Minggu, 27 Desember 2009

Identifikasi Problem Penyuluhan

Departemen Agama, khususnya Kanwil Depag DIY sebagai aparatur pemerintah memiliki posisi dan tugas menjadi fasilitator dalam membangun iklim keagamaan yang kondusif bagi perkembangan masyarakat yang dinamis, progresif, toleran dan damai di atas dasar nilai keagamaan dan kekayaan budaya yang berkeadaban (Sudijono: 2000). Untuk menjabarkan tugas itu, maka Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 1 Tahun 2001 telah menggariskan fungsi Departemen Agama meliputi empat masalah pokok, yaitu : Pertama, memperlancar pelaksanaan pembangunan di bidang keagamaan. Kedua, membina dan mengkoordinasikan pelaksanaan tugas serta administrasi departemen. Ketiga, melaksanakan penelitian dan pengembangan terapan pendidikan dan pelatihan tertentu dalam rangka mendukung kebijakan di bidang keagamaan. Keempat, melaksanakan pengawasan fungsional.

Dalam usaha mengimplementasikan fungsi di atas, maka penyuluhan agama Islam merupakan salah satu bentuk satuan kegiatan yang memiliki nilai strategis, khususnya dalam menjalankan fungsi memperlancar pelaksanaan pembangunan di bidang keagamaan. Kemudian, untuk menjalankan penyuluhan ini, pemerintah telah melakukan reposisi kedudukan dan fungsi penyuluh, berdasarkan Keputusan Presiden No. 87 Tahun 1999, yaitu yang menempatkan penyuluh Dalam Keppres itu disebutkan bahwa Rumpun Keagamaan adalah rumpun jabatan fungsional Pegawai Negeri Sipil yang tugasnya berkaitan dengan penelitian, peningkatan atau pengembangan konsep, teori, dan metode operasional serta pelaksanaan kegiatan teknis yang berhubungan dengan pembinaan rohani dan moral masyarakat sesuai dengan agama yang dianutnya. Keppres ini kemudian dijabarkan dalam Keputusan Bersama Meteri Agama dan Kepala Badan Kepegawaian Negara no: 574 tahun 1999 dan no: 178 Tahun 1999 tentang petunjuk pelaksanaan jabatan fungsional Penyuluh Agama dan Angka Kreditnya.
Jadi, berdasarkan Keppres No: 87/1999 ini, berarti bahwa Penyuluh Agama Islam secara de-jure memiliki kedudukan yang sama dengan jabatan fungsional lainnya, seperti; peneliti, dosen/guru, widyaiswara, dokter, pengawas sekolah, akuntan, pustakawan, penyuluh KB, penyuluh pertanian dan sebagainya (Departemen Agama RI Sekretariat Jenderal Biro Kepegawaian: 1999).
Namun demikian, tidak dipungkiri bahwa secara de facto, Penyuluh Agama Islam yang menjadi pelaksana teknis program penyuluhan di masyarakat, sejauh ini masih dihadapkan pada sejumlah problem, sebagaimana sejumlah problem yang terjadi dalam program penyuluhan. Tulisan ini baru sebatas akan mengidentifikai problem penyuluhan dan sekilas melihat tantangan PAI ke depan.

Identifikasi Problem Penyuluhan
Reposisi penyuluh sampai sekarang telah berjalan lima tahun. Dalam proses perjalanan sebuah perbaikan, tentu waktu lima tahun ini bisa dibilang masih dalam tahap proses penataan stake holder penyuluhan. Tanpa menafikan usaha-usaha penataan kelembagaan dari berbagai stake holder yang ada, kita melihat ada empat persoalan utama yang masih dihadapi dalam implementasi penyuluhan, yaitu: permasalahan struktural, manajerial, sumber daya penyuluh dan kultural.
Dalam aspek struktural, penyuluhan agama Islam dihadapkan pada sentralisasi kebijakan yang masih terkonsentrasi di tingkat pusat. Akibatnya, secara struktural Bidang Penamas di tingkat Kanwil Depag dan apalagi tingkat Kandepag sebagai pihak yang berkompeten langsung mengampu program penyuluhan sampai dan bersentuhan langsung dengan customer (kelompok binaan) memang diberi kesempatan merencanakan program dan mengorganisir sumber daya penyuluh. Namun demikian, kewenangan "final" untuk memutuskan dapat atau tidaknya program penyuluhan itu dilaksanakan, khususnya menyangkut pembiayaannya tetap berada di tingkat pusat. Di samping itu, kemampuan perencanaan program di Bidang Penamas Kanwil Depag sendiri masih kurang. Rapat Kerja Daerah setiap tahun yang menjadi forum sangat penting dalam perumusan program di tingkat Kanwil/Kandepag umumnya berjalan sebagai forum "ketok palu" saja terhadap rumusan program yang sudah ada yang diambil dari tahun sebelumnya. Karena itu, Bidang Penamas Kanwil dan Kandepag, dapat diibaratkan masih sebatas sebagai "pekerja" yang belum memiliki kemampuan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan strategis dan program-program penyuluhan yang prospektif.
Permasalahan struktural di atas menyebabkan manajerial di tingkat Kanwil dan Kandepag kurang dapat berjalan secara efektif dan antisipatif sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Bahkan, manajerial Bidang Penamas di tingkat Kanwil Depag dan Kandepag lebih cenderung diposisikan diri atau kemungkinan memposisikan diri sebagai "pekerja" pusat atau kepanjangan tangan dari pusat.
Kemudian, sumber daya penyuluh, yaitu Penyuluh Agama Islam (PAI) dalam proses penyuluhan adalah subyek yang menentukan keberhasilan tujuan dan target penyuluhan. Namun demikian, sementara ini sumber daya penyuluh di Kanwil Depag DIY yang berjumlah 79 orang masih juga dihadapkan pada beberapa persoalan.
Pertama, kurangnya pemahaman terhadap berbagai persoalan yang berkaitan dengan penyuluhan. Modal utama PAI dalam melakukan penyuluhan lebih bertumpu pada semangat dakwah dan "perasaan kewajiban" menjalankan tugas sebagai pegawai Departemen Agama. Sebagian besar PAI yang berjumlah 79 orang, sejauh ini belum memahami secara komprehensif mengenai konsep dasar penyuluhan, pendekatan penyuluhan, teknik-teknik penyuluhan dan teori-teori penyuluhan. Daya baca para penyuluh terhadap sumber-sumber utama konsep penyuluhan (atau dalam kajian akademik lebih dikenal dengan istilah konseling) masih lemah. Kemungkinan, malah ada sebagian di antara penyuluh yang belum mengetahui buku-buku atau sumber rujukan apa saja yang harus dibaca untuk memperkaya pemahamannya dan ketrampilannya yang dapat mendukung profesinya sebagai penyuluh agama Islam (Islamic counselor). Buku-buku yang bisa menjadi referensi dalam penyuluhan, seperti; Mohammad Surya, Dasar-dasar penyuluhan; Rosydi Ahmad Syahada, Bimbingan dan konseling masyarakat dan pendidikan luar sekolah; Arifin, Pokok-pokok pikiran tentang bimbingan dan penyuluhan agama; AR. Romly, Penyuluhan agama mengahadapi tantangan baru; dan seabreg buku tentang bimbingan dan konseling sementara ini masih asing di kalangan PAI.
Kedua, lemahnya kemampuan metodologis para penyuluh dalam proses penyuluhan. Pelaksanaan pembelajaran dalam penyuluhan masih cenderung menggunakan cara-cara konvensional, yaitu ceramah yang bersifat satu arah. Peserta penyuluhan belum mampu terlibat secara partisipatoris sehingga forum pembelajaran itu statis dan monoton. Untuk membantu pemahaman dan kemampuan metodologis ini, sebenarnya dari Depag pusat telah menerbitkan beberapa buku pedoman bagi para penyuluh. Tetapi, buku-buku pedoman itu lebih banyak berisi petunjuk teknis-administratif bagi para penyuluh dalam melaksanakan penyuluhan, seperti; petunjuk teknis jabatan fungsional, pedoman materi bimbingan dan penyuluhan, pedoman identifikasi potensi wilayah, pedoman identifikasi kebutuhan sasaran, pedoman penilaian angka kredit, dan sebagainya. Lebih dari itu, di samping sosialisasi berbagai juklak dan juknis itu belum efektif, para penyuluh sendiri sebagian besar belum membaca pedoman-pedoman itu.
Ketiga, kesempatan pendidikan dan pelatihan bagi para penyuluh yang dilakukan oleh pusat sangat terbatas. Akibatnya, proses pelaksanaan penyuluhan, pendekatan dan kemampuan metodis para penyuluh masih jauh dari memadai sebagai bentuk proses pendidikan (non-formal) yang dapat memberdayakan kesadaran dan pengamalan keislaman khususnya dan kehidupan secara lebih luas pada umumnya.
Karena itu, tanpa menafikan semangat kerja dan perjuangan penyuluh yang kemungkinan ada yang bekerja melampaui batas waktu normal sebagai pegawai, sementara ini posisi dan perannya belum maksimal. PAI sementara ini masih cenderung berfungsi sebagai "tenaga administratif", misalnya mencari data untuk bahan laporan ke Kanwil Depag Propinsi. Kemudian, laporan itu diteruskan dari propinsi ke pusat.
Sementara itu, menurut Kapusdiklat Depag menyatakan bahwa aparat Depag pada umumnya dan khususnya PAI masih menghadapi persoalan sikap mental dan pengetahuan serta keterampilan, seperti: 1) budaya kerja lemah, kurang inisiatif dan lebih banyak menunggu perintah, dan kurang kesungguhan dalam pekerjaan, 2) pengetahuan dan kesadaran terhadap tugas dan misi institusi masih kurang, 3) sikap amanah dan saling percaya (trust) lemah, 4) budaya pamrih berlebihan, 5) orientasi pada pencapaian hasil dalam pelaksanaan tugas masih kurang, 6) kurang orientasi pada kepuasan jama'ah sasaran/binaan (customer), akibat kepekaan dan empati terhadap keutuhan stakehorders yang msih rendah, 7) minat untuk menambah pendidikan formal meningkat, tetapi belum diikuti kesadaran pemanfaatan pengetahuan baru dalam menjalankan tugas, 8) lebih banyak tenaga yang kurang memiliki keahlian (unskilled), 9) gagap teknologi, tetapi semangat untuk pengadaan teknologi baru tinggi, dan 10) pemanfaatan informasi baru dalam pelaksanaan tugas masih rendah.
Kemudian, permasalahan terakhir dalam penyuluhan adalah kultur atau budaya. Dalam hal masalah budaya ini, ada dua aspek yang menonjol, yaitu budaya internal kepenyuluhan dan budaya masyarakat. Khusus menyangkut budaya kepenyuluhan, sementara ini masih dihadapkan dengan budaya paternalis dan struktural. Komunikasi antara penyuluh dan atasan dibangun berdasarkan pola hubungan yang ketat antara atasan dan bawahan. Para penyuluh diposisikan sebagai pelaksana teknis yang wajib menjalankan apa saja kebijakan atasan dengan dibingkai loyalitas pada atasan, bukan loyalitas pada profesi atau pekerjaan. Sedangkan budaya pada masyarakat, program penyuluhan dihadapkan pada budaya global yang cenderung pragmatis, materialis dan ada kecenderungan kurang memandang penting persoalan agama bagi kehidupan. Masyarakat kita, khususnya masyarakat Islam sebagai sasaran penyuluhan, sekarang ini sedang menghadapi dislokasi dan disorientasi hidup. Mereka gagap menghadapi perkembangan zaman yang ditandai dengan perubahan budaya sebagai akibat dari penemuan dan penerapan berbagai teknologi canggih, khususnya di bidang transportasi, komunikasi dan informasi. Di satu sisi, realitas semacam ini sebenaranya dapat menjadi peluang, tetapi sementara ini masih menjadi tantangan bagi penyuluhan agama. Kesadaran untuk memperdalam agama secara intens dan reguler di kalangan masyarakat masih kurang. Di kalangan anak-anak ataupun remaja, cenderung berkembang anggapan bahwa kalau sudah bisa membaca Alquran, mereka merasa belajar agama sudah selesai. Demikian juga di kalangan masyarakat, pengajian rutin mingguan, bulanan atau selapanan, seperti; yasinan, mudzakarah, atau istighasah dapat sebenarnya berjalan. Tetapi, program-program itu lebih bersifat simbolik sebagai agenda ritual yang bersifat pribadi atau massal. Beberapa kegiatan itu belum mampu menggerakkan kesadaran untuk meningkatkan pemahaman, pengamalan dan penghayatan keagamaan yang lebih baik.
Secara detail, beberapa problem penyuluhan yang perlu dicermati secara kritis antara lain sebagai berikut :
1.Penentuan program-program penyuluhan masih bersifat sentralistik. Sejak diterapkannya otonomi daerah, Kanwil Depag propinsi dan Kandepag Kabupaten/Kota memang diberi kesempatan untuk membuat perencanaan program yang akan dimasukkan di dalam Daftar Isian Kegiatan (DIK) dan Daftar Isian Proyek (DIP) dalam setiap tahun anggaran melalui rapat kerja daerah (Rakerda). Tetapi, kesempatan itu baru sebatas usulan. Pada akhirnya, ketentuan program mana yang akan dijalankan, yaitu di masukkan di dalam DIK/DIP tetap berada di pusat.
2.Kemampuan perencanaan program-program penyuluhan yang kreatif, inovatif dan proyektif di tingkat Kanwil dan Kandepag masih lemah.
3.Pengelolaan sumber daya penyuluh belum efektif.
4.Lemahnya pemahaman para penyuluh terhadap konsep dasar penyuluhan, pendekatan penyuluhan, teknik-teknik penyuluhan dan teori-teori penyuluhan.
5.Implementasi pelaksanaan penyuluhan cenderung bersifat formalistik dan strukturalistik.
6.Para penyuluh agama belum memahami secara komprehensif pedoman operasional penyuluhan, misalnya menyangkut petunjuk teknis jabatan fungsional, materi bimbingan dan penyuluhan, pedoman identifikasi potensi wilayah, pedoman identifikasi kebutuhan sasaran, pedoman penilaian angka kredit, dan pedoman-pedoman lainnya.
7.Metode pelaksanaan penyuluhan lebih cenderung bersifat konvensional, belum partisipatif dan transformatif.
8.Belum efektifnya pelaksanaan pelaporan dan evaluasi program yang dapat menjadi dasar pengembangan program secara berkelanjutan.
9.Kemampuan penyuluh dalam hal penguasaan teknologi pendukung masih lemah.
10.Frekuensi dan kesempatan pengembangan dan pelatihan yang sangat terbatas dan belum efektif.
11.Belum adanya peluang atau kesempatan pemfasisilitasian, khususnya pembiayaan (beasiswa) untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi.
12.Belum adanya biaya operasional pelaksanaan penyuluhan di lapangan.
13.Belum dimanfaatkannya perangkat teknologi informasi dan komunikasi yang memadai untuk mendukung proses penyuluhan.
14.Lemahnya data base seputar kelompok sasaran penyuluhan.

Tantangan ke depan bagi penyuluh
Beberapa problem di atas, adalah masalah besar yang kemungkinan kita sulit untuk darmana harus memulai langkah pembenahannya. Lepas dari itu, yang terpenting adalah bahwa beberapa persoalan di atas tidak harus menjadi hambatan dalam menjalankan penyuluhan, tetapi tantangan nyata yang perlu dicermati dan dikritisi secara kreatif dan antisipatif. Dalam upaya ini, maka langkah antisipatif dan strategis yang dapat dilakukan mulai dari sekarang (jangka pendek) adalah memaksimalkan pengelolaan sumber daya penyuluh secara reguler dan berkelanjutan. Menunggu adanya pembenahan kebijakan dari pusat adalah pekerjaan yang menghabiskan energi (tetapi mutlak diperlukan), sementara kemungkinan hasilnya terlalu sulit untuk diprediksikan.
Karena itu, tantangan langsung ke depan bagi penyuluh yang sebenarnya adalah diri penyuluh itu sendiri. Untuk itu, beberapa langkah praktis dalam upaya pemberdayaan penyuluh untuk keluar dari keterkungkungan problem internal kelembagaan penyuluh antara lain sebagai berikut :
1. Memaksimalkan potensi kreatif penyuluh secara mandiri
2. Menghilangkan budaya "menunggu dhawuh" dari atasan, tetapi kreatif menerobos peluang-peluang untuk mampu berkarya secara produktif.
3. Mengefektifkan pengorganisian penyuluh di ditingkat kabupaten dan wilayah sebagai media yang paling strategis untuk melakukan proses pemberdayaan penyuluh, misalnya melalui kajian pustaka, kajian metodologis atau teknologis penyuluhan dan sebagainya.
4. Membuka peluang kerja sama melalui kelompok kerja di tingkat Kandepag/Kanwil dengan lembaga-lembaga sosial keagamaan yang memiliki konsen dengan program penyuluhan khususnya atau pemberdayaan masyarakat pada umumnya.

Beberapa langkah di atas, barangkali masih bersifat normatif. Karena itu, setiap penyuluh perlu menterjemahkan secara kreatif sesuai dengan potensi dan peluang yang memungkinkan untuk diterobos baik secara mandiri maupun secara kolektif.
Namun demikian, upaya pembenahan beberapa problem di atas, tentu akan lebih efektif sekiranya para pejabat di tingkat Kanwil dan Kandepag juga memiliki political will untuk melakukan pembehanan dalam mekanisme kepemimpinannya. Minimal para pejabat kita mampu menciptakan kondisi yang kompetitif untuk tumbuhnya budaya kerja yang bertanggung jawab, mengedepankan prestasi, transparansi, dan menghargai kreatifitas dan inovasi dari para penyuluh yang dapat memperkaya kualitas layanan proses penyuluhan.
Akhirnya, semoga tulisan ini menjadi titik awal untuk melakukan kajian lebih intensif dalam upaya pembenahan penyuluhan secara reguler dan berkelanjutan. Semoga.
Yogyakarta, 18 Januari 2005
Referensi
Arifin (1976), Pokok-pokok pikiran tentang bimbingan dan penyuluhan agama. Jakarta: Bulan Bintang.

Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Bagian Proyek Peningkatan Tenaga Keagamaan Penyuluh Agama Tahun 2002 (2002), Petunjuk teknis jabatan fungsional Penyuluh Agama Islam, Jakarta, (Cet. Ke-3).

________ , Pedoman identifikasi wilayah Penyuluh Agama Islam, Jakarta

________, Pedoman identifikasi kebutuhan sasaran Penyuluh Agama Islam, Jakarta

________, Pedoman identifikasi pembentukan kelompok sasaran Penyuluh Agama Islam ahli, Jakarta

________, Pedoman penilaian Penyuluh Agama Islam, Jakarta

________, Pedoman penyusunan laporan Penyuluh Agama Islam (Panduan tugas Penyuluh Agama Islam), Jakarta

________, Pengembangan materi Penyuluh Agama Islam, Jakarta

________, Materi bimbingan dan penyuluhan bagi Penyuluh Agama Islam Ahli, Jakarta

Depertemen Agama RI Direktorat Jendaral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji (2000), Himpunan peraturan tentang jabatan fungsional penyuluh agama dan angka kreditnya, Jakarta.

Mahlani (2001), “Penataan institusi penyuluh agama”, Yogyakarta: Majalah BAKTI Kanwil Departemen Agama DIY No. 116-Th.XI-Februari.

Romli (2001), Penyuluhan agama menghadapi tantangan baru, Jakarta: Bina Rena Pariwara.

Sudijono (2002), “Visi, Misi, Kebijakan dan Program Kanwil Departemen Agama Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”, (Makalah).

Syuhada, Roosdi Ahmad (1988), Bimbingan dan konseling dalam masyarakat dan pendidikan luar sekolah, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.




Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

0 komentar:

Posting Komentar