bimbingan dan penyuluhan. Dua istilah ini sebenarnya memiliki pengertian yang berbeda, tetapi juga memiliki pengertian yang saling melengkapi. Karena itu, di dunia pendidikan persekolahan dan masyarakat, kata penyuluhan dan bimbingan merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran. (Romli: 2001, 9).
Bimbingan dan penyuluhan adalah terjemahan dari istilah bahasa Inggris, guidence and counselling. Istilah guidence berasal dari kata kerja to guide, yang artinya membantu atau menuntun. Jadi, istilah guidence berarti pemberian bantuan atau tuntunan kepada orang lain yang membutuhkan. Dipandang dari sudut pengertian, banyak yang memberi definisi. Misalnya, menurut Shertzer dan Stones (1981: 40) yang dikutip oleh Muhammad Surya (1988: 32-33) menyatakan bahwa bimbingan sebagai suatu konsep adalah suatu upaya membantu individu, sebagai suatu konstruk pendidikan, bimbingan mengacu pada suatu bentuk pengalaman yang dapat membantu seseorang untuk memahami dirinya sendiri; dan sebagai suatu program, bimbingan mengacu kepada suatu prosedur dan proses yang teroganisasi untuk mencapai tujuan pendidikan dan pribadi tertentu.
Sementara itu, menurut Surya (1988: 33-36), bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis dari pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai kemandirian dalam pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan lingkungan.
Dengan demikian, secara umum bimbingan memiliki beberapa komponen, yaitu : 1) proses yang berkelanjutan, 2) proses membantu, 3) bantuan diberikan kepada setiap individu yang memerlukan di dalam proses perkembangannya, 4) bantuan diberikan agar individu dapat mengembangkan dirinya secara optimal sesuai dengan potensi atau kapasitas dirinya dan lingkungannya, dan 5) diperlukan personal yang memiliki keahlian.
Sedangkan istilah counselling (ejaan Britis) berasal dari bahasa latin consilium yang berarti nasehat (advice), informasi, dialog, opini atau pertimbangan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain dalam rangka pembuatan keputusan atau tindakan yang akan datang (Syuhada: 1988: 5-6, dikutip dari The New Grollier Webster International Dictionary: 1971). Di Indonesia, istilah konseling sering juga disebut dengan istilah penyuluhan.
Seperti halnya istilah bimbingan, dari sisi pengertian, penyuluhan juga memiliki banyak definisi. Misalnya, menurut Shertzer dan Stonen (1974), penyuluhan adalah proses interaksi yang memberikan fasilitas atau kemudahan-kemudahan untuk pemahaman yang bermakna terhadap diri dan lingkungan, serta menghasilkan kemantapan dan atau kejernihan tujuan-tujuan serta nilai-nilai untuk perilaku di masa datang. Di sisi lain, Surya (1988: 56-58) memberikan batasan penyuluhan sebagai suatu proses yang dirancang untuk merangsang berpikir agar ide-ide dapat mengendap, berkembang dan tumbuh ke arah suatu konsepsi pribadi. Kemudian, secara rinci Kottler dan Brown menjelaskan bahwa unsur-unsur penyuluhan sebagai berikut: 1) suatu profesia, 2) suatu proses, 3) melibatkan suatu hubungan, 4) antara orang-orang, 5) menuntut suatu perangkat keterampilan, keterampilan khusus, 6) pengetahuan, 7) dapat dikomunikasikan, dan 8) untuk mempengaruhi sasaran penyuluhan (klien) berubah.
Penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya bimbingan dan penyuluhan adalah suatu upaya memberikan pelajaran dan pendidikan serta bantuan kepada pribadi atau kelompok masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan agar mereka mampu memahami dirinya dan lingkungannya serta mampu mengatasi berbagai permasalahan sehingga dapat mencapai kesejahteraan hidup (Romli, 2001: 14).
Dalam konteks ini, menurut Surya (1988: 49), penyuluhan merupakan bagian dari bimbingan, baik sebagai pelayanan maupun sebagai teknik. Penyuluhan merupakan inti kegiatan bimbingan secara keseluruhan dan lebih berkaitan dengan masalah individu secara pribadi. Lebih lanjut, menurut Syuhada (1988: 30) penyuluhan merupakan bagian integral dari pendidikan. Penyuluhan yang fungsional merupakan bagian integral dari keseluruhan program dan pelaksanaan pendidikan, bukan hanya sebagai tambahan atau sampiran saja. Namun demikian, tidak berarti bahwa penyuluhan itu identik dengan pendidikan, melainkan penyuluhan merupakan upaya-upaya yang bersifat membantu tercapainya tujuan umum pendidikan, dengan menggunakan dimensi intervensi dan teknik yang unik dan berbeda dengan pendidikan.

Prinsip-prinsip bimbingan dan penyuluhan

Penyuluhan sebagai bagian integral dari pendidikan, penerapannya perlu memperhatikan beberapa prinsip, antara lain:
a. Prinsip demokrasi. Hubungan antara penyuluh dan klien perlu dibangun berdasarkan prinsip demokrasi, yaitu adanya ruang komunikasi antara penyuluh dan klien secara terbuka, transparan, bersahabat dan hangat dengan didasari oleh semangat kesetaraan. Hal ini penting untuk menciptakan suasana yang obyektif, akrab, kerjasama, kontruktif dan rasa bangga terhadap hasil-hasil dari proses yang berjalan dalam komunikasi itu.
b. Untuk semua. Bahwa penyuluhan berlaku untuk semua, sesuai dengan tujuan dan sasaran penyuluhan. Penentuan sasaran atau klien penyuluhan benar-benar berdasarkan pada pertimbangan kebutuhan.
c. Perbedaan individual. Bahwa setiap individu memiliki keunikan dan kekhususan tertentu, yang berbeda antara individu yang satu dengan lainnya. Karena itu, proses penyuluhan perlu mempertimbangkan latar belakang, kultur, pendidikan, profesi, kebutuhan-kebutuhannya, masalah-masalah yang dihadapi dan sebagainya.
d. Pribadi seutuhnya. Penyuluhan diterapkan dengan memandang sasaran sebagai pribadi seutuhnya. Mereka adalah manusia yang memiliki harga diri, perasaan, keinginan, emosi, dan sebagainya.
e. Interdisiplin. Bahwa permasalahan yang ada pada sasaran (klien) perlu dipandang dari berbagai sudut pandang atau interdisiplin. Bahwa apa yang diberikan oleh penyuluh tidak bersifat mutlak, tetapi perlu memberikan peluang terbukanya sudut pandang lain dalam mendekati suatu permasalahan.
f. Berpusat pada sasaran. Ukuran keberhasilan itu bukan terpusat pada penyuluh, tetapi pada sasaran, yaitu kepuasan sasaran.
g. Bagian integral dari pendidikan. Proses penyuluhan perlu dilakukan dalam perspektif pendidikan.

Referensi :

Arifin (1976), Pokok-pokok pikiran tentang bimbingan dan penyuluhan agama, Jakarta: Bulan Bintang.

Petterson, Lewis E, dan Eisenberg, Gheldon, (1983), The Counseling process, Edisi ketiga Boston: Houghton Mifflin Company.

Priyatno dan Ermananti (1999), Dasar-dasar bimbingan dan konseling, Jakarta: Rineka Cipta.

Romli (2001), Penyuluhan agama menghadapi tantangan baru, Jakarta: Bina Rena Pariwara.

Syuhada, Roosdi Ahmad (1988), Bimbingan dan konseling dalam masyarakat dan pendidikan luar sekolah, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.

Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Minggu, 27 Desember 2009

Identifikasi Problem Penyuluhan

Departemen Agama, khususnya Kanwil Depag DIY sebagai aparatur pemerintah memiliki posisi dan tugas menjadi fasilitator dalam membangun iklim keagamaan yang kondusif bagi perkembangan masyarakat yang dinamis, progresif, toleran dan damai di atas dasar nilai keagamaan dan kekayaan budaya yang berkeadaban (Sudijono: 2000). Untuk menjabarkan tugas itu, maka Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 1 Tahun 2001 telah menggariskan fungsi Departemen Agama meliputi empat masalah pokok, yaitu : Pertama, memperlancar pelaksanaan pembangunan di bidang keagamaan. Kedua, membina dan mengkoordinasikan pelaksanaan tugas serta administrasi departemen. Ketiga, melaksanakan penelitian dan pengembangan terapan pendidikan dan pelatihan tertentu dalam rangka mendukung kebijakan di bidang keagamaan. Keempat, melaksanakan pengawasan fungsional.

Dalam usaha mengimplementasikan fungsi di atas, maka penyuluhan agama Islam merupakan salah satu bentuk satuan kegiatan yang memiliki nilai strategis, khususnya dalam menjalankan fungsi memperlancar pelaksanaan pembangunan di bidang keagamaan. Kemudian, untuk menjalankan penyuluhan ini, pemerintah telah melakukan reposisi kedudukan dan fungsi penyuluh, berdasarkan Keputusan Presiden No. 87 Tahun 1999, yaitu yang menempatkan penyuluh Dalam Keppres itu disebutkan bahwa Rumpun Keagamaan adalah rumpun jabatan fungsional Pegawai Negeri Sipil yang tugasnya berkaitan dengan penelitian, peningkatan atau pengembangan konsep, teori, dan metode operasional serta pelaksanaan kegiatan teknis yang berhubungan dengan pembinaan rohani dan moral masyarakat sesuai dengan agama yang dianutnya. Keppres ini kemudian dijabarkan dalam Keputusan Bersama Meteri Agama dan Kepala Badan Kepegawaian Negara no: 574 tahun 1999 dan no: 178 Tahun 1999 tentang petunjuk pelaksanaan jabatan fungsional Penyuluh Agama dan Angka Kreditnya.
Jadi, berdasarkan Keppres No: 87/1999 ini, berarti bahwa Penyuluh Agama Islam secara de-jure memiliki kedudukan yang sama dengan jabatan fungsional lainnya, seperti; peneliti, dosen/guru, widyaiswara, dokter, pengawas sekolah, akuntan, pustakawan, penyuluh KB, penyuluh pertanian dan sebagainya (Departemen Agama RI Sekretariat Jenderal Biro Kepegawaian: 1999).
Namun demikian, tidak dipungkiri bahwa secara de facto, Penyuluh Agama Islam yang menjadi pelaksana teknis program penyuluhan di masyarakat, sejauh ini masih dihadapkan pada sejumlah problem, sebagaimana sejumlah problem yang terjadi dalam program penyuluhan. Tulisan ini baru sebatas akan mengidentifikai problem penyuluhan dan sekilas melihat tantangan PAI ke depan.

Identifikasi Problem Penyuluhan
Reposisi penyuluh sampai sekarang telah berjalan lima tahun. Dalam proses perjalanan sebuah perbaikan, tentu waktu lima tahun ini bisa dibilang masih dalam tahap proses penataan stake holder penyuluhan. Tanpa menafikan usaha-usaha penataan kelembagaan dari berbagai stake holder yang ada, kita melihat ada empat persoalan utama yang masih dihadapi dalam implementasi penyuluhan, yaitu: permasalahan struktural, manajerial, sumber daya penyuluh dan kultural.
Dalam aspek struktural, penyuluhan agama Islam dihadapkan pada sentralisasi kebijakan yang masih terkonsentrasi di tingkat pusat. Akibatnya, secara struktural Bidang Penamas di tingkat Kanwil Depag dan apalagi tingkat Kandepag sebagai pihak yang berkompeten langsung mengampu program penyuluhan sampai dan bersentuhan langsung dengan customer (kelompok binaan) memang diberi kesempatan merencanakan program dan mengorganisir sumber daya penyuluh. Namun demikian, kewenangan "final" untuk memutuskan dapat atau tidaknya program penyuluhan itu dilaksanakan, khususnya menyangkut pembiayaannya tetap berada di tingkat pusat. Di samping itu, kemampuan perencanaan program di Bidang Penamas Kanwil Depag sendiri masih kurang. Rapat Kerja Daerah setiap tahun yang menjadi forum sangat penting dalam perumusan program di tingkat Kanwil/Kandepag umumnya berjalan sebagai forum "ketok palu" saja terhadap rumusan program yang sudah ada yang diambil dari tahun sebelumnya. Karena itu, Bidang Penamas Kanwil dan Kandepag, dapat diibaratkan masih sebatas sebagai "pekerja" yang belum memiliki kemampuan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan strategis dan program-program penyuluhan yang prospektif.
Permasalahan struktural di atas menyebabkan manajerial di tingkat Kanwil dan Kandepag kurang dapat berjalan secara efektif dan antisipatif sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Bahkan, manajerial Bidang Penamas di tingkat Kanwil Depag dan Kandepag lebih cenderung diposisikan diri atau kemungkinan memposisikan diri sebagai "pekerja" pusat atau kepanjangan tangan dari pusat.
Kemudian, sumber daya penyuluh, yaitu Penyuluh Agama Islam (PAI) dalam proses penyuluhan adalah subyek yang menentukan keberhasilan tujuan dan target penyuluhan. Namun demikian, sementara ini sumber daya penyuluh di Kanwil Depag DIY yang berjumlah 79 orang masih juga dihadapkan pada beberapa persoalan.
Pertama, kurangnya pemahaman terhadap berbagai persoalan yang berkaitan dengan penyuluhan. Modal utama PAI dalam melakukan penyuluhan lebih bertumpu pada semangat dakwah dan "perasaan kewajiban" menjalankan tugas sebagai pegawai Departemen Agama. Sebagian besar PAI yang berjumlah 79 orang, sejauh ini belum memahami secara komprehensif mengenai konsep dasar penyuluhan, pendekatan penyuluhan, teknik-teknik penyuluhan dan teori-teori penyuluhan. Daya baca para penyuluh terhadap sumber-sumber utama konsep penyuluhan (atau dalam kajian akademik lebih dikenal dengan istilah konseling) masih lemah. Kemungkinan, malah ada sebagian di antara penyuluh yang belum mengetahui buku-buku atau sumber rujukan apa saja yang harus dibaca untuk memperkaya pemahamannya dan ketrampilannya yang dapat mendukung profesinya sebagai penyuluh agama Islam (Islamic counselor). Buku-buku yang bisa menjadi referensi dalam penyuluhan, seperti; Mohammad Surya, Dasar-dasar penyuluhan; Rosydi Ahmad Syahada, Bimbingan dan konseling masyarakat dan pendidikan luar sekolah; Arifin, Pokok-pokok pikiran tentang bimbingan dan penyuluhan agama; AR. Romly, Penyuluhan agama mengahadapi tantangan baru; dan seabreg buku tentang bimbingan dan konseling sementara ini masih asing di kalangan PAI.
Kedua, lemahnya kemampuan metodologis para penyuluh dalam proses penyuluhan. Pelaksanaan pembelajaran dalam penyuluhan masih cenderung menggunakan cara-cara konvensional, yaitu ceramah yang bersifat satu arah. Peserta penyuluhan belum mampu terlibat secara partisipatoris sehingga forum pembelajaran itu statis dan monoton. Untuk membantu pemahaman dan kemampuan metodologis ini, sebenarnya dari Depag pusat telah menerbitkan beberapa buku pedoman bagi para penyuluh. Tetapi, buku-buku pedoman itu lebih banyak berisi petunjuk teknis-administratif bagi para penyuluh dalam melaksanakan penyuluhan, seperti; petunjuk teknis jabatan fungsional, pedoman materi bimbingan dan penyuluhan, pedoman identifikasi potensi wilayah, pedoman identifikasi kebutuhan sasaran, pedoman penilaian angka kredit, dan sebagainya. Lebih dari itu, di samping sosialisasi berbagai juklak dan juknis itu belum efektif, para penyuluh sendiri sebagian besar belum membaca pedoman-pedoman itu.
Ketiga, kesempatan pendidikan dan pelatihan bagi para penyuluh yang dilakukan oleh pusat sangat terbatas. Akibatnya, proses pelaksanaan penyuluhan, pendekatan dan kemampuan metodis para penyuluh masih jauh dari memadai sebagai bentuk proses pendidikan (non-formal) yang dapat memberdayakan kesadaran dan pengamalan keislaman khususnya dan kehidupan secara lebih luas pada umumnya.
Karena itu, tanpa menafikan semangat kerja dan perjuangan penyuluh yang kemungkinan ada yang bekerja melampaui batas waktu normal sebagai pegawai, sementara ini posisi dan perannya belum maksimal. PAI sementara ini masih cenderung berfungsi sebagai "tenaga administratif", misalnya mencari data untuk bahan laporan ke Kanwil Depag Propinsi. Kemudian, laporan itu diteruskan dari propinsi ke pusat.
Sementara itu, menurut Kapusdiklat Depag menyatakan bahwa aparat Depag pada umumnya dan khususnya PAI masih menghadapi persoalan sikap mental dan pengetahuan serta keterampilan, seperti: 1) budaya kerja lemah, kurang inisiatif dan lebih banyak menunggu perintah, dan kurang kesungguhan dalam pekerjaan, 2) pengetahuan dan kesadaran terhadap tugas dan misi institusi masih kurang, 3) sikap amanah dan saling percaya (trust) lemah, 4) budaya pamrih berlebihan, 5) orientasi pada pencapaian hasil dalam pelaksanaan tugas masih kurang, 6) kurang orientasi pada kepuasan jama'ah sasaran/binaan (customer), akibat kepekaan dan empati terhadap keutuhan stakehorders yang msih rendah, 7) minat untuk menambah pendidikan formal meningkat, tetapi belum diikuti kesadaran pemanfaatan pengetahuan baru dalam menjalankan tugas, 8) lebih banyak tenaga yang kurang memiliki keahlian (unskilled), 9) gagap teknologi, tetapi semangat untuk pengadaan teknologi baru tinggi, dan 10) pemanfaatan informasi baru dalam pelaksanaan tugas masih rendah.
Kemudian, permasalahan terakhir dalam penyuluhan adalah kultur atau budaya. Dalam hal masalah budaya ini, ada dua aspek yang menonjol, yaitu budaya internal kepenyuluhan dan budaya masyarakat. Khusus menyangkut budaya kepenyuluhan, sementara ini masih dihadapkan dengan budaya paternalis dan struktural. Komunikasi antara penyuluh dan atasan dibangun berdasarkan pola hubungan yang ketat antara atasan dan bawahan. Para penyuluh diposisikan sebagai pelaksana teknis yang wajib menjalankan apa saja kebijakan atasan dengan dibingkai loyalitas pada atasan, bukan loyalitas pada profesi atau pekerjaan. Sedangkan budaya pada masyarakat, program penyuluhan dihadapkan pada budaya global yang cenderung pragmatis, materialis dan ada kecenderungan kurang memandang penting persoalan agama bagi kehidupan. Masyarakat kita, khususnya masyarakat Islam sebagai sasaran penyuluhan, sekarang ini sedang menghadapi dislokasi dan disorientasi hidup. Mereka gagap menghadapi perkembangan zaman yang ditandai dengan perubahan budaya sebagai akibat dari penemuan dan penerapan berbagai teknologi canggih, khususnya di bidang transportasi, komunikasi dan informasi. Di satu sisi, realitas semacam ini sebenaranya dapat menjadi peluang, tetapi sementara ini masih menjadi tantangan bagi penyuluhan agama. Kesadaran untuk memperdalam agama secara intens dan reguler di kalangan masyarakat masih kurang. Di kalangan anak-anak ataupun remaja, cenderung berkembang anggapan bahwa kalau sudah bisa membaca Alquran, mereka merasa belajar agama sudah selesai. Demikian juga di kalangan masyarakat, pengajian rutin mingguan, bulanan atau selapanan, seperti; yasinan, mudzakarah, atau istighasah dapat sebenarnya berjalan. Tetapi, program-program itu lebih bersifat simbolik sebagai agenda ritual yang bersifat pribadi atau massal. Beberapa kegiatan itu belum mampu menggerakkan kesadaran untuk meningkatkan pemahaman, pengamalan dan penghayatan keagamaan yang lebih baik.
Secara detail, beberapa problem penyuluhan yang perlu dicermati secara kritis antara lain sebagai berikut :
1.Penentuan program-program penyuluhan masih bersifat sentralistik. Sejak diterapkannya otonomi daerah, Kanwil Depag propinsi dan Kandepag Kabupaten/Kota memang diberi kesempatan untuk membuat perencanaan program yang akan dimasukkan di dalam Daftar Isian Kegiatan (DIK) dan Daftar Isian Proyek (DIP) dalam setiap tahun anggaran melalui rapat kerja daerah (Rakerda). Tetapi, kesempatan itu baru sebatas usulan. Pada akhirnya, ketentuan program mana yang akan dijalankan, yaitu di masukkan di dalam DIK/DIP tetap berada di pusat.
2.Kemampuan perencanaan program-program penyuluhan yang kreatif, inovatif dan proyektif di tingkat Kanwil dan Kandepag masih lemah.
3.Pengelolaan sumber daya penyuluh belum efektif.
4.Lemahnya pemahaman para penyuluh terhadap konsep dasar penyuluhan, pendekatan penyuluhan, teknik-teknik penyuluhan dan teori-teori penyuluhan.
5.Implementasi pelaksanaan penyuluhan cenderung bersifat formalistik dan strukturalistik.
6.Para penyuluh agama belum memahami secara komprehensif pedoman operasional penyuluhan, misalnya menyangkut petunjuk teknis jabatan fungsional, materi bimbingan dan penyuluhan, pedoman identifikasi potensi wilayah, pedoman identifikasi kebutuhan sasaran, pedoman penilaian angka kredit, dan pedoman-pedoman lainnya.
7.Metode pelaksanaan penyuluhan lebih cenderung bersifat konvensional, belum partisipatif dan transformatif.
8.Belum efektifnya pelaksanaan pelaporan dan evaluasi program yang dapat menjadi dasar pengembangan program secara berkelanjutan.
9.Kemampuan penyuluh dalam hal penguasaan teknologi pendukung masih lemah.
10.Frekuensi dan kesempatan pengembangan dan pelatihan yang sangat terbatas dan belum efektif.
11.Belum adanya peluang atau kesempatan pemfasisilitasian, khususnya pembiayaan (beasiswa) untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi.
12.Belum adanya biaya operasional pelaksanaan penyuluhan di lapangan.
13.Belum dimanfaatkannya perangkat teknologi informasi dan komunikasi yang memadai untuk mendukung proses penyuluhan.
14.Lemahnya data base seputar kelompok sasaran penyuluhan.

Tantangan ke depan bagi penyuluh
Beberapa problem di atas, adalah masalah besar yang kemungkinan kita sulit untuk darmana harus memulai langkah pembenahannya. Lepas dari itu, yang terpenting adalah bahwa beberapa persoalan di atas tidak harus menjadi hambatan dalam menjalankan penyuluhan, tetapi tantangan nyata yang perlu dicermati dan dikritisi secara kreatif dan antisipatif. Dalam upaya ini, maka langkah antisipatif dan strategis yang dapat dilakukan mulai dari sekarang (jangka pendek) adalah memaksimalkan pengelolaan sumber daya penyuluh secara reguler dan berkelanjutan. Menunggu adanya pembenahan kebijakan dari pusat adalah pekerjaan yang menghabiskan energi (tetapi mutlak diperlukan), sementara kemungkinan hasilnya terlalu sulit untuk diprediksikan.
Karena itu, tantangan langsung ke depan bagi penyuluh yang sebenarnya adalah diri penyuluh itu sendiri. Untuk itu, beberapa langkah praktis dalam upaya pemberdayaan penyuluh untuk keluar dari keterkungkungan problem internal kelembagaan penyuluh antara lain sebagai berikut :
1. Memaksimalkan potensi kreatif penyuluh secara mandiri
2. Menghilangkan budaya "menunggu dhawuh" dari atasan, tetapi kreatif menerobos peluang-peluang untuk mampu berkarya secara produktif.
3. Mengefektifkan pengorganisian penyuluh di ditingkat kabupaten dan wilayah sebagai media yang paling strategis untuk melakukan proses pemberdayaan penyuluh, misalnya melalui kajian pustaka, kajian metodologis atau teknologis penyuluhan dan sebagainya.
4. Membuka peluang kerja sama melalui kelompok kerja di tingkat Kandepag/Kanwil dengan lembaga-lembaga sosial keagamaan yang memiliki konsen dengan program penyuluhan khususnya atau pemberdayaan masyarakat pada umumnya.

Beberapa langkah di atas, barangkali masih bersifat normatif. Karena itu, setiap penyuluh perlu menterjemahkan secara kreatif sesuai dengan potensi dan peluang yang memungkinkan untuk diterobos baik secara mandiri maupun secara kolektif.
Namun demikian, upaya pembenahan beberapa problem di atas, tentu akan lebih efektif sekiranya para pejabat di tingkat Kanwil dan Kandepag juga memiliki political will untuk melakukan pembehanan dalam mekanisme kepemimpinannya. Minimal para pejabat kita mampu menciptakan kondisi yang kompetitif untuk tumbuhnya budaya kerja yang bertanggung jawab, mengedepankan prestasi, transparansi, dan menghargai kreatifitas dan inovasi dari para penyuluh yang dapat memperkaya kualitas layanan proses penyuluhan.
Akhirnya, semoga tulisan ini menjadi titik awal untuk melakukan kajian lebih intensif dalam upaya pembenahan penyuluhan secara reguler dan berkelanjutan. Semoga.
Yogyakarta, 18 Januari 2005
Referensi
Arifin (1976), Pokok-pokok pikiran tentang bimbingan dan penyuluhan agama. Jakarta: Bulan Bintang.

Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Bagian Proyek Peningkatan Tenaga Keagamaan Penyuluh Agama Tahun 2002 (2002), Petunjuk teknis jabatan fungsional Penyuluh Agama Islam, Jakarta, (Cet. Ke-3).

________ , Pedoman identifikasi wilayah Penyuluh Agama Islam, Jakarta

________, Pedoman identifikasi kebutuhan sasaran Penyuluh Agama Islam, Jakarta

________, Pedoman identifikasi pembentukan kelompok sasaran Penyuluh Agama Islam ahli, Jakarta

________, Pedoman penilaian Penyuluh Agama Islam, Jakarta

________, Pedoman penyusunan laporan Penyuluh Agama Islam (Panduan tugas Penyuluh Agama Islam), Jakarta

________, Pengembangan materi Penyuluh Agama Islam, Jakarta

________, Materi bimbingan dan penyuluhan bagi Penyuluh Agama Islam Ahli, Jakarta

Depertemen Agama RI Direktorat Jendaral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji (2000), Himpunan peraturan tentang jabatan fungsional penyuluh agama dan angka kreditnya, Jakarta.

Mahlani (2001), “Penataan institusi penyuluh agama”, Yogyakarta: Majalah BAKTI Kanwil Departemen Agama DIY No. 116-Th.XI-Februari.

Romli (2001), Penyuluhan agama menghadapi tantangan baru, Jakarta: Bina Rena Pariwara.

Sudijono (2002), “Visi, Misi, Kebijakan dan Program Kanwil Departemen Agama Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”, (Makalah).

Syuhada, Roosdi Ahmad (1988), Bimbingan dan konseling dalam masyarakat dan pendidikan luar sekolah, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.


Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Menggali Potensi Unik

Manusia adalah makhluk Allah yang memiliki keistimewaan luar biasa, dibandingkan makhluk lainnya. Sekalipun secara fisik termasuk makhluk yang lemah, tetapi, dibalik lemahnya fisik itu menyimpan kekuatan luar biasa, yaitu potensi unik yang tidak dimiliki makhluk manapun.
Potensi unik manusia adalah termasuk karunia terbesar dan termahal dari Allah SWT. Mengapa demikian, ini karena potensi unik itu tidak dapat diciptakan oleh teknologi canggih seperti apapun dan juga tidak dapat dibeli dengan harga seberapapun. Karena itu, potensi unik, hanya bisa digali dan dikembangkan sehingga menjadikan manusia memiliki daya guna secara maksimal.

Apa Itu Potensi Unik ?
Potensi unik adalah energi yang ada di dalam diri seseorang, dimana energi itu menjadi kekuatan pendorong bagi seseorang untuk melakukan sesuatu. Ketika energi itu diaktualkan, maka yang nampak di luar adalah dalam bentuk tiga hal, yaitu; bakat, minat dan hobi.
Bakat adalah kecenderungan seseorang yang dilakukan dengan konsisten, ketekunan dan kerajinan yang tinggi sehingga bisa memperlihatkan kemajuan yang luar biasa dalam setiap jenjang latihan. Bakat tidak akan luntur sekalipun ketika keinginan atau kemauan seseorang untuk melakukannya berkurang. Karena itu, bakat itu bersifat permanen dan dalam saat tertentu akan ditekuninya kembali.
Sementara itu, minat dan hobi adalah kecenderungan yang dilakukan seseorang oleh karena kebiasaan yang disebabkan oleh keinginan diri atau lingkungan. Minat dan hobi bisa luntur dan berubah, karena faktor internal atau eksternal. Karena itu, dalam hobi dan minat tidak terdapat keunikan yang luar biasa sebagaimana dalam bakat.
Setiap orang, sejak lahir sebenarnya sama-sama memiliki energi dan komponen yang menjadi media mengaktualkan energi itu. Hal ini ditegaskan Allah dalam ayat berikut :

وَاللهُ اَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُوْنِ اُمَّهتِكُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ شَيْـئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَاْلاَبْصَرَ وَاْلاَفْـئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ. (النحل: 78)

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur. (QS. An-Nahl, 16:78)

Akan tetapi, energi tersebut pada diri setiap orang memiliki daya dorong atau daya aktual yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain; Pertama, pertumbuhan dan perkembangan secara biologis janin dalam kandungan dan setelah lahir (khususnya kesehatan psikis dan fisiknya). Kedua, rangsangan atau stimulus dari luar. Ketiga, lingkungan tempat bergaul.
Janin manusia yang tumbuh dan berkembang secara normal, pesan-pesan religius telah ditanamkan secara dini sebagai dasar pembentukan karakter pribadi, dan kebutuhan-kebutuhan biologisnya terpenuhi secara seimbang, maka pribadi orang tersebut akan berkembang secara sehat dan maksimal. Semua komponen badannya tumbuh secara baik; otak, syaraf, jantung, paru-paru, ginjal, lambung, saluran pernafasan dan sebagainya berfungsi secara normal. Demikian juga semua indera dan kelengkapan anggota badan lainnya, seperti; mata, telinga, mulut, hidung, tangan, kaki dan sebagainya berfungsi secara baik.
Terjaminnya kenormalan dan fungsi secara baik semua organ tubuh itu, adalah modal utama tersalurkannya energi dari dalam untuk teraktualkan secara baik; mental, sikap, pikiran, keinginan, perasaan, dan tindakannya bisa berjalan secara normal dan seimbang. Dari situlah, maka seorang anak manusia akan berproses yang pada awalnya, hanya bisa menangis dan menggerak-gerakkan badan, tangan atau kakinya, kemudian bertambah jadi bisa tengkurab, merangkak, lantas bisa berjalan dan berlari. Demikian juga, fungsi-fungsi tubuh lainnya, kemampuan bahasa. logika dan ketrampilan lainnya akan terus berkembang bersamaan dengan perkembangan psikis dan fisiknya serta intensitas stimulus (rangsangan) yang diterimanya.
Stimulus atau rangsangan memiliki fungsi yang sangat strategis, khususnya untuk memacu perkembangan mental, sikap, pikiran, keinginan dan ketrampilan-ketrampilan teknis. Karena itu, stimulus yang berjalan, misalnya melalui pendidikan, pelatihan, pegaulan dan sebagainya akan menjadi pangalaman yang mampu menjadi katalisator sekaligus memperkaya khasanah kesadaran, pengetahuan, dan pengalaman-pengalaman praktis. Sementara itu, lingkungan pergaulan merupakan tempat pematangan pengalaman individual dan implementasi untuk melahirkan pengalaman-pengalaman baru. Karena itu, luas atau sempitnya pergaulan seseorang akan mempengaruhi kemampuan produktif dan kreatif seseorang.

Penggalian dan Pengembangan Potensi Unik
Dengan demikian, setiap orang sebenarnya memiliki kesempatan yang sama untuk mampu tumbuh dan berkembang potensi uniknya secara maksimal. Hanya saja, seringkali kita tidak mampu mendayagunakan potensi uniknya itu. Akibatnya, orang tersebut sehingga mampu melakukan peran-peran kemanusiaan sebagai perwujudan dari prestasi hidupnya. Hal ini disinyalir oleh A. Winter dan R. Winter bahwa rata-rata orang dewasa hanya menggunakan sekitar 10 % dari potensi kecerdasannya selama hidupnya. Padahal potensi kecerdasan itu, hanya salah satu dari potensi-potensi lainnya, seperti kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional. Karena itu, saying sekali bahwa sebagian besar dari potensi unik kita itu dibawa mati ke liang kubur tanpa pernah digunakan.
Karena itu, setiap orang perlu dan penting untuk menggali dan mengembangkan potensi uniknya secara maksimal.
Beberapa pertanyaan berikut bisa dilakukan untuk menggali dan mengembangkan potensi unik.
1. Bidang kegiatan apa yang sangat memikat hati Anda ?
Setiap orang biasanya memiliki aktivitas atau kegiatan yang memikat hatinya. Ia merasa kecewa jika tidak bisa melakukan kegiatan yang telah memikat hatinya itu. Karena itu, kegiatan yang memikat itu sekaligus akan mengikat anda untuk secara terus-menerus dan sungguh-sungguh melakukannya. Contohnya, jika anda telah tertarik pada suatu kegiatan, seperti menjadi guru, teknokrat, wirausaha, politisi, trainer, pengrajin dan sebagainya, maka tekunilah kegiatan itu secara sungguh-sungguh.
2. Bidang kegiatan apa yang memberikan kepuasan batin sangat mendalam ?
Kepuasan batin adalah tuntutan psikologis yang ada pada setiap orang. Karena itu, kepuasan batin yang diperoleh melalui suatu kegiatan akan membuka ruang kesadaran untuk menjadi kebutuhan yang bersifat terus-menerus. Implikasinya, sebuah kegiatan yang memberikan kepuasan batin, tidak akan mengalami kejenuhan sekalipun dilakukan secara kontinu.
3. Bidang kegiatan apa yang terasa sangat mudah Anda palajari ?
Kegiatan yang mudah dipelajari akan membuka kesempatan untuk terus dan terus mempelajarinya. Sebab, kemudahan itu akan memperkuat tingkat kefahaman yang semakin tingggi.
4. Bidang kegiatan apa yang membuat Anda seakan-akan menyatu dengannya ?
Menyatu dengan kegiatan yang kita lakukan, berarti tidak adanya jarak antara kita dengan pekerjaan itu. Artinya bahwa kesuksesan pekerjaan itu, secara simultan akan menjadi ukuran kesuksesan pribadi. Demikian juga sebaliknya, kegagalan pekerjaan itu, akan berarti pula kegagalan pribadi yang bersangkutan. Implikasi lebih jauh dari itu, maka pekerjaan menjadi bagian dari hidup.
Akhirnya, potensi unik adalah kekayaan yang memiliki nilai luar biasa, bahkan sama dengan nilai kehidupan kita. Sebab, potensi unik adalah bagian adari karunia Allah SWT yang unik pula bagi kita. Tidak ada makhluk lain yang mempunyai potensi itu. Kita tinggal menggali dan mengembangkan agar aktual menjadi kekuatan yang mampu membangun hidup kita menjadi bermakna.
Semoga Allah memberi kekuatan dan jalan kemudahan untuk menggali serta mengembangkan potensi unik yang kita miliki. Insya Allah
Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Pribadi unggul

Pribadi unggul adalah sosok pribadi seseorang yang memiliki tiga aspek; kognitif, affektif dan psiko-motorik, bisa berkembang secara seimbang dan terpadu. Pengembangan yang benar atas ketiga aspek dalam pribadi itu, akan melahirkan profile pribadi yang memiliki ciri-ciri berikut :
a. Beriman
Iman menjadi landasan dalam berpikir, bersikap dan berperilaku.
b. Berislam
Islam merupakan jalan/cara yang benar untuk mengantar hidup seseorang menuju keselamatan, kesejahteraan, kedamaian dan kemenangan.
c. Beramal/berkarya
Amal merupakan aktualisiasi dari pemahaman dan penghayatan iman serta pengamalan atau pengalaman mempraktekkan ajaran-ajaran Islam yang terwujud dalam pemikiran, sikap, mentalitas dan perilaku. Dalam aspek ketiga inilah kita bisa melihat gambaran nyata sosok kepribadian (personality) seseorang.

Dengan demikian, kepribadian (personality) adalah harta yang paling berharga bagi hidup dan kehidupan kita. Personaliti merupakan bentuk pelahiran dari gambaran citra diri, sikap, mentalitas, wawasan dan ketrampilan (skill) yang dimiliki seseorang. Inilah yang disebut potensi diri. Potensi diri itu, dalam kehidupan sehari-hari terbentuk, juga atas pengaruh lingkungan. Dengan demikian, kepribadian seseorang itu, dibentuk oleh potensi diri (internal) dan perkembangan sosio-budaya sekitarnya (eksternal).
Beberapa ciri-ciri kepribadian yang baik, antara lain :
1. Sikap dan mentalitasnya mantap
2. Pengetahuannya/wawasannya luas
3. Memiliki ketrampilan (skill) teknis yang cukup
4. Mau dan mampu beramal shaleh (berkeinginan untuk berprestasi).

Keempat ciri di atas, kemudian melahirkan beberapa sifat pribadi berikut :
1. Tegas (bisa membedakan jalan kebenaran dan kesesatan). Ia memiliki kemampuan memilih dan memutuskan yang terbaik bagi diri dan lingkungannya.
2. Arif – bijaksana (bertanggung jawab, lemah lembut, penuh kasih, tahu sopan santun atau tata krama dan tata tertib).
3. Cerdas – kreatif – inovatif.
Yaitu, mampu menanaani berbagai persoalan pribadi dan lingkungannya, serta mampu mengembangkan diri secara kreatif-inovatif (mandiri, independen dan bisa berkarya untuk amal shaleh dengan ilmunya, hartanya atau tenaganya, bagkan kalau mungkin dengan jiwanya).
4. Komitmen/kepedulian terhadap masyarakat/lingkungan
Yaitu peduli terhadap pengembangan masa depan masyarakat untuk menuju ke keadaan/kondisi yang lebih baik. Selalu melibatkan diri dalam berbagai aktivitas masyarakat yang positif dengan kemampuan prakarsa, inisiatif, tenaga ataupun hartanya.

Sifat-sifat itulah yang dalam sejarah Islam, telah dicontohkan secara jelas oleh Muhammad SAW, yang tergambar dalam sifat-sifat luhurnya; shiddiq, amanah, fathonah dan tabligh. Cuma persoalan bagi kita sekarang adalah, maukah dan mampukah kita mencontoh sifat-sifat pribadi Nabi dalam kehidupan kita sehari-hari ? Inilah pekerjaan besar bagi kaum muda sekarang ini. Wallahu a’lam. Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Jumat, 18 Desember 2009

Kepercayaan Diri Rendah

Ada sebagian orang yang setiap harinya dihantui oleh perasaan was-was, ragu-ragu, bimbang, khawatir, dan gusar atas masa depan yang akan dihadapinya. Ia ragu-ragu, was-was, gusar dan bimbang terhadap apa yang akan terjadi pada dirinya. Sejak bangun tidur sampai tertidur lagi, perasaan semacam itu selalu tergambar di kelopak matanya. Bagaimana kondisi semacam ini bisa terjadi?
Perasaan seperti di atas, sebenarnya akibat dari kondisi emosi yang tidak stabil, khususnya berkaitan dengan kepercayaan diri. Orang yang dihantui oleh perasaan seperti di atas berarti kepercayaan dirinya lemah. Akibat lebih jauh dari kondisi semacam ini, maka umumnya orang semacam ini tidak pernah merasa nyaman dan tidak berani melakukan sesuatu - termasuk tidak berani berubah mengalami sesuatu yang baru atau lain dengan biasanya. Termasuk dalam hal ini, pribadi semacam ini biasanya sulit menerima masukan dari orang lain. Ketika mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan, maka ia akan mencari "kambing hitam" terhadap sesuatu atau siapa saja di luar dirinya.
Karena itu dalam jangka panjang, pribadi seperti di atas akan menjadi penyakit. Kemudian, secara sosial, bisanya orang semacam ini akan menjadi touble maker.
Lantas, bagaimana cara mengatasi orang dengan pribadi seperti di atas? Langkah yang efektif adalah dengan memaksimalkan untuk dapat bersosialisasi dengan orang lain dan menghadapkan pada berbagai kenyataan hidup.
Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Berani menghadapi masa depan

Ada sebagian orang yang dihinggapi penyakit keragu-raguan, galau, gusar, khawatir, dan sejenisnya terhadap masa depannya. Sejak bangun tidur sampai tidur lagi yang dipikirkan hanya satu, "Bagaimana nasib saya nantinya".

Sebenarnya, perasaan seperti di atas, selagi itu terjadi kadangkala saja, tidak akan menjadi problem dalam pribadi seseorang. Tetapi jika perasaan semacam itu terjadi secara-terus menerus, maka bisa jadi akan menjadi penyakit yang bisa berdampak negatif terhadap penampilan pribadi seseorang.

Perasaan seperti di atas, ketika muncul secara berkelanjutan pada pribadi seseorang, lebih banyak dipengaruhi faktor kapasitas emosinya yang masih lemah, khsususnya pada aspek kepercayaan diri. Orang yang lemah dalam hal ini, maka penampilan yang nampak adalah orang tersebut tidak memiliki keberanian untuk menyikapi sesuatu secara jelas dan tegas. Akibatnya, yang muncul adalah rasa ragu-ragu, khawatir, gusar dan sejenisnya. Termasuk ketika harus menghadapi masa depan. Karena itu, kuncinya sebenarnya adalah keberanian. Artinya bahwa untuk menghadapi masa depan, yang utama diperlukan adalah keberanian, termasuk keberanian mengambil sikap.
Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Rabu, 02 Desember 2009

Berkorban


Berqurbanlah sebelum menjadi korban. Berkorban adalah bagian dari rumus meraih penghidupan yang baik. Tidak ada kebaikan yang dapat dicapai tanpa pengorbanan. Karena itu, tuntunan Qurban, yaitu menyembelih binatang sesuai dengan syari'ah, merupakan bagian dari implementasi kesediaan berkorban untuk meraih kebaikan yang melimpah.

Karena itu, apapun yang kita inginkan - untuk mencapainya perlu pengorbanan: tenaga, pikiran, waktu, biaya, dan sebagainya.
Selamat berqurban - semoga kita tidak menjadi korban dan terhindar dari sesuatu yang tidak bermanfaat.
Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Senin, 30 November 2009

Menguji Kompetensi Penyuluh Agama Islam


Penyuluh Agama Islam sebagai tenaga fungsional hampir genap satu dasawarsa. Ini berarti bahwa secara kelembagaan - Penyuluh Agama Islam telah bisa dibilang telah melampaui masa-masa kritis bagi eksistensi sebuah lembaga. Hanya persoalannya, hampir satu dasawarsa perjalanan Penyuluh AGama Islam Fungsional ini apakah benar-benar dapat merumuskan peran dan fungsinya secara meyakinkan di tengah masyarakat, ataukah masih dihadapkan pada kegagapan mencari format implementasi peran-peran sosial di masyarakat. Di samping itu, bersamaan dengan semakin banyak jumlah Penyuluh Agama Islam yang diangkat melalui jalur pemberkasan tentu menjadi jalan keluar paling efektif untuk memenuhi kebutuhan kuantitatif, tetapi bersamaan dengan itu, apakah juga dapat diimbangi dengan penataan manajemen kelembagaan yang efektif? ini tentu menjadi agenda yang perlu mendapat perhatian serius bagi para penyuluh sendiri dan pejabat-pejabat yang berkompeten.

Yang pasti bahwa kehadiran Penyuluh Agama Islam Fungsional tentu tidak bisa disandarkan hanya pada legalitas formal sebagai bagian dari tenaga fungsional yang dijamin dengan hukum yang pasti. Akan tetapi, ke depan, sepak terjang Penyuluh Agama Islam dengan segenap potensi dan kewenangannya dalam melakukan pemberdayaan masyarakat - khususnya dalam sisi religiusitas - tentu akan menjadi modal utama yang akan mendukung eksistensinta dalam berkomunikasi dengan tenaga-tenaga fungsional lain, seperti; gurum dosen, peneliti, penyuluh pertanian, penyuluh kesehatan dan sebagainya.

Karena itu, ke depan, uji kompetensi Penyuluh Agama Islam barangkali memang menjadi sebuah tuntutan kelembagaan yang tidak bisa dielakkan. Hanya saja, uji kompetensi ini tentu harus diorientasikan pada upaya pemberdayaan Penyuluh dalam berbagai dimensinya. Formulasinya, disamping perlu kemauan kerja keras untuk belajar lebih banyak dari penyuluh yang bersangkutan, juga perlu dukungan kelembagaan dari pimpinan untuk benar-benar berkomitmen untuk memajukan penyuluh, yaitu dengan memfasilitasi berbagai kegiatan penyuluh yang konstruktif dan prostektif. Semoga
Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Hari ini


Hari ini adalah hari yang sebenarnya milik kita. Hari ini adalah hari kita bisa menikmatinya - senang, gembira, berbunga-bunga, atau sedih, susah, menderita dan sebagainya, atau malah tidak merasakan apa-apa - alias senang tidak ataupun sedih pun tidak. Yang pasti bahwa hari ini adalah salah satu dimensi waktu di antara dua waktu lainnya, yaitu kemarin dan esok hari - yang akan datang.

Hari kemarin - hari yang telah kita lewati adalah masa lalu - telah menjadi sejarah dalam perjalanan hidup kita. Hari kemarin tidak akan kambali selamanya. Pengalaman apa yang terjadi pada hari kemarin - kita tinggal mengingatnya kembali. Karena itu, hari kemarin dapat menjadi sumber pembelajaran yang baik - sekiranya kita mau untuk mempelajarinya dan mengambil catatan-catatan penting untuk dijadikan sumber pembelajaran. Tetapi, sekiranya kita tidak peduli dengan itu semua - masa bodoh dengan pengalaman di hari kemarin, maka kita tidak akan mendapatkan apa-apa - hari kemarin telah berlalu dan hilang ditelan perjalanan waktu.

Hari esok adalah hari dimana kita dapat menanam harapan; harapan untuk dapat hidup lebih baik, lebih menyenangkan, lebih luar biasa atau harapan untuk bisa berkarya lebih banyak yang bermanfaat bagi orang banyak. Hari esok adalah waktu dimana kiita bisa menanam impian. Karena itu, hari esok belum menjadi milik kita - kita baru bisa merencakanan - tetapi apa yang sebenarnya akan terjadi - kita belum bisa memberikan jaminan.

Sebagai orang terpelajar, kita dimungkinkan untuk dapat memaknai hari ini dengan segenap kekuatan yang kita miliki, berdasarkan pengalaman hari kemarin dalam rangka untuk investasi hari esok yang lebih mencerahkan. Semoga

Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO