Jumat, 05 Maret 2010

Membangun Rasa Malu

Sekarang ini kita merasakan bahwa masyarakat kita semakin tidak memiliki rasa malu. Para wanita semakin berani memamerkan auratnya di depan umum, secara langsung atau tidak langsung, misalnya lewat media cetak atau elektronik. Masyarakat dengan seenaknya membuang sampah di jalan atau di sungai atau selokan saluran air. Para pelajar jan juga mahasiswa kian berani membolos hanya untuk nongkrong di mall atau sekedar jalan-jalan padahal pas waktunya jam pelajaran. Sebagian pemuda kita dengan berani mengkonsumsi narkoba yang telah merambah tidak hanya di kota, tetapi juga talah merembet ke desa-desa. Demikian juga, para pejabat tinggi kita dengan enaknya menilep uang negara, memeras rakyat, menyalahgunakan wewenang, sikat kanan-kiri untuk meraih kekuasaan. Itulah sebagian dari fenomena semakin pudarnya rasa malu di masyarakat kita. Apa akibatnya kini dan di masa depan, jika rasa malu benar-benar hilang dari wajah masyarakat kita? Kehancuran ! Ya kehancuran.

"Diriwayatkan dari Imran bin Husaini, bahwa Nabi bersabda: “Malu itu tidak datang kecuali dengan membawa kebaikan”.

"Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: Iman terdiri daripada lebih dari tujuh puluh bahagian dan malu adalah salah satu dari bahagian-bahagian iman".
Berbagai persoalan bangsa yang sekarang masih menjerat kehidupan masyarakat, salah satu sebabnya adalah karena masyarakat kita tidak lagi mempunyai rasa malu. Di kalangan pejabat dan para pemimpin rama-rama merampok harta negara dan rakyat. Sekalipun harta mereka rata-rata telah melampaui dari sekedar menjadi “The Have” atau orang kaya, tetapi masih juga tega melakukan korupsi. Para artis/selebritis kita semakin barani menjual kemolekan tubuhnya dengan dalih tuntutan profesi. Para konglomerat/pengusaha dengan teganya memeras tenaga karyawannya untuk memenuhi kerakusannya. Demikian juga, lapisan masyarakat yang masih dijerat kemiskinan, tidak malu lagi meminta-minta di pinggir jalan atau mendatangi dari rumah ke rumah menyadongkan tangannya.
Itulah sebagian wajah masyarakat kita. Mengapa rasa malu menjadi sesuatu yang langka? Mengapa rasa malu menjadi sesuatu yang mahal didapat?
Padahal rasa malu adalah energi yang mampu menjadi filter dalam memilih tindakan yang positif dan bermanfaat untuk meraih kesuksesan atau kemajuan. Rasa malu sekaligus menjadi kontrol diri yang paling efektif sehingga kita bisa meninggalkan tindakan yang merugikan dan tidak bermanfaat.
Karena itu, sejak 15 abad silam Nabi Muhammad SAW memberikan pernyataan yang sangat dalam maknanya, “Malu itu tidak datang kecuali dengan membawa kebaikan”. Hadits yang diriwayatkan oleh Imran bin Husaini radhiyallahu ‘anhu (RA) ini sekaligus memberikan makna tersirat bahwa hilanganya rasa malu pada seseorang, maka akan mendatangkan keburukan, kerusakan dan kehinaan.
Sekarang ini, pernyataan Nabi Muhammad SAW ini mulai menjadi kenyataan dalam kehidupan keseharian masyarakat kita. Bersamaan dengan semakin banyak masyarakat yang tidak lagi memiliki rasa malu, maka berbagai persoalan masyarakat kian menjerat.
Berbagai problem masyarakat, seperti; perampokan harta negara/rakyat oleh para pejabat, vulgarisme para artis yang hanya menonjolkan segi estetika tetapi menafikan aspek etika, media cetak dan elektronik yang cenderung menonjolkan kepentingan ekonomi semata tanpa mengindahkan kepentingan moral, ibu-ibu yang semakin tega memaksa anak bayinya mengkonsumsi susu formula tanpa alasan jelas, kemiskinan ekonomi yang masih menjerat sebagian masyarakat kita, pengangguran dan premanisme yang melanda di berbagai sektor kehidupan, sungguh menjadi kenyataan hidup yang mestinya memalukan. Malu rasanya kita dipimpin oleh pejabat yang suka korupsi, malu rasanya bangsa ini memiliki hutang yang masih menggunung, malu rasanya sebagian anak-anak kita hidup di perempatan jalan sambil menyadongkan tangan, mengemis.
Hanya dengan gerakan budaya malu inilah kiranya pelan-pelan namun pasti, maka keterbelakangan, kemiskinan, ketidak adilan, kerusakan lingkungan dan sebagainya yang menghimpit kehidupan masyarakat kita segera dapat teratasi. Dan kita lahir kembali menjadi masyarakat yang egaliter, kosmopolit, dan beradab. Semoga…!
Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Selasa, 02 Maret 2010

Pemimpin Sejati

Semua komunitas masyarakat manapun selalu mendambakan pemimpin sejati. Yaitu pemimpin yang memiliki dua sayap kekuatan dalam menjalankan peran-peran kepemimpinannya. Sayap pertama adalah pribadinya mampu menjadi pembelajar (becoming a learner) dan sekaligus menjadi guru (becoming a teacher).
Sebagai pembelajar, maka seorang pemimpin dituntut untuk bersedia menerima tanggung jawab melakukan dua hal penting, yaitu: pertama, berusaha mengenali hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya, dengan selalu berusaha mencari jawaban yang lebih baik tentang beberapa pertanyaan eksistensial, seperti “Siapakah aku?”, “Siapakah yang menciptakan aku?”, “Kemanakah aku akan pergi?”, “Apakah yang menjadi tanggung jawabku dalam hidup ini?” dan kepada siapakah aku harus percaya?”; dan kedua, berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasikan segenap potensi kreatifnya, mengekspresikan dan menyatakan dirinya seutuh-utuhnya, dengan cara menjadi dirinya sendiri dan menolak untuk dibanding-bandingkan dengan segala sesuatu yang “bukan dirinya”. Secara pribadi seorang pemimpin dituntut oleh dirinya sendiri untuk terus berproses “menjadi” yang terbaik dari dirinya, yaitu dengan terus belajar dan berlatih. Dengan belajar, maka pengalamannya akan semakin kaya, pengetahuannya semakin luas, dan ketrampilan (manajerialnya) semakin bisa diandalkan. Jadi, seorang pemimpin itu pribadinya selalu membawa kesegaran, pembaruan, gagasannya tidak pernah usang (out of date) bagi komunitas yang dipimpinnya.

Sebagai guru, pemimpin adalah pendamping utama warga komunitasnya yang memainkan peran sebagai “aktor intelektual” dan selalu menjalankan falsafah ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso dan tut wuri handayani. Dirinya tidak menganggap penting lagi popularitas, keudukan dan kekuasaan (politik), tetapi ia lebih menempatkan diri sebagai penyelaras antara “spiritualitas-hati nurani”, “rasionalitas-akal budi” dan “aktivitas-otot” yang ada pada komunitas yang dipimpinnya.

Sementara itu, sayap kekuatan kedua seorang pemimpin adalah kemampuan dirinya mengakomodasi dan mewujudkan harapan komunitas yang dipimpinnya dalam tata sosial yang damai, aman, sejahtera, demokratis, terpenuhinya hak-hak semua warga dan terbebaskan dari kebodohan, kemiskinan, rasa takut dan sebagainya. Dengan demikian, seorang pemimpin benar-benar mampu menumbuhkan suasana hidup yang tercerahkan. Kapabilitas atau kemampuan dirinya benar-benar menjadi faktor pengikat harapan semua warga komunitas sehingga ia bisa diterima secara total, dan efektif dalam menumbuhkan kesamaan visi, orientasi, tujuan dan langkah dalam membangun masa depan komunitasnya.

Empat Kemampuan Pemimpin Sejati

Pemimpin sejati bukanlah seseorang yang hanya ada dalam impian. Tetapi, sebenarnya bisa lahir dari siapa saja yang memang benar-benar mau dan mampu menjadikan dirinya untuk terus belajar dan berlatih. Ada empat kemampuan yang perlu dimiliki oleh pemimpin sejati :

1. Visioner. Pemimpin sejati dituntut memiliki kemampuan berpikir jauh ke depan. Artinya bahwa sekalipun masa kepemimpinannya mungkin hanya beberapa tahun, tetapi apapun peran dan tanggung jawab yang dilakukannya adalah dalam rangka mempersiapkan keberlangsungan kepemimpinan organisasi dan membangun masa depan yang lebih baik, sebagaimana penegasan Allah dalam ayat berikut :

يَااَيُّهَلَّذِيْنَ امَنُوْااتَّقُوْاللهَ وَالْـتَنْذُرْنَفْسٌ مَّاقَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوْاللهَ اِنَّ اللهَ خَبِيْرٌبِمَاتَعْمَلُوْنَ.(الحسر:18)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhataikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakawalahkepada Alalah, sesungguhnya Allah Maha Mengathuhi apa yang kamukerjakan. (QS. Al Hasr: 18)

Seorang pemimpin berkewajiban untuk mempersiapkan masa depan komunitas yang dipimpinnya. Karena itu, pemimpin sejati tidak akan pernah “memanfaatkan” jabatannya atau “mumpung berkuasa” kemudian menumpuk kekayaan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau status quo.

2. Ahli strategi. Pemimpin sejati dituntut memiliki kemampuan menjabarkan visi, misi dan tujuan organisasi ke dalam program-program yang strategis dan bermanfaat bagi kemajuan organisasi. Ia mampu mendesain atau merancang strategi untuk pemberdayaan organisasi, merancang diskripsi pekerjaan (job disscription) yang menyangkut wewenang, tugas, dan tanggung jawab secara adil, sehat dan terbuka. Dengan begitu, penanganan sebuah program tidak akan terjadi tumpang tindih, tidak ada lempar tanggung jawab dan eksploitasi di antara komponen organisasi.

3. Kemampuan sinergis. Pemimpin sejati mampu membaca, menggali dan mensinergikan semua kepemimpinannya, yaitu mendayagunakan seluruh potensi organisasi, sehingga mampu diaktualisasikan secara maksimal untuk kemanfaatan bersama. Tidak ada yang disepelekan atau diutamakan. Dari tingkat paling atas sampai paling bawah memiliki fungsi tanggung jawab dan peranan yang penting untuk kemajuan organisasi.

4. Motivator. Pemimpin sejati mampu memberikan inspirasi dan motivasi - bukan mendikte - terhadap komunitas yang dipimpinnya. Dengan inspirasi dan motivasi itu, maka akan tumbuh partisipasi aktif semua komponen organisasi yang pada akhirnya akan melahirkan dinamisasi dan progresifitas organisasi secara produktif dan konstruktif (membangun).

Dengan empat kemampuan di atas, seorang pemimpin sejati itu tidak saja menjadi menajer yang berperan mengatur pekerjaan yang bersifat struktural dan mekanis, tetapi kepemimpinannya akan menciptakan iklim yang terbuka, sejuk dan bebas, sehingga melahirkan budaya (cultur) organisasi yang positif dan perilaku organisasi yang produktif dan konstrukif.

Tangga Kualitas Pemimpin
Menjadi pemimpin sejati tidak bisa dicapai secara instant, tetapi perlu proses waktu melalui tangga-tangga kualitas, antara lain :

1. Dicintai. Dicintai adalah tangga paling dasar bagi seorang pemimpin. Seorang pemimpin dituntut mampu membangun hubungan batin dengan warga komunitasnya. sebagai modal utama untuk tumbuhnya rasa cinta dari komunitasnya.

2. Dipercaya. Setelah pemimpin itu diterima dan dicintai, maka akan tumbuh kepercayaan untuk membangun integritas. Kepercayaan dari komunitas akan menjadi modal utama untuk membangun kekompakan di dalam organisiasi.

3. Diikuti. Pemimpin yang bisa dipercaya, maka akan melahirkan dorongan dari komunitas yang dipimpin untuk mengikuti kebijakan atau peraturan yang diterapkan di dalam komunitas.

4. Kaderisasi. Tugas pemimpin bukan sekedar menjalankan program untuk masa sekarang, tetapi yang juga penting dan strategis adalah mempersiapkan kader untuk keberlanjutan proses kepemimpinan.

5. Pemimpin abadi. Tangga kelima ini adalah hadirnya pribadi seorang pemimpin yang telah mampu merepresentasikan hati. Artinya bahwa jabatan kepemimpinannya, bukan sekedar jabatan praktis, mekanis atau politis yang bersifat material. Tetapi, menjadi pemimpin itu adalah amanah yang harus diwujudkan dalam bentuk “menjadi” pemimpin secara total. Hal ini bisa dilihat ketika pemimpin itu harus selesai dari masa jabatan kepemimpinannya, tetapi pribadinya terus hidup mengilhami dan memberikan inspirasi proses kepemimpinan berikutnya. Namanya akan tetap hidup selagi organisasi itu masih hidup, Inilah puncak tangga seorang pemimpin, pemimpin abadi, atau pemimpin sejati yang namanya akan tetap hidup.

Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO