Senin, 11 Oktober 2010

Mengenal Kecakapan Emosi

Kita sering menjumpai seseorang yang sekolah atau kuliah lulus dengan nilai sangat memuaskan, tetapi tidak dapat banyak berbuat bagi masyarakat. Sederhananya, seseorang memiliki prestasi akademik yang tinggi, tetapi tidak dapat bersosialisasi dengan masyarakat lingkungannya. Bahkan cenderung egois – alias tidak memiliki kepedulian terhadap masyarakat. Ada juga seseorang yang prestasi akademik sekolah atau kuliahnya sangat baik tetapi ketika dihadapkan pada pekerjaan harus kebingungan, mau bekerja apa atau bekerja dimana. Kemudian, ketika orang tersebut mengajukan surat lamaran pekerjaan ke berbagai perusahaan, kantor atau instansi, tetapi belum juga dapat diterima.
Sementara itu, dalam kasus lainnya, ada orang yang memiliki prestasi akademik sangat baik, tetapi kurang sukses dalam bekerja. Sebaliknya, ada orang yang prestasi akademiknya biasa saja (rata-rata) tetapi justru dapat meraih kesuksesan yang baik. Mengapa demikian?
Keberhasilan pekerjaan atau kesuksesan dalam bekerja memang tidak sepenuhnya ditentukan oleh prestasi akademik yang kekuatan utamanya adalah kecakapan intelektual (intellectual question/IQ). Akan tetapi, ada kecerdasan lain yang ikut berperan dalam menentukan keberhasilan atau kesuksesan seseorang.

Beberapa tahun terakhir ini, telah berkembang beberapa pemikiran yang menyatakan bahwa keberhasilan seseorang tidak hanya hanya ditentukan oleh tingkat IQ, tetapi ada kecerdasan lain yang ikut menentukan, di antaranya kecakapan emosi (emotional question), kecakapan spiritual (spiritual question), dan lain-lain. Dalam kesempatan ini, kita akan mengeksplorasi khusus soal kecakapan emosi.


Pengertian Kecakapan Emosi
Kecakapan emosi adalah kekuatan personal yang meliputi aspek internal dan eksternal yang menjadi locus of controll aktivitas seseorang. Ini berarti bahwa kecakapan emosi sangat menentukan sikap, sifat dan kemampuan pribadi seseorang.
Kecakapan emosi terdiri dari dua aspek :
1. Kecakapan pribadi (internal), terdiri dari :
a. Kesadaran Diri (Self Awareness)
b. Pengaturan Diri (Self Regulation)
c. Motivasi (motivation)

2. Kecakapan sosial (eksternal) (Social Comptetence), terdiri dari :
a. Empati (Emphaty)
b. Keterampilan Sosial (Social Skills)

Kerangka kerja kecakapan emosi

1. Kecakapan Pribadi (Personal Competence)
Kecakapan ini menentukan dan menetapkan bagaimana kita mengelola diri sendiri, yaitu meliputi kesadaran diri (self awareness), pengaturan diri (self regulation) dan motivasi (motivation).
a. Kesadaran Diri (Self Awareness)
Mengetahui kondisi diri sendiri, kesukaan dan kegemaran , sumber-sumber daya dan intuisi pribadi.
 Kesadaran Emosi (Emotional Awareness): yakni mengenali emosi pribadi dan efeknya bagi diri sendiri.
 Penilaian diri secara akurat (Accurate self assessment ) : mengetahui keunggulan atau kekuatan-kekuatan, kelemahan dan limit diri sendiri
 Percaya diri (Self confidence): yakni keyakinan tentang harga diri dan kemampuan pribadi.


b. Pengaturan Diri (Self Regulation)
Mengelola kondisi kemauan, kebutuhan, impuls (desakan), drive (dorongan) dan sumberdaya diri sendiri.
 Kendali Diri (Self Control): mengelola emosi-emosi dan desakan ( impuls) hati-hati yang merusak.
 Sifat dapat dipercaya (Trustworthiness): memelihara dan internalisasi norma kejujuran dan integritas pribadi.
 Kehati-hatian (Conscientiousness) : bertanggungjawab atas kinerja pribadi.
 Inovasi (Innovation ) : mudah menerima dan terbuka terhadap gagasan, pendekatan dan informasi-informasi baru

c. Motivasi (Motivation)
Motivasi berkaitan dengan kecenderungan emosi yang mengantar atau memudahkan pencapaian sasaran atau tujuan hidup
 Dorongan berprestasi (Achievement drive): dorongan untuk menjadi lebih baik atau memenuhi standar keberhasilan.
 Komitmen (Commitment): menyesuaikan diri dengan sasaran kelompok atau lembaga.
 Inisiatif (Inisiative) : kesiapan untuk memanfaatkan peluang.
 Optimisme (Optimism): kegigihan dalam memperjuangkan sasaran walaupun ada kendala-kendala dan bahkan kegagalan.

2. Kecakapan Sosial (Social Competence)
Kecakapan ini menentukan bagaimana kita menangani hubungan sosial atau bagaimana kita menyikapi interaksi sosial antara kita.
a. Empati (Empathy)
Kesadaran terhadap perasaan , kebutuhan , dan kepentingan orang lain .
 Memahami orang lain (Understanding Others): Mengindra perasaan dan persfektif orang lain dan menunjukkan minat akatif terhadap kepnetingan orang lain,
 Mengembangkan orang lain (Developing Others): Merasakan kebutuhan pengembangnan orang lain dan berusaha menumbuhkan kemampuan orang lain.
 Orientasi Pelayanan (Service Orientation): Mengantisipasi, mengenali, dan beupaya memenuhi kebutuhan para pelanggan.
 Memanfaatkan Keragaman (Leveraging Diversity) : menumbuhakna peluang dengan melalui pergaulan.
 Kesadaran Politis (Political Awareness): mampu membaca arus-arus emosi sebuah kelompok dan hubungannya dengan kekuasaan.

b. Keterampilan Sosial (Social Skills)
Cerdas dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain.
 Pengaruh (influence) : Memiliki taktik-taktik untuk melakukan persuasi.
 Komunikasi (communicatuion): mengirim pesan yang jelas dan meyakinkan.
 Manajemen Konflik (conflict management) : Penanganan masalah-masalah yang berkembang di dalam masyarakat.
 Kepemimpinan (leadership): Memandu orang lain dengan membangkitkan inspirasi
 Katalisator perubahan (Change Catalyst): Memulai dan mengelola perubahan.
 Membangun hubungan (building bonds) : menumbuhkan hubungan yang bermanfaat.
 Kolaborasi dan Kooperasi (Collaboration and cooperation ) : kerjasama dengan orang lain demi tujuan bersama.
 Kemampuan tim (Team capabilities): menciptakan sinergi kelompok dalam memperjuangkan tujuan bersama.

Konsep Diri Negatif dan Positif

Seseorang dikatakan memiliki konsep diri negatif, bila:
1. Tidak memiliki pengetahuan yang menyeluruh tentang diri sendiri, sehingga ia tak memiliki kemampuan untuk mengetahui apa kekuatan dan kelemahan dirinya.
2. Memiliki pandangan yang kaku terhadap dirinya bahkan over estimate. Ia menolak gagasan dan informasi baru, sehingga ia sulit untuk mengubah konsep dirinya.
3. Lebih banyak melihat aspek kelemahan dari[pada aspek kekuatan dirinya.

Sehingga:
Orang yang mempunyai konsep diri negatif adalah orang yang tidak memiliki atau kurang memiliki pengetahuan tentang dirinya, harapan-harapannya terlalu tinggi atau rendah terutama penghargaan terhadap dirinya sendiri.

Seseorang yang mempunyai konsep diri positif, bila :
1. Memiliki pengetahuan yang menyeluruh mengenai dirinya, baik kelemahan maupun kelebihannya.
2. Dapat menerima diri apa adanya. Kelebihan tidak akan membuat dirinya sombong, sebaliknya kelemahan tidak akan membuat dirinya menjadi rendah diri atau bahkan kecewa.
3. Dapat mengubah dengan segala daya upaya guna mengurangi aspek-aspek yang dapat merugikan sebagaimana umpan balik yang ia terima.

Sehingga seseorang dikatakan memiliki konsep diri yang positif bila ia memilki pengetahuan yang luas dan dapat melakukan diversifikasi diri, harapan yang realistis dan penghargaan diri yang sehat.

Kesadaran diri Star Performer
Menurut Daniel Goleman, setiap orang yang mempunyai kesadaran diri Star Performer memiliki tiga ciri, yakni :
1. Kesadaran emosi, yakni tahu bagaimana pengaruh emosi terhadap kinerja kita, dan kemampuan menggunakan nilai-nilai kita untuk memandu pembuatan keputusan. Orang dengan kecakapan ini memiliki beberapa cirri-ciri:
 Tahu apa dan mengapa emosi yang sedang dirasakan.
 Sadar akan keterkaitan antara perasaan mereka dengan apa yang mereka pikirkan, perbuatan mereka dan apa yang mereka katakan.
 Tahu bahwa perasaan mereka akan sangat mempengaruhi kinerja mereka.
 Punya kesadaran yang jadi pedoman untuk nilai-nilai dan sasaran-sasaran mereka.

2. Penilaian diri secara akurat, yaitu perasaan yang tulus tentang kekuatan dan batas-batas pribadi kita., visi yang jelas tentang apa dan mana yang perlu diperbaiki dan kemampuan untuk belajar dari pengalaman. Orang dengan kecakapan ini memiliki beberapa ciri:
 Sadar akan kekuatan dan kelemahan
 Mampu merenung dan belajar dari pengalaman.
 Terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima gagasan baru, mau belajar dan mengembangkan diri sendiri.
 Punya rasa humor dan bersedia memandang diri dari berbagai sudut persfektif yang luas.

3. Percaya diri, yaitu keberanian karena adanya kepastian akan kempuan, nilai-nilai dan tujuan kita. Orang dengan kecakapan ini:
 Berani tampil dengan keyakinan diri, berani menyatakan eksistensi dirinya.
 Berani menyuarakan pandangan yang tidak populer dan bersedia berkorban demi kebenaran
 Tegas , yakni mampu membuat keputusan yang baik kendati dalam kondisi beresiko, tidak pasti dan tanpa data yang cukup.

Yogyakarta, 11 Oktober 2010

M. Mahlani
Islamic Counselor Kementerian Agama
Kota Yogyakarta
Sekretaris Eksekutif dan Trainer di Bimasena Training Center Yogyakarta
Sekretaris Yayasan Kemaslahatan Umat (YKU) Yogyakarta
Email: mmahalani@yahoo.com
Rumah:
Perumahan Pemda DIY No. P-23, Banjardadap Potorono Banguntapan Bantul 0274-7884217/081328075005

Sumber Bacaan :
Ary Ginanjar Agustian (2001), Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual Berdasarkan Rukun Iman dan Rukun Islam, Jakarta: Arga
Anthoni Dio Martin (2003), Emotional Quality Management, Jakarta: Arga
Daniel Goleman (1996), Kecerdasan Emosional: Mengapa EI lebih penting daripada IQ, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Sikap Positif Menghadapi Kegagalan

Anda pernah mendengar seorang Penyuluh Agama Islam (PAI) mengalami kegagalan dalam menjalankan tugas kepenyuluhannya? Penyuluh Agama Honorer (PAH) gagal menjalankan kewajiban selama satu tahun masa tugasnya? Seorang Penyuluh Agama Fungsional gagal menjalankan tugas-tugas kedinasannya? Sejauh ini kelihatannya belum pernah ada temuan yang secara pasti menyatakan bahwa penyuluh ’A’ gagal menjalankan misinya sebagai pencerah umat. Hal ini barangkali terkait dengan indikator yang menjadi patokan keberhasilan atau kegagalan profesi penyuluh belum ada, atau kalaupun sudah ada, tetapi belum dijalankan secara efektif.
Pastinya bahwa pekerjaan atau profesi apapun dapat mengalami kegagalan. Ini artinya bahwa profesi penyuluh sama dengan profesi lain, seperti pendidik, wirausahawan, politisi, peneliti, relawan sosial, dan sebagainya sama-sama bisa mengalami kegagalan. Seorang penyuluh gagal mengelola pribadi, gagal membangun rumah tangga, gagal mengelola kelompok binaan, gagal merumuskan program kerja, gagal menjalin hubungan yang baik dengan kelompok binaan atau mitra kerjanya, gagal menyelesaikan tugas dari atasan, gagal membuat berkas-berkas sebagai syarat formal naik pangkat/golongan dan sebagainya adalah bagian dari resiko pekerjaan.

Karena itu, kita perlu memahami makna kegagalan yang sebenarnya. Tanpa faham filosofi itu, jangan berpikir kita dapat mengambil jalan menjadi profesi yang penuh resiko seperti menjadi penyuluh yang profesional. Jelas bahwa menjadi penyuluh adalah profesi yang beresiko tinggi; resiko kesehatan dan keselamatan fisiknya, resiko karirnya, resiko penghasilannya dan bahkan resiko masa depannya. Mengapa demikian? Ambil saja salah satu resiko yang paling tinggi yaitu keselamatan dan kesehatan fisiknya.
Tugas pokok penyuluh adalah melakukan pembelajaran kepada masyarakat yang tersebar di seantero wilayah kerjanya. Ini artinya, seorang penyuluh dituntut melakukan mobilitas yang tinggi dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Apalagi jika kelompok binaannya semakin banyak, maka frekuensi perpindahan tempat akan semakin banyak pula. Ini berarti juga bahwa seorang penyuluh akan menghadapi resiko yang semakin besar akan keselamatan dirinya dalam perjalanannya – khususnya resiko kecelakaan. Belum lagi jika kegiatannya dilakukan malam hari atau bahkan menjelang subuh seperti setiap bulan Ramadhan. Jelas bahwa udara malam, apalagi larut malam sampai menjelang subuh adalah waktu yang sangat beresiko terhadap kesehatan fisik – khususnya terhadap berbagai penyakit dalam. Ini hanya sekelumit gambaran, betapa pilihan menjadi penyuluh benar-benar profesi yang sarat resiko, termasuk tentunya resiko kegagalan melakukan pemberdayaan dan pencerahan terhadap masyarakat warga binaannya – alias gagal melakukan penyuluhan.
Untuk itu, penting bagi setiap PAI agar dapat memahami benar resiko yang akan dihadapinya.
Menghadapi resiko adalah gabungan kerja keras, kecerdikan, kehati-hatian, kecermatan membaca peluang dan kesiapan menghadapi kegagalan maupun keberhasilan. Akhir yang menyenangkan (happy ending) atau dalam bahasa agamanya husnul khatimah, tentu menjadi harapan setiap penyuluh. Hanya saja, ini bisa dicapai, tentu setelah melewati keberhasilan demi keberhasilan kecil, tahap demi tahap, seperti keberhasilan menyingkirkan berbagai kesulitan dan bahaya. Proses ini dibangun dari kesungguhan melahirkan segenap potensi diri seorang relawan seperti PAI. Dengan begitu, ia akan dapat mengubah “kekalahan menjadi kemenangan”, sebuah proses yang kecil peluang pencapaiannya tanpa kesiapan mental menghadapi kegagalan. Karena itu, sekiranya Anda termasuk orang yang tidak siap gagal, lebih baik jangan meniti jalan menjadi Penyuluh Agama Islam. Bahkan, mengimpikannya saja, jangan!
Setiap kegagalan adalah pelajaran yang mendorong seorang penyuluh untuk mencoba pendekatan baru yang belum pernah dicoba sebelumnya. Bagi penyuluh sejati, “berani gagal” berarti “berani belajar”. Dengan gagal dan dengan belajar, maka penyuluh akan dapat tumbuh menjadi orang yang lebih baik dan belajar bagaimana menciptakan kekayaan pengalaman sejati – dimana pengalaman sejati itu akan menjadi modal utama dalam melakukan penyuluhan. Bukankah ada orang bijak menyatakan: ”Jangan harap Anda bisa merubah orang lain, sekiranya merubah dirinya sendiri atau keluarganya sendiri saja belum mampu”, ”Jangan berharap warga binaan kita akan dengan tulus menerima pesan yang kita sampaikan, jika kita sendiri belum dapat menyampaikannya dengan ketulusan sejati”. Walaupun seorang penyuluh kehilangan kesempatan yang telah mereka peroleh, mereka tahu bagaimana menciptakannya kembali – tanpa harus menunggu. Pelajarannya tidak pernah hilang.
Sebaliknya, mereka yang tidak pernah mengalami perjalanan yang sulit dan mendapatkan ”kekayaan hati” dengan mudah, maka ia tidak akan tahu bagaimana menciptakan kekayaan itu ketika mereka kehilangan. Dengan kata lain, mereka yang tidak pernah gagal tidak akan tahu kekayaan sejati. Ini artinya bahwa bahwa setiap kegagalan dibaliknya tersembunyi pelajaran. Seorang bijak berkata,”sukses hanyalah pijakan terakhir dari tangga kegagalan.”

Menghadapi Kegagalan

Ada banyak pembahasan tentang tips menghadapi kesuksesan. Tetapi bagi kita, sama pentingnya, menyiapkan sejumlah hal ketika menghadapi kegagalan! Billy P.S. Lim, motivator kelas dunia yang berbasis di Malaysia, pernah menanyakan kepada peserta trainingnya tentang satu masalah menarik. ”Mengapa orang akan tenggelam apabila jatuh ke dalam air?”
Berbagai jawaban diberikan tetapi yang paling sering ialah ”Dia tidak dapat berenang.” Peserta traning heran, penasaran dan terbengong karena Lim menyalahkan jawaban itu. Yang hadir mengira, Lim bercanda. Untuk menyakinkan mereka, Lim memberi contoh kejadian orang tenggelam di air sedalam tiga inci. Akhirnya, ia memberitahu jawabannya, yang akan ia berikan kepada Anda sekarang. Kami kutip pendapat Lim: ”Orang tenggelam karena dia menetap disitu dan tidak menggerakkan dirinya ke tempat lain.” Ini artinya bahwa berapa kali orang jatuh tidak jadi soal. Yang penting kemampuannya untuk bangkit kembali setiap kali jatuh.
Jangan ukur seseorang dengan menghitung berapa kali dia jatuh atau gagal. Tetapi, ukurlah ia dengan beberapa kali dia berani dan sanggup bangkit kembali. Seseorang yang mampu bangkit kembali setelah gagal, maka ia tidak akan putus asa. Sungguh menyedihkan ketika kita mendengar bahwa banyak orang yang mengalami gagal sekali, dua kali, atau berkali-kali, kemudian ia memilih tetap diam dan menetap di situ, akhirnya ia mati sebagai orang yang sebenar-benarnya gagal, tersungkur, dan tidak bangkit lagi.
Persoalannya adalah apakah kapasitas dan kualitas diri kita dapat membantu bangkit kembali setelah terjatuh? Kapasitas dan kualitas diri adalah modal utama bagi seseorang untuk dapat bangkit lagi setelah mengalami kegagalan.
”Tidak ada apapun di dunia ini yang bisa menggantikannya. Bakatpun tidak; Banyak sekali orang berbakat yang tidak sukses. Kejeniusanpun tidak; Jenius yang tidak sukses sudah hampir menjadi olok-olokan. Pendidikanpun tidak; dunia ini penuh dengan orang terpelajar. Hanya kemauan dan ketabahan saja yang paling ampuh.”

Ya, ketabahan, yaitu kemampuan bangkit kembali untuk kesekian kalinya setelah terjatuh. Dalam benturan antara sungai dan batu, air sungai senantiasa menang bukan dengan kekuatan tapi dengan ketabahan. Seberapa jauh kita jatuh tidak menjadi masalah, tetapi yang penting seberapa sering kita bangkit kembali.
Apabila kita dapat terus mencoba setelah tiga kegagalan, kita dapat mempertimbangkan diri untuk menjadi pemimpin dalam pekerjaan sekarang. Jika kita terus mencoba setelah mengalami belasan kegagalan, ini berarti benih kejeniusan sedang tumbuh dalam diri kita. Seperti Thomas Alfa Edison, saat ditanya, bagaimana ia bisa bertahan setelah ribuan kali gagal? Penemu bola lampu dan pendiri perusahaan kelas dunia, General Electric ini menjawab,
”Saya tidak gagal, tetapi menemukan 9994 cara yang salah dan hanya satu cara yang berhasil. Saya pasti akan sukses karena telah kehabisan percobaan yang gagal.”

Menarik Hikmah - Jangan Menyerah

Mengantisipasi bencana sejak dini adalah karakteristik seorang relawan seperti Penyuluh Agama Islam. Jangan biarkan kebanggaan dan sentimen mempengaruhi keputusan-keputusan kita. Ini artinya bahwa jangan biarkan kegagalan sebagai sesuatu yang final. Profesi penyuluh sejati, memandang kegagalan sebagai awal, batu loncatan untuk memperbaharui kinerja perjuangan dan pengabdian suci di masa mendatang. ”Pencerah umat” tidak menghabiskan waktunya hanya untuk memikirkan kegagalan.
Untuk memicu kesiapan mental kita menghadapi kegagalan, maka kerjakan apapun yang dapat dilakukan. Semakin terbatas sumber dana atau fasilitas, kita patut semakin bijaksana. Fahami, kapan harus meminimalisasi pemborosan. Semakin terbatas sumber pengetahuan dan pengalaman, semakin tertantang untuk terus belajar-berlatih, belajar-berlatih dan terus belajar-berlatih. Sembari demikian, maka ketika kita terjatuh, maka cepat bangkit, jangan menunggu orang datang memberi pertolongan.
Jadi, kegagalan hanyalah sebuah tikungan tajam yang menuntut ”kendaraan” usaha, sedikit mengurangi kecepatan, lalu di depan, begitu melihat ”jalan mulus peluang”, kita bisa menebusnya dengan kecepatan yang lebih tinggi.
Lantas, bagaimana jika semuanya gagal? Saat gagal menimpa, kendati lelah, kecewa berat, pahit-getir, tetapi jangan matikan energi kreatif yang tersimpan di dalam diri kita. Tetaplah berpikir kreatif. Sempurnakan produk pikiran yang ada, atau hasilkan produk pikiran baru atau usaha baru yang mungkin belum terpikirkan.
Jangan terpaku pada karier dan keterampilan yang dimiliki, yang terlalu lama bersandar pada lingkungan di mana kita dibesarkan atau selama ini bergulat. Kadang kala apabila seseorang gagal setelah berusaha dengan tabah dan mengerahkan sepenuh tenaga untuk sekian lama, mungkin tiba saatnya ia mengkaji kembali bidang yang digeluti dan menilai apakah ia mampu untuk mendapatkan apa yang dinginkannya di bidang tersebut. Banyak cara untuk mencapai tujuan hidup. Sebagian lebih cepat atau lebih lambat daripada yang lain.
Kadang kala dalam kehidupan kita terpaksa menekuni bidang usaha yang berlainan dengan disiplin ilmu yang kita pelajari dan kita mesti menyesuaikan segala keterampilan dan bakat yang tidak kita peroleh dari bidang-bidang usaha di masa lalu. Lalu? Salurkan kekuatan itu di bidang usaha yang baru. Mungkin, kita dipaksa mempelajari keterampilan baru, sebagai konsekuensi menghadapi tantangan serba-baru itu.
Jika kita menyadari bahwa kita tidak berhasil mencapai tujuan pada suatu pekerjaan di mana kita telah dilatih untuk melakukannya, latihlah atau lengkapi diri kita dengan pekerjaan yang memberi peluang meraih yang lebih baik di masa depan. Jangan gantungkan diri kita pada satu keterampilan saja. Sebagai manusia, bukankah Allah SWT telah memberi kita kemampuan untuk mempelajari keterampilan baru? Jangan ”hidup-mati” kita digantungkan pada satu bidang saja.
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan" (QS. Al Israa': 70)

Orang lain bisa sukses. Kita tentu juga bisa, hanya saja, ada yang lekas tercapai, ada yang masih berliku. Semoga profesi kita termasuk profesi yang tidak harus mengalami jalan berliku untuk mengantarkan diri kita dan masyarakat kita menikmati kehidupan yang tercerahkan. Bukanlah perkerjaan yang paling mulia dari seorang penyuluh bukan pada tunjangan fungsionalnya yang memang belum seberapa dibandingkan tunjangan profesi lain, tetapi pada misinya menjadikan orang lain dapat hidup tercerahkan? Wallahu a’lam.

Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Selasa, 17 Agustus 2010

Puasa dan Kebersamaan

Bulan Ramadhan bagi umat Islam, termasuk bagi warga masyarakat muslim Yogyakarta merupakan bulan yang spesial. Di samping kita menjalankan kewajiban ibadah puasa dan berbagai rangkaian ibadah lainnya selama satu bulan, juga di bulan Ramadhan ini kita bisa sekaligus menyegarkan kembali rasa kebersamaan dan persaudaraan di kalangan semua warga masyarakat. Sebab, di bulan Ramadhan ini, sebagian besar atau bahkan hampir semua ummat Islam termobilisasi oleh semangat Ramadhan setiap hari berduyun-berduyun pergi ke masjid, musholla atau tempat-tempat lainnya untuk menjalankan ibadah sholat lima waktu, sholat tawarih, berbuka puasa bersama dan berbagai kegiatan Ramadhan lainnya. Sungguh di bulan Ramadhan ini kita benar-benar menyaksikan semangat kebersamaan yang luar biasa dalam berbagai pelaksanaan kegiatan menyemarakkan bulan penuh berkah ini.

Latihan Disiplin Rohani dan Akhlak
Puasa ramadhan merupakan ibadah ritual yang dilakukan dengan aturan yang permanen, yaitu dengan menahan makan, minum, emosi, syahwat dan segala sesuatu yang bisa membatalkannya, sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Aturan yang permanen ini, tujuan utamanya adalah untuk melatih disiplin jasmani, rohani dan akhlak. Relevan dengan maksud itu, Rasulullah SAW bersabda :

"Puasa adalah perisai, maka dari itu orang yang sedang puasa janganlah berbicara kotor...dan sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum bagi Allah daripada minyak kesturi; ia berpantang makan, minum dan syahwat hanya untuk mencari ridha-Ku; puasa hanyalah untuk-Ku." (HR.Bukhari).

Berpantang makan dan minum pada saat orang biasa melak¬ukannya sehari-hari dan dilakukan dengan berulang-ulang (teratur) selama sebulan, di satu sisi dapat meningkatkan kekuatan dan memperlancar alat pencernaan tubuh. Sementara di sisi lain, puasa juga menjadi media pelatihan bagi kita untuk dapat menghadapi berbagai tantangan atau bahkan kesukaran hidup. Dengan begitu, jiwa dan mentalitas kita akan benar-benar terlatih dan memiliki daya resistensi yang tinggi terhadap tantangan dari dalam ataupun luar. Karena itu, orang yang ber¬puasa akan selalu siap menghadapi hidup dalam kondisi atau situasi apapun, tanpa harus mengalami gangguan psikologis (psicological shock). Karena itulah, maka proses hidup orang yang berpuasa akan selalu stabil emosi keagamaannya, etos kerjanya, produktifitas karya dan daya kreatif-inovatifnya.
Di samping itu, bagi orang yang berpuasa, tidak ada godaan yang paling besar daripada godaan makan, minum dan syah¬wat, apabila ketiganya telah tersedia. Namun demikian, betapapun dahsyatnya godaan itu, tetap mampu diatasinya dengan sabar dan penuh keimanan. Usaha untuk mengatasi godaan semacam itu yang dilakukan tidak hanya sekali atau dua kali, tetapi secara terus-menerus selama satu bulan, benar-benar akan melahirkan kesadaran dan kemampuan untuk menjaga kontinuitas dalam mengatasi berbagai godaan hidup sehari-hari. Lebih dari itu, kemampuan mengatasi godaan itu tanpa didasari oleh interest yang bersifat ekonomis, psikologis atau biologis belaka, tetapi semata-mata hanya untuk meraih ridha Allah SWT.
Di saat panas terik membakar bumi, lapar dan dahaga menyertai aktivitas pekerjaan sepanjang hari, dan walaupun makanan lezat serta minuman segar misalnya, telah tersedia, tetapi kita tetap menahan diri, tidak mau menyentuh makanan dan minuman sedikitpun. Sebab pada saat-saat kritis seperti itu, kita kesadaran diri yang mucul adalah, "Allah ada di sampingkudan Allah melihatku".
Karena itu, tidak ada ibadah yang mampu menumbuhkan perasaan dekat kepada Allah, selain ibadah puasa. Kehadiran Allah dalam diri orang yang berpuasa, tidak saja berada pada tingkat iman saja, tetapi telah menjadi realitas dalam kesadaran kemanusiaanya. Itulah hakekat dari disiplin rohani dan akhlak tingkat tinggi. Artinya bahwa kesadaran akan adanya hidup yang lebih tinggi, lebih tinggi daripada hidup yang hanya untuk makan dan minum atau mengumbar nafsu syahwat belaka.
Ini artinya bahwa dengan puasa, kita dapat menaklukkan nafsu jasmani¬. Dan dengan terbiasa mengatur waktu makan atau minum, juga dapat menumbuhkan kedisiplinan hidup. Lebih tinggi dari itu, dengan puasa kita bukan lagi menjadi budak nafsu makan, minum atau syahwat, melainkan kita itu benar-benar menjadi majikan yang sesungguhnya-menjadi pribadi yang otentik, pribadi yang original – bukan pribadi yang palsu atau tiruan.

Komitmen Kebersamaan Menuju Taqwa
Puasa, disamping ibadah yang bersifat individual, tetapi juga kental dimensi sosialnya. Bahwa puasa itu dapat mengingatkan umat warga masyarakat agar memelihara kesatuan, kerukunan, dan kekompakan serta meminimalisasi terjadinya perpecahan. Kebersamaan yang tercermin pada saat melaksanakan ibadah puasa dan berlebaran terjalin sebagai upaya untuk merajut dan menjalin persatuan karena hal tersebut dapat mendatangkan rahmat dan berkah.). Saat puasadi bulan Ramadhan ini, seluruh keluarga berkumpul dan melakukan buka puasa bersama, sahur, dan melaksanakan shalat Tarawih. Anak-anak maupun orang dewasa dapat bertemu dan berkumpul berkumpul di masjid untuk beribadah.
Itulah bagian dari fenomena sosial Ramadhan, bahwa di bulan Ramadhan ini, mobilitas social warga masyarakat terjadi peningkatan yang luar biasa. Hampir semua masjid dan musholla di Kota Yogyakarta ini penuh sesak oleh jamaah. Ini artinya bahwa bulan Ramadhan ini menjadi bulan yang sangat tepat untuk menyegarkan kembali komitmen kebersamaan sesame warga Negara, sesame keluarga besar umat Islam. Hal ini relevan dengan konsep puasa yang dapat diproyeksikan mengembangkan disiplin rohani dan akhlak yang tinggi. Kemudian implementasinya, puasa dapat mendorong kesadaran dan kemauan kuat bahwa kita adalah bagian inte¬gral dari komunitas masyarakat yang plural budayanya, status sosialnya, tingkat ekonominya, pendidikannya dan sebagai¬nya. Karena itu, setiap diri pribadi dituntut memiliki sikap terbuka untuk mengakomodasi pluralitas masyarakat sebagai realitas sosial yang tidak bisa dinafikan. Konsekuensinya, kesadaran untuk saling berkomunikasi atas dasar persamaan dan persaudaraan sebagai satu keluarga agung – makhluk Allah - menjadi tuntutan mutlak bagi tercip¬tanya tata sosial yang harmonis, dinamis dan progresif. Bagi kita yang telah memiliki disiplin rohani dan akhlak tingkat tinggi, yang dicapainya melalui puasa, maka selalu siap untuk menerima orang lain sekalipun berbeda budaya, bahasa, kebiasaan, status sosial dan sebagainya.
Itulah wujud bahwa puasa dapat menumbuhkan energi positif untuk membangun kebersamaan atas dasar persaudaraan. Itulah makna sebenarnya dari konsep shilaturrahim. Bahwa shilaturrahim ini merupakan nilai agung yang mendasari tata sosial yang dinamis dan harmonis, sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - : أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى أَكْرَمِ أَخْلاَقِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ؟ تَعْفُو عَمَّنْ ظَلَمَكَ وَتُعْطِى مَنْ حَرَمَكَ وَتَصِلُ مَنْ قَطَعَكَ


"Nabi saw bersabda : Maukah kalian aku tunjukkan akhlak yang paling mulia di dunia dan diakhirat? Memberi maaf orang yang mendzalimimu, memberi orang yang menghalangimu dan menyambung silaturrahim orang yang memutuskanmu” (HR. Baihaqi)


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ


"Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali persaudaraan” (H.R. Bukhari-Muslim).

“Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada salat dan saum?” Sahabat menjawab, “Tentu saja!” Rasulullah pun kemudian menjelaskan, “Engkau damaikan yang bertengkar, menyambungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan ukhuwah di antara mereka, (semua itu) adalah amal saleh yang besar pahalanya. Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali persaudaraan” (H.R. Bukhari-Muslim).

Demikinalah, puasa Ramadhan tahun 1431 H ini seharusnya memang dapat menjadi momentum meneguhkan kebersamaan sesame warga Yogyakarta khususnya, sebagai bagian dari implementasi peningkatan taqwa kepada Allah SWT. Semoga puasa dan seluruh rangkaian ibadah yang kita lakukan diterima Allah SWT dan kita dapat lebih menjadi pribadi yang otentik, pribadi yang selalu tulus untuk membangun kebersamaan dalam membangun masyarakat yang berbudaya maju dan berkeadilan sosial, amiin.
Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Sabtu, 31 Juli 2010

Puasa Membawa Nikmat

Ramadhan 1431 H segera tiba. Ini artinya, kita akan melaksanakan puasa sebulan penuh dan melaksanakan juga segenap rangkaian ibadah utama dan pendukung-pendukungnya. Berikut ini, kami ajak pembaca yang dimuliakan Allah untuk mencermati beberapa masalah penting berkaitan dengan pelaksanaan ibadah puasa.

Tiap orang Islam dewasa yang sehat wajib menjalankan puasa Ramadhan. Sebab, berpuasa itu, selain menetapi kewajiban (ibadah) kepada Allah (QS. Ali Imran: 183), juga memberikan manfaat yang luar biasa bagi tubuh kita. Yaitu, bahwa puasa itu dapat memberikan kenikmatan bagi tubuh. Beberapa kenikmatan puasa itu antara lain :

Pertama, membaikkan penyakit-penyakit degeneratif, seperti; obesitas, sakit jantung, sakit sendi dan diabetes. Kedua, melancarkan kembali sistem pencernaan tubuh. Ketiga, mengurangi gumpalan-gumpalan lemak dalam tubuh (mengurangi resiko kena sakit jantung). Keempat, memperkuat ketahanan tubuh (secara fisik dan mental). Kelima, meningkatkan kepedulian (solidaritas sosial) terhadap sesama.
Namun demikian, tidak semua orang yang berpuasa bisa mendapatkan kenikmatan seperti di atas. Ada kalanya, puasa yang kita lakukan malah hanya menimbulkan rasa lapar, lemas, lesu, pusing, sulit konsentrasi dan hilang semangat kerja. Mengapa bisa demikian ? Jawabannya sederhana, karena cara puasa kita tidak benar.

Karena itu, bagaimana sebenarnya puasa yang benar, sehingga kita bisa mendapatkan manfaat dan kenikmatan dari puasa Ramadhan yang kita lakukan? Berikut ini beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan oleh setiap orang yang menjalankan ibadah puasa:

Pertama, niat karena Allah. Niatkan puasa karena Allah. Jangan punya pikiran atau niatan lain, kecuali hanya supaya mendapat ridha/kasih sayang Allah SWT. Motivasi atau dorongan menjalankan puasa karena malu dengan tetangga, malu dengan teman sekerja, malu dengan atasan, malu dengan staff (bawahannya), malu dengan calon mertua dan sebagaianya, hanya akan mengurangi manfaat yang sebenarnya dari puasa yang kita lakukan. Tetapi, sebagai bagian dari menetapi kewajiban sosial (solidaritas dengan sesama anggota keluarga, sesama teman atau lingkungan) menjalankan puasa karena malu terhadap orang lain, tentu masih lebih baik daripada tidak menjalankan puasa, tetapi tidak punya rasa malu sama sekali.

Kedua, sahur yang benar. Proses sahur yang benar yaitu makan diawali dengan memakan makanan yang mudah dicerna, baru kemudian makan secara lengkap. Ingat, jangan makan berlebihan. Hindari terlalu banyak makan yang berbentuk hidrat arang, karena dapat menimbulkan hormon insulin tubuh akan berlebihan. Sebab, insulin dapat mempercepat turunnya kadar gula darah dan ini akan membuat Anda cepat lapar. Makanan yang membuat badan tahan lapar adalah berbagai jenis protein, seperti: daging, ikan, ayam, telur, tahu, tempe, sayur-sayuran dan buah-buahan. Nabi Muhammad SAW menegaskan dalam sabdanya:
“Diriwayatkan dari Anas r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: “Hendaklah kamu bersahur kerena di dalam bersahur itu ada keberkatannya”.

Ketiga, berbuka yang bijak. Rasulullah SAW memberikan kabar buat kita:
“Diriwayatkan daripada Sahl bin Saad r.a katanya: Rasulullah s.a.w telah bersabda: Seseorang itu sentiasa berada di dalam kebaikan selagi mereka selalu menyegerakan berbuka puasa”.

Saat tiba waktu berbuka, mulailah dengan minum yang manis-manis atau makanan yang mudah dicerna terlebih dulu. Yaitu , makanan yang berbentuk hidrat arang, misalnya: kurma, kolak, bubur dan sebagainya. Setelah maghrib – setelah saluran pencernaan sudah istirahat sejenak – barulah boleh makan lengkap berupa nasi, lauk pauk, sayur dan buah. Ingat…! Hindari makan berlebihan dan berhentilah sebelum kenyang. Sebab, saat kadar gula darah mencapai puncak, kita memang belum merasa kenyang. Jadi bila makan terus-menerus, maka saat rasa kenyang timbul sebenarnya kita sudah kelebihan makan.

Keempat, perbanyak menanam kebaikan. Berbuat baik kepada sesama, bershadaqah pengetahuan, pengalaman, atau segala sesuatu yang kita miliki, harus selalu menjadi semangat dalam keseharian kita. Pendeknya, tidak ada waktu terlewatkan selain untuk menanam kebaikan buat sesamanya.

Kelima, hindari perilaku tidak terpuji atau negatif. Perilaku boros, membuang-buang waktu, iri, dengki, sombong (takabur), apalagi mencuri dan sebagainya, harus dibakar dari dalam pribadi kita.

Pendek kata, puasa adalah terapi fisik, biologis dan psikologis yang memiliki fungsi luar biasa dalam upaya meraih kenikmatan hidup sejati. Yaitu, hidup yang selalu bermakna bagi diri dan orang lain, serta selalu terhindar dari penderitaan, kesengrasaan dan kenistaan. Wallahu a’lam.
Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Rabu, 21 Juli 2010

Keluarga Sebagai Pusat Pendidikan Utama

Hidup berkeluarga adalah salah karunia terbesar Allah SWT. Sungguh suatu nikmat yang luar biasa bagi kita yang setiap hari bisa berkumpul bersama anggota keluarga. Dan bersamaan dengan moment harti keluarga nasional tahun 2010 ini, penting kiranya kita membuat sebuah komitmen untuk menjadikan keluarga kita sebagai pusat pendidikan yang utama. Bahwa keluarga yang kita bangun menjadi sebuah komunitas kecil; ada ayah/istri, putra-putri yang selalu ceria dan mungkin anggota keluarga lainnya, adalah media yang paling efektif untuk menanamkan dasar-dasar pribadi yang sempurna (kamilan) dan proyeksinya menjadi komunitas terbaik.

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. (QS. Ali ‘Imran, 3:110)
Keluarga merupakan pilar utama penyangga berdirinya bangunan masyarakat. Bagaimana corak kehidupan sebuah masyarakat dan bagaimana pola ataupun gaya hidup masyarakat itu, banyak ditentukan oleh pola dan gaya hidup keluarga yang ada di dalamnya. Dengan demikian, keluarga merupakan pintu utama dalam membangun masyarakat yang berbudaya, berkeadaban dan maju. Untuk menterjemahkan pemahaman seperti ini, maka kita perlu memahami visi dalam membangun sebuah keluarga.
Visi pembentukan keluarga menurut Islam adalah untuk menciptakan kemuliaan hidup di dunia dan keselamatan hidup di akhirat. Kemuliaan hidup di dunia ini, ditandai dengan adanya keimanan dan ketaqwaan yang dimanifestasikan dalam kondisi hidup yang santun, tentram, damai, dan sejahtera di di dalam lingkungan keluarga. Pola hubungan yang terbentuk di antara sesama anggota keluarga didasari atas kasih-sayang. Tidak ada pola hubungan yang bersifat eksploitatif, manipulatif ataupun profokatif yang bisa menciptakan suasana saling curiga, saling terpaksa, rasa takut dan dan perasaan-perasaan lain yang bisa disebut sebagai gangguan mental. Karena itu, bangunan keluarga yang dipesankan agama Islam , adalah keluarga yang dapat menumbuhkan benih-benih ketentraman dan kasih-sayang, seperti yang telah Allah tegaskan dalam ayat berikut :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaa-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya rasa cinta dan kasih sayang di antaramu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (QS. Ar-Ruum, 30:21)

Jadi, jelaslah bahwa secara religius dan etis, adalah wajib bagi semua kaum laki-laki dan perempuan untuk menikah, membentuk institusi keluarga, Karena, keluarga inilah yang dapat menjadi wahana paling efektif membina mentalitas SDM yang berkualitas. Kualitas hidup berkeluarga, dapat ditandai minimal lima aspek, yaitu; relidiusitas, pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan keseimbangan hubungan antar anggota keluarga dan sesama keluarga (masyarakat).
Dalam konteks ini, maka pembentukan keluarga menurut Islam bukan sekedar untuk menyalurkan kebutuhan seksual; sekalipun Islam sendiri juga tidak mengutuk kebutuhan biologis setiap manusia itu. Justru Islam memandang bahwa kebutuhan seksual adalah suci, penting dan baik. Karena itu, Islam tidak hanya mengizinkan, bahkan menganjurkan kita - semua manusia - laki-laki dan perempuan agar memenuhi kebutuhan seksual itu. Akan tetapi, Islam tidak menganggap seks sebagai satu-satunya tujuan dalam pembentukan keluarga. Sebab, pesan utama pembentukan keluarga ini adalah sebagai materi bagi sebagian besar terlaksananya ketentuan moral. Karena itu, Islam memandang keluarga adalah mutlak perlu bagi pemenuhan tujuan Allah SWT dalam menciptakan tata kosmis, yaitu alam semesta ini dengan semua kehidupannya.
Sebagai wahana pembinaan mentalitas SDM yang berkualitas, maka keluarga yang dibangun atas dasar keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, dalam penterjemahannya diproyeksikan dapat menumbukan rasa cinta, kasih dan sayang di antara sesama anggota keluarga. Hak-hak dan kewajiban semua anggota keluarga; ayah, ibu, anak-anak dan ataupun semua orang yang ada didalamnya bisa saling percaya, saling menghargai kelebihan dan kekurangan masing-masing, saling melindungi, saling membantu dan semua persoalan yang timbul di dalam keluarga itu dapat dipecahkan secara bersama-sama. Dengan demikian, semua anggota keluarga bisa merasa aman, tentram, damai, berpikiran jernih dan berhati lapang. Tidak ada persoalan yang tidak bisa dibicarakan dari hati ke hati atas dasar kebersamaan dan bukan semata-mata atas dasar untung dan rugi.
Kondisi keluarga seperti di atas, dimungkinkan dapat menumbuhkan sifat dan perilaku pribadi yang santun, pandai menghargai hak-hak sesamanya, penuh gagasan, dan iklim kinerja keluarga yang baik. Dalam keluarga itu, yang terlihat adalah suasana kebersamaan, yang terasa adalah kesejukan, yang terdengar adalah suara-suara kemerduan dari tutur sapa atau ungkapan-ungkapan bahasa komunikasi yang santun. Prinsipnya, dalam keluarga itu telah terbentuk tata nilai, tata krama dan tata tertib yang secara sinergis membentuk pribadi keluarga yang memiliki mentalitas SDM berkualitas.
Mentalitas SDM bisa diartikan sebagai keseluruhan dari isi serta kemampuan alam pikiran dan alam jiwa manusia dalam hal menggapi lingkungannya. Karena itu, mentalitas ini merupakan hasil dari proses sinergi antara sistem nilai budaya dan sikap mental yang tumbuh dalam pribadi seseorang atau sekelompok masyarakat. Sistem nilai budaya adalah konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian atau besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup.
Sementara itu, sikap mental adalah suatu disposisi atau keadaan mental di dalam jiwa dan diri seorang individu untuk bereaksi terhadap lingkungannya (baik lingkungan manusia atau masyarakatnya, baik lingkungan alamiahnya, maupun lingkungannya fisiknya). Dengan demikian, mentalitas SDM ini merupakan implikasi psikologis yang terbentuk pada diri seseorang sebagai sinergi dari proses nilai yang ada dalam diri seseorang dengan sikap pribadinya. Ini berarti bahwa jiwa dalam diri seseorang telah tumbuh nilai-nilai kebersamaan, persaudaraan, keadilan, kasih sayang dan sebagainya, dan bersamaan dengan itu, lingkungan orang tersebut (khususnya lingkungan yang paling intens bersentuhan dengan pribadinya adalah keluarga) akan membentuk sikap diri yang kuat (berupa keyakinan diri terhadap kekuatan yang menciptakan nilai-nilai itu, yaitu Allah SWT), dan pada akhirnya akan menciptakan citra diri yang positif, optimistis dan demokratis.
Pribadi seseorang seperti di atas, dalam pergaulan sosial, niscaya akan selalu terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, kritikan ataupun masukan dari orang lain. Bahkan ia selalu haus akan sesuatu yang baru. Karena ia sangat faham bahwa kebenaran yang ada pada dirinya adalah relatif. Karena itu, ia perlu untuk bisa bersosialisasi dan berkomukasi dengan orang lain dalam rangka meningkatkan kualitas diri, khususnya meningkatkan mentalitas dirinya secara terus-menerus. Semua proses ini, secara intensif hanya bisa berjalan dalam institusi keluarga. Sebab, di dalam keluarga inilah proses sosialisasi dan komunikasi akan berjalan secara alamiah, intens, dan terus-menerus. Bersamaan dengan itu, kontrol dari semua anggota keluarga bisa berlangsung secara intens dan berkelanjutan pula.
Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa mentalitas sumber daya manusia (SDM) adalah harta yang termahal dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebab, mentalitas ini tidak bisa dibentuk dalam waktu yang tergesa-gesa dan tidak dapat berkembang dalam waktu yang singkat. Pembentukan Mentalitas memerlukan waktu, proses dan wahana yang kondusif.
Mentalitas bangsa Indonesai yang sementara ini citranya kurang baik, sebab bangsa kita dikenal sebagai bangsa terkorup nomer 4 dan kualitas SDM-nya termasuk nomer 109 di antara bangsa-bangsa di dunia, adalah agenda terbesar yang harus menjadi tanggung jawab semua masyarakat. Karena itu, apa yang bisa kita perbuat untuk berpartisipasi aktif membangun kembali citra keharuman bangsa ini ? Membina keluarga! Inilah jawaban simpel yang bisa kita mulai dari sekarang. Kita perjuangkan secara bersama-sama, membangun lingkungan sosial dan fisik keluarga secara baik untuk menyemaikan benih-benih pribadi yang memiliki mentalitas yang berkualitas, yaitu sosok pribadi yang ditandai dengan sifat jujur (sidiq), terpercaya (amanah), adil, konsisten (istiqamah) dan dapat bekerjasama.
Catatan akhir dari khutbah ini, maka pada dasarnya kita adalah umat yang satu, sebuah keluarga besar masyarakat bangsa Indonesia yang memiliki cita-cita luhur bersama dan tujuan bersama. Karena itu, sudah seharusnya jika sesama anggota keluarga satu bangsa tidak saling menyakiti, saling eksploitasi dan semena-mena terhadap sesamanya. Kita bangun “keluarga Indonesia baru” dengan memulai dari keluarga kita masing-masing. Insya Allah, cita-cita keadilan, kemulian, kehormatan dan keselamatan dunia dan akhirat bisa kita nikmati besama satu keluarga bangsa Indonesia.
Perjuangan membina mentalitas SDM melalui keluarga merupakan jihad paling murah, namun paling berharga, yaitu sebagai investasi jangka panjang membangun bangsa yang berbudaya dan berperadaban maju, sekaligus melaksanakan instruksi Allah SWT, dalam firman-NYa :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلاَئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ.
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS. At Tahrim, 66 :6)
Semoga Allah tetap memberikan berkah, taufiq, hidayah dan kekuatan kepada semua keluarga Indonesia untuk melakukan perjuangan amar ma’ruf nahi munkar dengan meningkatkan martabat bangsa, yaitu membangun mentalitas SDM kita masing-masing...Amien.
Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Jumat, 02 April 2010

Mengenal Hernia

Hernia, kok seperti nama orang ya. Bukan, itu adalah nama sebuah penyakit yang ternyata sering dialami banyak orang - termasuk saya sendiri. Semua datang secara tiba-tiba. Pada Hari Selasa, 16 Maret 2010 saya rapat yayasan di Mangkuyudan. Selesai rapat saya harus mengisi pelatihan teman-teman PII. Tiba-tiba selesai makan siang, perut terasa sakit - tapi pelan-pelan saya tetap dapat mengisi pelatihan sampai waktu asar. Setelah sholat maghrib, tiba-tiba perut terasa sakit luar biasa dan saya kaget ketiha tangan meraba di perut bagian bawah kok ada benjolan yang juga sakit luar biasa. Akhirnya saya memutuskan ke rumah sakit dan pemeriksaan dokter, saya terkena hernia. Alternatifnya, maka pada hari Jum'at, 19 Maret 2010 saya menjalani operasi di RSUD Wirosaban Yogyakarta. Jangan khawatir, operasi Hernia menurut medis bukan termasuk operasi berat, tetapi operasi sedang atau bahkan mendekati ringan. Proses operasi yang saya jalani berlangsung 30 menit. Perkembangannya, hari Ahad, 21 Maret 2010 saya diperbolehkan pulang. Kemudian, 27 Maret 2010 saya kontrol kedfua sekaligus pelepasan benang jahitan dan 31 Maret 2010 dinyatakan sembuh oleh dokter sehingga tidak perlu obat lagi. Apa dan bagaimana soal penyakit hernia, berikut ini saya kutipkan pendapat dr. Jeffry Tenggara Chief Residen Penyakit Dalam FKUI-RSCM yang dimuat di www.dennysantoso.com.
Hernia adalah kondisi dimana organ dalam tubuh keluar melalui area yang secara normal tertutup. Ada beberapa jenis hernia tergantung letak keluarnya yaitu:
1. hernia inguinalis/scrotale: bila letak defek area ada di selangkangan
2. hernia femorales: bila letak defek ada di paha atas
3. hernia umbilikalis: bila letak defek ada di pusar
4. hernia insisional: bila letak defek ada di tempat bekas operasi

Masih ada beberapa jenis hernia lain namun jarang terjadi sehingga tidak perlu disebutkan. Dari 4 jenis hernia diatas, hernia inguinalis adalah yang sering terjadi diikuti oleh hernia femorales. Hernia inguinalis lebih banyak diderita pria dengan rasio 9:1 sedangkan hernia femorales lebih banyak pada wanita dengan rasio 3:1. Pada artikel ini akan lebih fokus dibahas mengenai hernia inguinalis.

Hernia inguinalis (HI) terjadi melalui 2 jalan yang dikenal sebagai HI direk atau indirek. Pada saat pertumbuhan janin, testis awalnya terletak di dalam rongga perut yang kemudian seiring pertumbuhan, testis ini akan turun ke kantong testis (skrotum) yaitu dibawah penis. Dalam perjalanannya, akan terbentuk terowongan yang menghubungkan rongga perut tempat testis semula dengan kantong skrotum tempat testis akhir (inguinal canal). Terowongan ini terletak persis di lipatan paha yang secara normal akan tertutup seiring pertumbuhan bayi. Pada kondisi tertentu dimana terowongan tidak tertutup, maka rongga perut dan kantong testis akan tetap terhubung yang menjadi jalan masuk organ perut (seperti usus) kedalam kantong testis menjadi HI Indirek. Bila organ perut keluar melalui inguinal canal dan terus berlanjut hingga kantong testis, maka disebut sebagai hernia scrotales yang merupakan kelanjutan dari HI indirek. HI direk terjadi bila organ perut keluar dari rongga perut melalui internal ring yang merupakan area tipis dibanding dinding perut sekitarnya. Pada HI direk, tidak berlanjut ke hernia scrotales karena tidak memiliki hubungan secara anatomis. HI indirek dapat terjadi pada usia berapapun namun terutama pada saat bayi karena gangguan penutupan sudah terjadi saat itu, sedangkan HI direk terjadi terutama karena kelemahan otot dinding yang dipengaruhi usia.

Sebenarnya angka insiden terjadinya hernia inguinalis ini sangat rendah, di amerika dilaporkan hanya terjadi sebanyak 1 diantara 544 penduduk atau sekitar 0.18%, namun mengapa masalah ini menjadi besar? Hal ini adalah karena hernia dapat menjadi kondisi kegawatan yang mengancam nyawa bila organ perut yang masuk ke kantong hernia tidak dapat kembali ke posisi awal dan terjepit sehingga menimbulkan nyeri dan kerusakan organ tersebut.

Apa saja faktor resiko dalam terjadinya HI? Apakah yang dapat dilakukan untuk mencegahnya? Secara medis, dapat dibagi menjadi faktor resiko yang dapat dicegah dan tidak dapat dicegah. Faktor yang tidak dapat dicegah yaitu jenis kelamin pria, usia yang makin tua. Sedang faktor resiko yang dapat dicegah antara lain berat badan berlebih, dan penurunan berat badan secara ekstrem seperti pada penggunaan crash diet, rokok, kurang berolah raga dan sering mengejan saat buang air besar.

Jadi pertanyaan utama yang sering dilontarkan adalah apakah orang yang sering melakukan angkat beban beresiko untuk mengalami HI jawabannya YA dan TIDAK. Seperti yang sudah dijelaskan, banyak faktor yang berperan dalam terjadinya HI dan faktor-2 ini tidak berdiri sendiri melainkan secara simultan. Pada orang yang rutin berolah raga beban, kekuatan otot perut yang meningkat adalah menjadi faktor protektif, namun pada orang tertentu yang memiliki defek atau kelainan bawaan pada dinding perut atau memiliki faktor resiko seperti merokok, pengaturan diet yang salah dan ekstrem, yang pada akhirnya merusak jaringan ikat perut, maka HI dapat dicetuskan saat mengangkat beban.

Pertanyaan yang lain adalah apakah sabuk elastic yang sering dipakai saat di gym dapat mencegah? Tidak ada percobaan klinis yang mendukung atau menolak penggunaan sabuk ini, dan kalau saya analisa secara logika dari segi anatomis, saya tidak mendukung penggunaan sabuk ini. Alasan pertama, sabuk ini tidak cukup kuat dalam memberi tekanan dalam menahan tekanan dari rongga perut saat kita angkat beban. Seperti gambar kedua, inguinal canal dikelilingi ligamen atau jaringan ikat yang akan melawan tekanan sabuk, dan internal ring tempat keluarnya HI direk memiliki diameter yang kecil serta terletak di area yang lebih dalam dibanding sekitarnya. Alasan kedua, letak keluarnya HI adalah berada di lipat paha bagian tengah yang sangat rendah, sedangkan umumnya sabuk elastic dipakai tidak mencapai area ini, jadi bila ingin menggunakannya, harus dipakai dalam posisi yang sangat rendah pula.

Jadi, bagaimana bila hernia sudah terjadi? Jawabannya hanya operasi. Secara medis tidak ada obat apapun yang dapat menutup pintu hernia, operasi untuk menutup adalah satu-satunya pilihan.

Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Jumat, 05 Maret 2010

Membangun Rasa Malu

Sekarang ini kita merasakan bahwa masyarakat kita semakin tidak memiliki rasa malu. Para wanita semakin berani memamerkan auratnya di depan umum, secara langsung atau tidak langsung, misalnya lewat media cetak atau elektronik. Masyarakat dengan seenaknya membuang sampah di jalan atau di sungai atau selokan saluran air. Para pelajar jan juga mahasiswa kian berani membolos hanya untuk nongkrong di mall atau sekedar jalan-jalan padahal pas waktunya jam pelajaran. Sebagian pemuda kita dengan berani mengkonsumsi narkoba yang telah merambah tidak hanya di kota, tetapi juga talah merembet ke desa-desa. Demikian juga, para pejabat tinggi kita dengan enaknya menilep uang negara, memeras rakyat, menyalahgunakan wewenang, sikat kanan-kiri untuk meraih kekuasaan. Itulah sebagian dari fenomena semakin pudarnya rasa malu di masyarakat kita. Apa akibatnya kini dan di masa depan, jika rasa malu benar-benar hilang dari wajah masyarakat kita? Kehancuran ! Ya kehancuran.

"Diriwayatkan dari Imran bin Husaini, bahwa Nabi bersabda: “Malu itu tidak datang kecuali dengan membawa kebaikan”.

"Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: Iman terdiri daripada lebih dari tujuh puluh bahagian dan malu adalah salah satu dari bahagian-bahagian iman".
Berbagai persoalan bangsa yang sekarang masih menjerat kehidupan masyarakat, salah satu sebabnya adalah karena masyarakat kita tidak lagi mempunyai rasa malu. Di kalangan pejabat dan para pemimpin rama-rama merampok harta negara dan rakyat. Sekalipun harta mereka rata-rata telah melampaui dari sekedar menjadi “The Have” atau orang kaya, tetapi masih juga tega melakukan korupsi. Para artis/selebritis kita semakin barani menjual kemolekan tubuhnya dengan dalih tuntutan profesi. Para konglomerat/pengusaha dengan teganya memeras tenaga karyawannya untuk memenuhi kerakusannya. Demikian juga, lapisan masyarakat yang masih dijerat kemiskinan, tidak malu lagi meminta-minta di pinggir jalan atau mendatangi dari rumah ke rumah menyadongkan tangannya.
Itulah sebagian wajah masyarakat kita. Mengapa rasa malu menjadi sesuatu yang langka? Mengapa rasa malu menjadi sesuatu yang mahal didapat?
Padahal rasa malu adalah energi yang mampu menjadi filter dalam memilih tindakan yang positif dan bermanfaat untuk meraih kesuksesan atau kemajuan. Rasa malu sekaligus menjadi kontrol diri yang paling efektif sehingga kita bisa meninggalkan tindakan yang merugikan dan tidak bermanfaat.
Karena itu, sejak 15 abad silam Nabi Muhammad SAW memberikan pernyataan yang sangat dalam maknanya, “Malu itu tidak datang kecuali dengan membawa kebaikan”. Hadits yang diriwayatkan oleh Imran bin Husaini radhiyallahu ‘anhu (RA) ini sekaligus memberikan makna tersirat bahwa hilanganya rasa malu pada seseorang, maka akan mendatangkan keburukan, kerusakan dan kehinaan.
Sekarang ini, pernyataan Nabi Muhammad SAW ini mulai menjadi kenyataan dalam kehidupan keseharian masyarakat kita. Bersamaan dengan semakin banyak masyarakat yang tidak lagi memiliki rasa malu, maka berbagai persoalan masyarakat kian menjerat.
Berbagai problem masyarakat, seperti; perampokan harta negara/rakyat oleh para pejabat, vulgarisme para artis yang hanya menonjolkan segi estetika tetapi menafikan aspek etika, media cetak dan elektronik yang cenderung menonjolkan kepentingan ekonomi semata tanpa mengindahkan kepentingan moral, ibu-ibu yang semakin tega memaksa anak bayinya mengkonsumsi susu formula tanpa alasan jelas, kemiskinan ekonomi yang masih menjerat sebagian masyarakat kita, pengangguran dan premanisme yang melanda di berbagai sektor kehidupan, sungguh menjadi kenyataan hidup yang mestinya memalukan. Malu rasanya kita dipimpin oleh pejabat yang suka korupsi, malu rasanya bangsa ini memiliki hutang yang masih menggunung, malu rasanya sebagian anak-anak kita hidup di perempatan jalan sambil menyadongkan tangan, mengemis.
Hanya dengan gerakan budaya malu inilah kiranya pelan-pelan namun pasti, maka keterbelakangan, kemiskinan, ketidak adilan, kerusakan lingkungan dan sebagainya yang menghimpit kehidupan masyarakat kita segera dapat teratasi. Dan kita lahir kembali menjadi masyarakat yang egaliter, kosmopolit, dan beradab. Semoga…!
Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Selasa, 02 Maret 2010

Pemimpin Sejati

Semua komunitas masyarakat manapun selalu mendambakan pemimpin sejati. Yaitu pemimpin yang memiliki dua sayap kekuatan dalam menjalankan peran-peran kepemimpinannya. Sayap pertama adalah pribadinya mampu menjadi pembelajar (becoming a learner) dan sekaligus menjadi guru (becoming a teacher).
Sebagai pembelajar, maka seorang pemimpin dituntut untuk bersedia menerima tanggung jawab melakukan dua hal penting, yaitu: pertama, berusaha mengenali hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya, dengan selalu berusaha mencari jawaban yang lebih baik tentang beberapa pertanyaan eksistensial, seperti “Siapakah aku?”, “Siapakah yang menciptakan aku?”, “Kemanakah aku akan pergi?”, “Apakah yang menjadi tanggung jawabku dalam hidup ini?” dan kepada siapakah aku harus percaya?”; dan kedua, berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasikan segenap potensi kreatifnya, mengekspresikan dan menyatakan dirinya seutuh-utuhnya, dengan cara menjadi dirinya sendiri dan menolak untuk dibanding-bandingkan dengan segala sesuatu yang “bukan dirinya”. Secara pribadi seorang pemimpin dituntut oleh dirinya sendiri untuk terus berproses “menjadi” yang terbaik dari dirinya, yaitu dengan terus belajar dan berlatih. Dengan belajar, maka pengalamannya akan semakin kaya, pengetahuannya semakin luas, dan ketrampilan (manajerialnya) semakin bisa diandalkan. Jadi, seorang pemimpin itu pribadinya selalu membawa kesegaran, pembaruan, gagasannya tidak pernah usang (out of date) bagi komunitas yang dipimpinnya.

Sebagai guru, pemimpin adalah pendamping utama warga komunitasnya yang memainkan peran sebagai “aktor intelektual” dan selalu menjalankan falsafah ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso dan tut wuri handayani. Dirinya tidak menganggap penting lagi popularitas, keudukan dan kekuasaan (politik), tetapi ia lebih menempatkan diri sebagai penyelaras antara “spiritualitas-hati nurani”, “rasionalitas-akal budi” dan “aktivitas-otot” yang ada pada komunitas yang dipimpinnya.

Sementara itu, sayap kekuatan kedua seorang pemimpin adalah kemampuan dirinya mengakomodasi dan mewujudkan harapan komunitas yang dipimpinnya dalam tata sosial yang damai, aman, sejahtera, demokratis, terpenuhinya hak-hak semua warga dan terbebaskan dari kebodohan, kemiskinan, rasa takut dan sebagainya. Dengan demikian, seorang pemimpin benar-benar mampu menumbuhkan suasana hidup yang tercerahkan. Kapabilitas atau kemampuan dirinya benar-benar menjadi faktor pengikat harapan semua warga komunitas sehingga ia bisa diterima secara total, dan efektif dalam menumbuhkan kesamaan visi, orientasi, tujuan dan langkah dalam membangun masa depan komunitasnya.

Empat Kemampuan Pemimpin Sejati

Pemimpin sejati bukanlah seseorang yang hanya ada dalam impian. Tetapi, sebenarnya bisa lahir dari siapa saja yang memang benar-benar mau dan mampu menjadikan dirinya untuk terus belajar dan berlatih. Ada empat kemampuan yang perlu dimiliki oleh pemimpin sejati :

1. Visioner. Pemimpin sejati dituntut memiliki kemampuan berpikir jauh ke depan. Artinya bahwa sekalipun masa kepemimpinannya mungkin hanya beberapa tahun, tetapi apapun peran dan tanggung jawab yang dilakukannya adalah dalam rangka mempersiapkan keberlangsungan kepemimpinan organisasi dan membangun masa depan yang lebih baik, sebagaimana penegasan Allah dalam ayat berikut :

يَااَيُّهَلَّذِيْنَ امَنُوْااتَّقُوْاللهَ وَالْـتَنْذُرْنَفْسٌ مَّاقَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوْاللهَ اِنَّ اللهَ خَبِيْرٌبِمَاتَعْمَلُوْنَ.(الحسر:18)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhataikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakawalahkepada Alalah, sesungguhnya Allah Maha Mengathuhi apa yang kamukerjakan. (QS. Al Hasr: 18)

Seorang pemimpin berkewajiban untuk mempersiapkan masa depan komunitas yang dipimpinnya. Karena itu, pemimpin sejati tidak akan pernah “memanfaatkan” jabatannya atau “mumpung berkuasa” kemudian menumpuk kekayaan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau status quo.

2. Ahli strategi. Pemimpin sejati dituntut memiliki kemampuan menjabarkan visi, misi dan tujuan organisasi ke dalam program-program yang strategis dan bermanfaat bagi kemajuan organisasi. Ia mampu mendesain atau merancang strategi untuk pemberdayaan organisasi, merancang diskripsi pekerjaan (job disscription) yang menyangkut wewenang, tugas, dan tanggung jawab secara adil, sehat dan terbuka. Dengan begitu, penanganan sebuah program tidak akan terjadi tumpang tindih, tidak ada lempar tanggung jawab dan eksploitasi di antara komponen organisasi.

3. Kemampuan sinergis. Pemimpin sejati mampu membaca, menggali dan mensinergikan semua kepemimpinannya, yaitu mendayagunakan seluruh potensi organisasi, sehingga mampu diaktualisasikan secara maksimal untuk kemanfaatan bersama. Tidak ada yang disepelekan atau diutamakan. Dari tingkat paling atas sampai paling bawah memiliki fungsi tanggung jawab dan peranan yang penting untuk kemajuan organisasi.

4. Motivator. Pemimpin sejati mampu memberikan inspirasi dan motivasi - bukan mendikte - terhadap komunitas yang dipimpinnya. Dengan inspirasi dan motivasi itu, maka akan tumbuh partisipasi aktif semua komponen organisasi yang pada akhirnya akan melahirkan dinamisasi dan progresifitas organisasi secara produktif dan konstruktif (membangun).

Dengan empat kemampuan di atas, seorang pemimpin sejati itu tidak saja menjadi menajer yang berperan mengatur pekerjaan yang bersifat struktural dan mekanis, tetapi kepemimpinannya akan menciptakan iklim yang terbuka, sejuk dan bebas, sehingga melahirkan budaya (cultur) organisasi yang positif dan perilaku organisasi yang produktif dan konstrukif.

Tangga Kualitas Pemimpin
Menjadi pemimpin sejati tidak bisa dicapai secara instant, tetapi perlu proses waktu melalui tangga-tangga kualitas, antara lain :

1. Dicintai. Dicintai adalah tangga paling dasar bagi seorang pemimpin. Seorang pemimpin dituntut mampu membangun hubungan batin dengan warga komunitasnya. sebagai modal utama untuk tumbuhnya rasa cinta dari komunitasnya.

2. Dipercaya. Setelah pemimpin itu diterima dan dicintai, maka akan tumbuh kepercayaan untuk membangun integritas. Kepercayaan dari komunitas akan menjadi modal utama untuk membangun kekompakan di dalam organisiasi.

3. Diikuti. Pemimpin yang bisa dipercaya, maka akan melahirkan dorongan dari komunitas yang dipimpin untuk mengikuti kebijakan atau peraturan yang diterapkan di dalam komunitas.

4. Kaderisasi. Tugas pemimpin bukan sekedar menjalankan program untuk masa sekarang, tetapi yang juga penting dan strategis adalah mempersiapkan kader untuk keberlanjutan proses kepemimpinan.

5. Pemimpin abadi. Tangga kelima ini adalah hadirnya pribadi seorang pemimpin yang telah mampu merepresentasikan hati. Artinya bahwa jabatan kepemimpinannya, bukan sekedar jabatan praktis, mekanis atau politis yang bersifat material. Tetapi, menjadi pemimpin itu adalah amanah yang harus diwujudkan dalam bentuk “menjadi” pemimpin secara total. Hal ini bisa dilihat ketika pemimpin itu harus selesai dari masa jabatan kepemimpinannya, tetapi pribadinya terus hidup mengilhami dan memberikan inspirasi proses kepemimpinan berikutnya. Namanya akan tetap hidup selagi organisasi itu masih hidup, Inilah puncak tangga seorang pemimpin, pemimpin abadi, atau pemimpin sejati yang namanya akan tetap hidup.

Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Minggu, 14 Februari 2010

KETANGGUHAN PRIBADI DAN KETANGGUHAN SOSIAL

Hidup di dunia ini dapat diibaratkan seperti pendakian menuju ke puncak gunung yang tiada berbatas. Artinya bahwa, puncak "gunung kehidupan" ini sebenarnya tidak ada, tetapi kematian itulah puncak dari kehidupan setiap orang. Cepat atau lambat setiap diri pasti akan menuju ke puncak gunung kehidupan yang sebenarnya, yaitu kematian. Namun demikian, dalam pandangan Islam, kematian bukanlah akhir dari kehidupan. Tetapi, kematian itu justru permulaan dari kehidupan baru, yaitu permulaan kehidupan di alam akhirat. Ini berarti bahwa puncak kehidupan bagi manusia yang sebenarnya adalah alam akhirat.

Dalam kehidupan di alam dunia fana ini, diwarnai dengan aneka ragam dinamika kehidupan. Ada sebagian orang yang dapat hidup sukses, bahagia, sejahtera, berkedudukan tinggi dan tercukupi semua kebutuhan hidupnya. Mereka dapat berbuat apa saja dengan kemampuan ilmu, kedudukan ataupun ekonomi yang dimilikinya. Namun demikian, ada juga sebagian lain yang hidupnya terlunta-lunta, dijerat kemiskinan, kebodohan, dan sebagainya. Pendek kata, orang semacam ini, tidak mampu berbuat apa-apa, bahkan hidupnya justru menjadi beban orang lain. Kenyataan semacam ini, telah disinggung Allah dalam firman-Nya:



وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلائِفَ لاَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ. (الانعام: 165)

"Dan Dia ialah Yang membuat kamu penguasa di bumi dan meninggikan derajat sebagian kamu, melebihi sebagian yang lain, agar ia menguji kamu dengan apa yang Ia berikan kepada kamu. Sesungguhnya Tuhan dikau itu Yang Maha-cepat dalam menghukum (kejahatan); dan sesungguhnya Dia itu Yang Maha-pengampun, Yang Maha Pengasih". (QS. Al An’am: 165)

Dalam benak kita mungkin muncul pertanyaan, faktor apa sebenarnya yang paling berperan dalam menjadikan seseorang itu dapat hidup sukses dan gagal? Apakah faktor nasib atau karena itu semuanya sebagai bagian dari proses kehidupan yang memang banyak berkaitan dengan persoalan kapasitas pribadi setiap orang? Apa sebenarnya yang menyebabkan sebagian orang dapat hidup sukses- dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing? Apakah karena faktor nasib atau keberuntungan yang berpihak kepada mereka atau karena mereka memang secara pribadi memiliki kelebihan (keunggulan) yang tidak dimiliki oleh orang lain? Bukankah setiap diri manusia diciptakan Allah dari bahan yang sama, struktur tubuh yang sama, makanan baik jenis dan porsi yang relatif sama, dan sebagainya. Tetapi, mengapa dalam perjalanan hidupnya ada sebagian yang sukses, namun ada sebagian lain yang gagal?

Ketangguhan pribadi
Secara umum, kesuksesan hidup seseorang itu karena dalam dirinya memiliki dua ketangguhan, yaitu ketangguhan pribadi dan ketangguhan sosial. Ketangguhan pribadi adalah ketika seseorang berada pada posisi atau dalam keadaan telah memiliki pegangan prinsip hidup yang kokoh dan jelas. Seseorang dikatakan tangguh ketika ia memiliki prinsip yang kuat sehingga tidak mudah terpengaruh oleh lingkungannya. Ini berarti bahwa orang yang memiliki ketangguhan pribadi itu mampu untuk mengambil keputusan yang bijaksana dengan menyelaraskan antara prinsip yang dianut dengan kondisi lingkungannya, tanpa harus kehilangan pegangan hidup.
Secara sistematis, ketangguhan pribadi adalah seseorang yang memiliki prinsip berpikir sebagai berikut (Ary Gunanjar, 2001: 178) :
1. Prinsip landasan dan prinsip dasar (prinsip bintang), yaitu beriman kepada Allah.
2. Prinsip kepercayaan, yaitu beriman kepada malaikat.
3. Prinsip kepemimpinan, yaitu beriman kepada Nabi dan Rasul.
4. Prinsip pembelajaran, yaitu berprinsip kepada Al Qur'an.
5. Prinsip masa depan, yaitu beriman kepada "Hari Kemudian".
6. Prinsip keteraturan, yaitu beriman kepada "Ketentuan Allah" (Qadha dan Qadar).

Pribadi yang tangguh bukanlah terjadi secara tiba-tiba, tetapi perlu tindakan nyata dan proses panjang. Beberapa langkah yang perlu dilakukan untuk menuju ketangguhan pribadi, yaitu :
Pertama, menetapkan misi hidup, yaitu dengan pernyataan dua kalimat syahadat. Beberapa penjabaran dari penetapan misi hidup, antara lain:
1. Membangun misi kehidupan (QS. Ali Imran: 9).
2. Membulatkan tekad (QS. Fushilat: 30).
3. Membangun visi (QS. Al An'am:
4. Menciptakan wawasan (QS. Al Insyiqaq: 6)
5. Transformasi fisi (QS. Al Ahzab: 21)
6. Komitmen total (QS. Ali Imran: 18)
Kedua, membangun karakter, yaitu dilakukan dengan beberapa langkah strategis berikut :
1. Relaksasi (QS. Al Maa'un: 4-7)
2. Membangun kesadaran diri (QS. Hud: 5)
3. Membangun kekuatan afirmasi (QS. Thaha: 50)
4. Mengembangkan pengalaman positif (QS. An Nisa: 103)
5. Membangkitkan dan menyeimbangkan energi batiniah (QS. Al Baqarah: 238).
6. Mengasah prinsip (pelatihan penjernihan emosi, wudhu, do'a iftitah, ruku' dan sujud,
Ketiga, pengendalian diri (self cotrolling), yaitu kemampuan mengelola kondisi kemauan, kebutuhan, impuls (desakan), drive (dorongan) dan sumberdaya diri sendiri. Beberapa aspek, yang berkaitan dengan kemampuan pengendalian diri, antara lain :
1. Kendali Diri (Self Control): mengelola emosi-emosi dan desakan (impuls) hati-hati yang merusak.
2. Sifat dapat dipercaya (Trustworthiness): memelihara dan internalisasi norma kejujuran dan integritas pribadi.
3. Kehati-hatian (Conscientiousness) : Bertanggungjawab atas kinerja pribadi.
4. Inovasi (innovation) : mudah menerima dan terbuka terhadap gagasan, pendekatan dan informasi-informasi baru

Ketangguhan sosial
Ketangguhan sosial adalah kecakapan untuk menentukan bagaimana kita menangani hubungan sosial atau bagaimana kita menyikapi interaksi sosial antara kita. Dalam membangun ketangguhan sosial ini, maka ada dua aspek yang paling menentukan, yaitu empati dan keterampilan sosial.
Empati adalah kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan, dan kepentingan orang lain. Beberapa indikator mengenai empati, antara lain:
1. Memahami orang lain (Understanding Others): Mengindra perasaan dan persfektif orang lain dan menunjukkan minat akatif terhadap kepnetingan orang lain,
2. Mengembangkan orang lain (Developing Others): Merasakan kebutuhan pengembangnan orang lain dan berusaha menumbuhkan kemampuan orang lain.
3. Orientasi Pelayanan (Service Orientation): Mengantisipasi, mengenali, dan beupaya memenuhi kebutuhan para pelanggan.
4. Memanfaatkan Keragaman (Leveraging Diversity) : menumbuhakna peluang dengan melalui pergaulan.
5. Kesadaran Politis (Political Awareness): mampu membaca arus-arus emosi sebuah kelompok dan hubungannya dengan kekuasaan.

Sedangkan keterampilan sosial, adalah kemampuan dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain. Beberapa indikator mengenai keterampilan sosial, antara lain :
1. Pengaruh (influence) : Memiliki taktik-taktik untuk melakukan persuasi.
2. Komunikasi (communicatuion): mengirim pesan yang jelas dan meyakinkan.
3. Manajemen Konflik (conflict management) : Penanganan masalah-masalah yang berkembang di dalam masyarakat.
4. Kepemimpinan (leadership): Memandu orang lain dengan membangkitkan inspirasi
5. Katalisator perubahan (Change Catalyst): Memulai dan mengelola perubahan.
6. Membangun hubungan (building bonds) : menumbuhkan hubungan yang bermanfaat.
7. Kolaborasi dan Kooperasi (Collaboration and cooperation) : kerjasama dengan orang lain demi tujuan bersama.
8. Kemampuan tim (Team capabilities): menciptakan sinergi kelompok dalam memperjuangkan tujuan bersama.

Penerimaan diri dan orang lain
Proses untuk memulai membangun ketangguhan diri dan ketangguhan sosial, perlu diawali dengan penerimaan diri dan orang lain tanpa bersyarat. Penerimaan diri adalah kemampuan untuk memahami dan merima kenyataan diri apa adanya. Demikian juga, penerimaan orang lain adalah kemampuan menerima orang lain apa adanya secara sadar. Menurut Carl Rogers, perubahan diri secara mendasar itu bisa terjadi hanya dimulai dengan penerimaan diri dan orang lain, bukannya dengan penolakan diri/orang lain.
Menerima diri sepertinya adalah sesuatu yang sangat mudah, tetapi bagi sebagian orang ternyata menjadi persoalan tersendiri. Kita sering dihadapkan pada kenyataan adanya orang yang menerima diri tetapi dengan bersyarat, seperti yang tersirat pada beberapa pernyataan berikut: "Kalau kamu tidak jadi juara kelas, kamu tidak jadi anak yang baik!", "Kalau kamu tidak jadi orang kaya, tidak ada yang mau menikah denganmu", "Tubuhmu gembrot, tak ada orang yang mau menikah dengan orang berpenampilan seperti itu", "Wajahmu jerawatan, kamu tak akan disegani oleh teman-teman", dan sebagainya.
Penerimaan bersyarat, akan menyebabkan seseorang berjalan terus-menerus mengejar syarat-syarat tertentu agar dapat diterima. Lama-kelamaan, kenyataan ini akan menjadikan diri kita letih dan pada akhirnya bukan tidak mungkin akan menimbulkan rasa putus asa. Karena ternyata syarat-syarat yang dikerjar itu tidak pernah tercapai.
Cara melatih penerimaan diri, antara lain: Pertama, membiasakan dengan kata-kata positif, misalnya: "Saya merasa senang", "Saya merasa dihargai kehadirannya", "Saya bermanfaat", dan sebagainya. Kedua, menggunakan cermin sebagai alat bantu.

Penutup
Ketangguhan pribadi dan sosial adalah dua hal seperti dua sayap saling memperkuat. Untuk dapat terbang, maka burung mutlak perlu dua sayap. Demikian juga, untuk mampu menjalani kehidupan ini secara bermakna, maka perlu ketangguhan pribadi dan sosial. Dengan dua ketangguhan itu, niscaya kita mampu mamaknai setiap langkah aktivitas, sekecil apapun. Demikian juga, dalam arena sosial, kita mampu melakukan peran-peran sosial yang bermanfaat bagi sesamanya. Inilah yang disebut dengan pribadi berkelimpahan, artinya, kita tidak sekedar merasa cukup dan puas dengan segala sesuatu yang kita miliki, tetapi, kita dapat berbagi bahkan dapat memberikan sesuatu untuk kebaikan atau kemaslahatan bersama.

Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Rabu, 10 Februari 2010

Tumbal Teknologi


Beberapa hari ini kita disuguhi berita tentang beberapa gadis belia yang "kabur" atau sengaja "ngabur" dari rumah kemudian menyerahkan diri pada pria kenalannya lewat facebook. Ini tentu pengalalaman tragis. Betapa tidak, sekedar kontak lewat media sejenis facebook, kemudian kabur dari rumah atau 'mau' diajak kabur. Secara nalar, kabur dari rumah, apalagi bagi seorang putri yang baru beranjak remaja, adalah perilaku yang tidak terpuji. Apalagi kabur dari rumah, kemudian rela digandeng bareng sama pria yang tentu belum tau bagaimana perlaku dan pribadi yang sebenarnya.

Ini artinya, perempuan yang melakukan tidandakan demikian, dapat disebut menjadi tumbal teknologi. Mereka tidak sadar bahwa apa yang dilakukan itu memiliki konsekensi psiko-sosial yang sangat besar, bagi pribadi yang bersangkutan, keluarga dan masyarakat.

Karena itu, setiap keluarga perlu untuk menata kembali hubungan sosio-psikoligis dengan semua anggota keluarga agar khususnya anak-anak dapat menikmati rasa kasih sayangk, terlindungi, dihargai dan sebagainya.

Remaja yang kabur dari rumah - menandakan ada sesuatu yang tidak beres di rumah tersebut. Mungkin komunikasi yang tidak efektif, suasana yang tidak nyaman, rasa tidak aman, dan sebagainya. Dan tentu kita berharap, agar keluarga atau masyarakat kita tidak lagi menjadi tumbal teknologi yang semestinya sejak dini bisa diantisipasi. Wallahu a'lam
Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Jumat, 29 Januari 2010

Mendobrak Konservatisme Pembelajaran Agama Islam

Masyarakat Islam di bangun atas dasar prinsip-prinsip keimanan dan akhlakul karimah. Karena itu, perwujudan nilai-nilai Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari sangat ditekankan dalam pandangan hidup islami. Hal ini menjadi kerangka berpikir yang jelas bahwa menjadi seorang muslim yang kaffah mensyaratkan suatu bukti, yaitu bahwa keimanannya harus diwujudkan dalam kehidupan nyata, baik secara personal (kesalehan individual) maupun dalam interaksinya dengan kehidupan masyarakat luas (kesalehan sosial).

Namun demikian, sejauh ini protret seorang muslim kaffah, yang pada pribadinya tumbuh dan berkembang sikap-mental yang kuat dan konsisten serta memiliki sifat-sifat mulia, seperti; mandiri, bertanggung jawab, adil, kreatif, peduli terhadap sesama, cinta lingkungan dan memiliki dedikasi yang tinggi terhadap perjuangan kemanusiaan (jihad fi sabilillah) dan sebagainya, ternyata masih jauh dari kenyataan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita masih sering menyaksikan adanya seseorang yang mengaku muslim, tetapi belum mau dan mampu menjalankan rukun Islam. Hal ini dapat terjadi karena beberapa sebab. Pertama, masih rendahnya pemahaman terhadap ajaran Islam. Kedua, lemahnya semangat atau belum tumbuhnya kesadaran untuk menjalankan rukun Islam secara maksimal. Kesadaran rasionalnya, masih terbelenggu oleh emosionalitas personal yang cenderung malas, cepat bosan, kurang disiplin, tidak memliki visi hidup yang lebih baik dan sebagaiya. Ketiga, pengaruh budaya global yang cenderung mengedepankan gaya hidup materialis, hedonis, instant, dan sebagainya. Ketiga faktor ini, secara simultan menjadikan kepribadian umat compang camping.
Demikian juga dalam kehidupan sosial, kita masih dihadapkan pada berbagai persoalan umat, seperti; kemiskinan dan keterbelakangan yang masih menjerat sebagian besar umat Islam, hubungan antar aliran keagamaan yang kurang sehat, klaim kebenaran (truth claim) dari salah satu aliran keagamaan tertentu, lemahnya tatanan ekonomi dan sosio-budaya umat, serta terfragmentasinya kekuatan politik umat Islam. Inilah sederetan persoalan umat Islam yang muncul di permukaan yang jika ditelusuri, maka muaranya adalah rendahnya kualitas pendidikan Islam di Indonesia.


Kemudian, dalam hubungannya dengan pendidikan Islam ini, maka aspek yang paling menentukan adalah menyangkut pembelajaran agama Islam. Tulisan ini akan memfokuskan pada upaya mendobrak konservativisme pembelajaran agama Islam yang berkembang di masyarakat pada umumnya dan di lembaga-lembaga pendidikan Islam (madrasah) khususnya.

Visi Pembelajaran
Proses pembelajaran adalah proses pengembangan potensi seseorang untuk lebih manusiawi (being humanize). Karena itu, visi atau tujuan utama pembelajaran adalah proses menjadi dewasa dan mandiri. Demikian halnya dengan pembelajaran agama Islam, essensinya adalah proses humanisasi, yaitu proses menjadikan sosok pribadi yang pada mulanya lemah menjadi kuat dalam aspek mental, pengetahuan dan ketrampilan, pribadi yang tergantung menjadi mandiri, pribadi yang belum tahu ajaran Islam dan kehidupan menjadi tahu dan mampu menjalankan ajaran Islam dan disiplin, pribadi yang belum tahu hukum menjadi taat hukum, dan sebagainya. Prinsipnya, pembelajaran agama Islam itu tujuan utamanya adalah "memanusiakan" manusia.


Dalam konteks "memanusiakan" manusia ini, bisa kita lihat secara praktis dalam perbedaan antara kanak-kanak (child) dengan orang dewasa (adult). Perbedaan antara keduanya dapat diringkas dalam satu kata, yaitu kemampuan (ability). Kemampuan ini, umumnya berkaitan dengan tiga hal, yaitu; pengetahuan (knowledge), sikap (know-why, attitude) dan keterampilan (know-how, skill). Masa kanak-kanak memiliki pengetahuan yang amat terbatas dalam segala hal, baik menyangkut dirinya, orang lain, alam semesta, dan apalagi tentang Allah SWT. Kanak-kanak juga belum mampu menentukan sikap, apakah harus positif atau negatif, kritis atau nrimo, terhadap hampir semua hal yang terjadi di sekitarnya. Dalam hal keterampilan, kanak-kanak juga masih sangat terbatas, entah itu yang bersifat pertukangan (memukul, memanjat, memutar, membuka dan sebagainya) maupun kemampuan non teknis-kemanusiaan, seperti komunikasi, kepemimpinan, manajemen dan human skill lainnya. Dalam konteks inilah proses pembelajaran berfungsi, yaitu menjadikan seorang manusia menjadi semakin mampu, berdaya dan semakin merdeka dari segala hal di luar dirinya (Harefa,2000: 37).
Sebagai manusia muslim, maka dirinya semakin yakin terhadap realitas mutlak, yaitu Allah SWT, pencipta dirinya dan kehidupan alam raya, sadar terhadap makna kehadiran dirinya dengan seperangkat peran dan fungsinya, semakin mampu memenuhi kewajiban dan hak-haknya sebagai warga dunia dan pada akhirnya ia tetap sadar bahwa nantinya akan kembali kepada pencipta-Nya, Allah SWT.

Problem Pembelajaran
Tetapi, proses pembelajaran yang terjadi sementara ini, ternyata belum membuat orang terbuka pikirannya, apalagi peka nuraninya. Sekolah-sekolah kita pada umumnya dan madrasah-madrasah khususnya cenderung berperan sebagai lembaga pengajaran (teaching) atau bahkan pelatihan (training), ketimbang menjadi lembaga pembelajaran (learning). Artinya bahwa pendidikan kita baru bisa melahirkan orang-orang pintar (termasuk pintar agama) tetapi belum dewasa dan mandiri. Mengapa demikian? Karena proses pembelajaran yang terjadi di dalam lembaga-lembaga pendidikan kita masih sebatas transfer pengetahuan (knowledge). Peserta didik memang mampu mendefinisikan sesuatu obyek, mampu mendefinisikan iman, islam dan ihsan, tetapi tidak mampu memaknainya, apalagi mengembangkannya secara kreatif-inovatif. Ironisnya lagi, sekolah-sekolah kita cenderung menginginkan lulusan yang gemilang dengan melupakan pembentukan karakter dan kepribadian (Peter Drost, 1998: 251). Hal ini persis seperti dongeng mengenai angsa dan telur emas karangan Aesopus.
Aesopus menggambarkan ada seorang petani yang tidak sabar hanya mendapatkan satu telur emas setiap harinya. Lantas, ia menyembelih angsa itu untuk mengambil semua telur emas yang ada di dalam perutnya. Ternyata kosong. Akhirnya, angsa itupun mati serta tidak ada lagi telur emas. Ini berarti, petani itu hanya mengejar hasil, tetapi melupakan kemampuan berhasil. Inilah gambaran sederhana pembelajaran di sekolah-sekolah kita.


Apa hasil dari pembelajaran seperti di atas? Hasilnya adalah robot. Warga belajar hanya dapat menirukan apa yang ditransfer/diajar guru. Warga belajar tidak mampu mengaktualisasikan potensi kreatifnya ataupun menentukan jalan hidupnya sendiri. Akibatnya, kemampuan berhasil anak menjadi mati atau menjadi manusia dengan karakter dan kepribadian yang mati. Proses ini memperkuat masalah besar, yaitu generasi kita menjadi generasi egosentris, bahkan egoistis. Generasi kita terjebak pada semangat untuk mencapai hasil yang dituntut dirinya sendiri dan juga para guru yang dilakukan dengan cara manipulasi.


Bagaimana dengan pembelajaran agama Islam? Sejauh ini pembelajaran agama Islam tidak jauh berbeda dengan kondisi pembelajaran pada umumnya. Proses yang terjadi sejauh ini belum menunjukkan sebagai proses pembelajaran agama yang sebenarnya, tetapi cenderung baru sebatas pengajaran agama.


Pembelajaran agama Islam masih terpola dengan ritualisme pengajaran konvensional, yaitu terpaku pada lima proses; 1) diajar, 2) diset menjadi pekerja (tukang) ibadah, 3) dites, 4) dinilai, 5) dirangking. Proses semacam ini akibatnya melahirkan generasi "setengah matang". Pesan-pesan Islam yang dipelajari, difahami baru sebatas sebagai "a body of information" daripada sebagai "a body of experience". Nilai-nilai Islam yang tersurat dan tersirat di dalam Alquran dan Sunnah Nabi yang sebenarnya memiliki muatan makna sangat luas dan mendalam, belum mampu menjadi sumber inspirasi dan motivasi yang memperkaya khazanah pengetahuan yang akan melahirkan pengalaman-pengalaman hidup yang lebih kreatif dan inovatif.


Karena itu, generasi kita memang pandai membaca teks kitab suci dan kemungkinan malah rutin menjalankan berbagai praktek ibadah ritual. Tetapi, apa yang dilakukan itu belum membentuk sikap-mental yang kuat dan gaya hidup yang mencerminkan pribadi muslim yang santun, simpatik dan memiliki ketrampilan sosial (social skill) yang tinggi. Mengapa demikian? Karena cara berpikirnya monolitik dan dikhotomis, yaitu pikiran yang hanya mampu menerima kebenaran (informasi) secara diametral. Kecerdasan intelektualnya mampu berkembang dengan cepat, sementara kecerdasan emosionalnya mandeg. Akibatnya, generasi semacam ini pikirannya selalu tertutup, tidak mau menerima wacana (discourse) hidup yang baru, yang berasal dari luar dirinya. Inilah salah satu sebab utama yang menjadikan masyarakat Islam sulit memiliki perspektif yang sama dalam melakukan perjuangan di ranah sosial, ekonomi dan politik.


Bagi kebanyakan anak-anak muslim khususnya dan masyarakat muslim pada umumnya, pesan-pesan Islam belum mampu menjadi sumber inspirasi dan dipandang kurang bermakna (meaningless) dan bahkan dipandang kurang relevan dengan kehidupan pribadi serta pengalaman-pengalaman kehidupan mereka. Islam baru dipahami sebagai seperangkat praktek ritual yang tidak bersentuhan dengan realitas kemanusiaan. Implikasi sosialnya, masyarakat Islam masih terus terjerat kemiskinan, terbelakang, mudah tersinggung, gampang mencaci maki satu dengan yang lain, dan sebagainya. Semua ini, adalah akibat dari proses pembelajaran agama Islam yang baru sebatas pengajaran.

Visi Pembelajaran Agama Islam
Visi tentang pembelajaran agama Islam yang dimaksud di sini adalah mencoba membedakan antara pengajaran tentang Islam (teaching about Islam) dan pembelajaran tentang bagaimana menjadi seorang muslim (teaching about being moslem). Telah disebutkan di depan bahwa umumnya para pendidik muslim, dalam pengajarannya lebih menekankan tentang informasi dan fakta-fakta tentang Islam (fact about Islam), karena hal ini memang lebih mudah dan sebenarnya merupakan pendekatan yang kurang diperlukan (Abdul Goffar, 2004). Karena kita memang belum menjumpai suatu bentuk pengembangan program yang sistematik untuk melakukan proses pembelajaran generasi kita untuk "menjadi muslim (being moslem). Karena hal ini memang memerlukan upaya yang lebih rumit dan pemahaman yang mendalam, baik berkaitan dengan karakter ilmiah generasi muslim maupun ajaran Islam itu sendiri.


Visi sebenarnya dari pembelajaran Islam itu bukanlah "mengisi" otak generasi kita dengan informasi-informasi tentang Islam, tetapi lebih terletak pada bagaimana mangajarkan pada generasi kita untuk menjadi muslim yang baik (kaffah). Karena itu, visi pembelajaran Islam perlu perpijak pada pemahaman yang utuh bahwa pesan-pesan Islam itu harus memfokuskan pada pengembangan kepribadian (personality) dan akhlak generasi, serta lebih memperhatikakn pada kebutuhan dan harapan riil masyarakat kita (relevansi sosial). Di samping itu, pembelajaran itu juga perlu mempersiapkan generasi dengan daya kritis (critical thinking) dan ketarmpilan memecahkan masalah (problem solving skill) yang sangat diperlukan dalam peran sertanaya dalam kehidupan bermasyarakat.


Dalam konteks inilah, maka visi pembelajaran Islam harus mampu mengembangkan beberapa muatan berikut: 1) bermakna (meaningful), 2) terintegrasi (emosional, sosial, intelektual dan fisik), 3) berbasis nilai Islam, 4) menanatang (challenging), 5) menawarkan sesuatu yang baru (up-to date).
Implementasinya, lembaga-lembaga pendidikan Islam (khususnya madrasah-madrasah, pondok pesantren, perguruan tinggi Islam dan sebagainya) juga masyarakat Islam (khsususnya orang tua) harus mampu mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana generasi itu tumbuh dan belajar. Kita harus paham mengenai proses pengembangan moral dan metode yang efektif dalam proses pembelajaran. Dengan begitu, maka generasi kita akan tumbuh dan berkembang menjadi generasi yang memiliki moralitas yang tinggi, yang merupakan sinergi antara akal, rasa dan nurani dan sekaligus memiliki peluang-peluang untuk tahu dan mampu mengaplikasikan nilai-nilai Islam secara nyata dalam kehiudupan sehari-hari.

Visi pembelajaran Islam seperti di atas dapat diaplikasikan dengan fokus utama pembelajarannya pada; 1) pengembangan kepribadian (personality) dan akhlak, 2) terkait dengan persoalan nyata, 3) mempersiapkan generasi dengan daya kritis, keterampilan memecahkan masalah, 4) para pendidik yang memiliki pemahaman proses pemkembangan moral dan metode pembelajaran yang efektif.


Praktisnya, tanpa pemahaman yang tepat terhadap sistem nilai Islam, maka tipis harapan visi pembelajaran Islam dapat tercapai. Bagaimanapun juga, sekarang ini, sekolah-sekolah Islam memiliki peran yang krusial untuk memainkan peranannya dalam mengembangkan solusi-solusi dan program-program yang kongkrit untuk memberikan pemahaman yang tepat terhadap para siswa, tanpa menafikan pentingnya peran dan tanggung jawab keluarga dalam proses pembelajaran ini.


Patut memberikan rasa optimisme bahwa beberapa dekade terakhir ini, di Indonesia, khususnya di Yogyakarta dan beberapa kota lainnya, telah berkembang kesadaran untuk memperbaiki konservativisme pembelajaran agama Islam dan mengembangkan program-program pembelajaran alternatif yang dikemas dalam sekolah islam terpadu, seperti (TKIT, SDIT, SMPIT, SMAIT dan sebagainya).


Proses pembelajaran agama Islam yang efektif itu haruslah aktif. Studi Islam itu mesti mampu memenuhi kebutuhan utama, baik kebutuhan peserta didik maupun para pendidiknya (guru/ustazd). Para guru dituntut aktif dan genuin terlibat dalam proses pembelajaran, seperti; membuat perencanaan, memilih dan menyesuaikan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi generasi mendatang, serta tetap berjalan dalam koridor perundang-undangan. Guru yang efektif haruslah dipersiapkan dengan baik dan dilakukan up to date secara kontinyu terhadap ilmu pengetahuan, metode pengajaran yang efektif, kebutuhan para peserta didik, dan pengembangan keterampilan (skill) mengajarnya. Dengan kata lain, belajar haruslah aktif, dengan menekankan proses belajar interaktif yang mengajak peserta didik berpartisipasi secara aktif dalam proses tersebut.


Beberapa hal di atas adalah faktor-faktor kunci dalam proses pembelajaran agama Islam yang efektif. Dengan begitu, maka pembelajaran agama Islam ke depan diharapkan mampu menumbuh-kembangkan generasi muslim dengan tingkat pemahaman keislaman yang tinggi dan komitmen serta tanggung jawab sosial yang tinggi pula. Generasi semacam inilah yang mampu memotivasi dan memberdayakan masyarakat secara efektif. Pembejalaran agama Islam harus mampu mencetak generasi muslim yang memiliki kemampuan mengidentifikasi, memahami dan bekerja secara kooperatif untuk memecahkan berbagai persoalan keummatan dimana mereka tinggal, dan meproyeksikan kegemilangan peadaban Islam di masa depan.

Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Rabu, 27 Januari 2010

Fasilitator Outbound di Tawangmangu

Ahad, 14 Januari 2010 saya diminta menjadi fasilitator Outbound di Tawangmangu oleh Pimpinan Dewan Masjid Kelurahan Wirogunan kec. Mergangsan Yogyakarta. Luar biasa, jumlah pesertanya cukup banyak 50 an orang terdiri dari para sesepuh Takmir Masjid/Musholla, aktivis masjid dan remaja masjid se Kelurahan Wirogunan. Kebersamaan, keceriaan dan penuh pengharapan tergambar di raut muka semua peserta.

Jam 07.00 WIB rombongan bis full AC yang membawa rombongan peserta Outbound berangkat dari jln. Tamansiswa. Di tengah perjalanan diisi dengan perkenalan peserta yang dipandu oleh Bapak Mustafid (penggerak masjid/pengurus DMI Wirogunan/kepala KUA Mantrijeron). Satu persatu peserta berkenalan seputar nama, tempat aktivitas di masjid/musholla mana, alamat asal, pendidikan, status, dll. Sebagian peserta ternyata belum berkeluarga, ada yang masih SLTA, mahasiswa, sudah bekerja, dll.

Jam 10.10 WIB rombongan sampai di Tawangmangu. Acara dilanjutkan perjalanan menuju Grojogan Tawangmangu. Memasuki pintu pembelian Tiket Box, ternyata jumlah pengunjung Tawangmangu luar biasa. Jalan menurun yang cukup jauh penuh sesak dijejali pengunjung. Perjalanan menurun menuju Grojogan disambut oleh ratusan monyet yang bergelantungan di pepohonan. Para monyet itu sepertinya sudah akrab dengan dunia kita- dunia manusia.
Karena perjalanan yang ckp lumayan, akhirnya baru pukul 11.20 WIB game pertama bisa di mulai dengan ice breker untuk memecah kebekuan dengan The Seven Boomb, berhitung, dan dilanjutkan train balloon. Game kedua peserta diajak untuk menguji kapasitas kepemimpinannya dengan "Si Buta". Semua bisa tertawa, asik dan menikmati.
Lelah? ya terlihat peserta mulai lelah. Karena itu segera dilaksanakan debrief untuk mengapresiasi game yang telah dilaksanakan.

Game terakhir dilanjutkan di sungai Grojogan Sewu, yaitu dengan Water Bomb dan Pralon. Luar biasa, semua peserta bisa aktif dan menikmati dengan berbasah-basah di sungai.
Tepat pukul 13.00 WIB game selesai. Semua peserta menikmati dahsyatnya Grojogan sewu. Sekalipun target belum bisa tercapai secara maksimal, tetapi secara keseluruhan, proses outbound dapat berjalan lancar. Karena keterbatasan waktu, pemaknaan dua game terakhir dilaksanakan di Jogja. Alhamdulillah, semoga outbound dengan game yang murah dan sederhana dapat menjadi media mengeksplorasi diri setiap peserta, sehingga dapat mengembangkan diri menjadi pribadi yang penuh percaya diri, empatik, bersemangat tinggi untuk belajar, dan tumbuh rasa kebersamaan untuk meraih sukses secara bersama-sama melalui Dewan MAsjid Kelurahan Wirogunan. Selamat...
Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO