Selasa, 29 Desember 2009

Kebangkitan Sains Dalam Dunia Islam

Puncak keemasan peradaban Islam abad ke-9 sampai abad ke-13, hingga kini sering menjadi apologi umat Islam atas ketertinggalannya dengan dunia Barat (Eropa). Selama periode abad tersebut, Islam memang pernah memimpin peradaban masyarakat dunia, di saat masyarakat Barat masih terpasung oleh konservatisme berpikir dan terpenjara oleh kekuasaan gereja. Saat itu, Islam memimpin dunia dengan membentuk struktur sosial masyarakat egaliter dan kosmopolit yang didukung dengan struktur bangunan ilmu yang antisipatif terhadap pelbagai persoalan keumatan serta proyektif dalam menyikapi masa depan.

Namun demikian, setelah Eropa bangkit dengan mengkampanyekan kebebasan, demokrasi dan pembangunan, justru umat Islam sedang perlahan-lahan namun pasti, yaitu mengalami kejumudan dari dalam. Sampai akhirnya, memasuki abad pertengahan, umat Islam sedang terbelenggu oleh jaman kegelapan, kegelapan yang ditimbulkan oleh arogansinya sendiri. Sampai akhirnya menjelang akhir abad ke-19, umat Islam baru menyadari bahwa selama ini telah terjebak dalam "kebanggaan semu" yang meminggirkan umat Islam, sehingga menjadi kelompok pinggiran dan akhirnya gumunan melihat perkembangan peradaban dunia yang dipimpin oleh orang-orang Eropa. Baru pada akhir-akhir inilah (di akhir abad ke-20) umat Islam menyadari bahwa peradaban Islam masih terpuruk dan dalam kondisi yang mengenaskan. Sungguh suatu penampilan sejarah yang sangat ironis bagi peradaban yang pernah jaya memimpin dunia.

Tragedi Peradaban
Keterpurukan umat Islam menghadapi perkembangan masyarakat dunia, dapat dipandang sebagai tragedi peradaban manusia yang sangat ironis. Karena itu, sudah sepatutnya jika kenyataan tersebut menjadi pelajaran yang berharga bagi umat Islam. Adalah menjadi tuntutan sejarah kemanusiaan bagi umat Islam untuk menyikapi kondisinya yang selalu menjadi bulan-bulanan ajang profokasi dan tempat pembuangan sampah-sampah teknologi peradaban Eropa. Menurut Dr. Pervez Hoodboy , bahwa keterpurukan peradaban Islam disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, menyangkut alasan-alasan sikap dan filosofis. Bahwa dunia Islam hingga kini masih terjerembab pada sikap hidup yang berorientasi fatalistik. Pikiran ummat Islam terperangkap pada "campur tangan" Tuhan sehingga mematikan rasa ingin tahu (curiositas), imajinasi dan ambisi untuk berkreasi. Akibat dari sikap tersebut adalah menimbulkan sikap anti Barat dan puas dengan kesalehan individual. Sikap fatalisme yang berlebihan ini, semakin mempersulit berkembangnya khasanah intelektual umat, apalagi untuk melahirkan revolusi sains.
Kedua, peran pendidikan Islam yang masih cenderung berorientasi tradisional. Berkahirnya zaman keemasan Islam, menyebabkan pendidikan Islam berhenti berubah dan wawasannya kian menyempit. Pengetahuan umum, seperti ilmu-ilmu alam makin terdominasi oleh wacana keagamaan tradisional. Hal ini melahirkan manusia-manusia yang "cacat intelektual" nya. Akibatnya, menurut Hoodboy, karena perpaduan antara sakit hati, kebanggaan semu, tantangan dan konservatisme, sebagian umat Islam menolak pendidikan modern Eropa. Sikap permusuhan terhadap Barat telah membutakan mata dunia Islam sehingga menimbulkan ortodoksi dan kejumudan yang berkepanjangan.
Ketiga, peran hukum Islam yang terbatas pada hal-hal sempit dan tidak mampu mengakomodasi perkembangan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan global.
Keempat, lemahnya basis ekonomi umat Islam. Sebagian besar umat Islam, termasuk yang berada di Indonesia ataupun negara-negara yang sebgaian besar penduduknya muslim, bisa dibilang termasuk masyarakat pinggiran yang secara ekonomis banyak tergantung pada Eropa dan negara-negara industri lainnya. Barangkali, hanya Iran sebagai negara muslim yang benar-benar mampu melepaskan ketergantungannya pada dominasi ekonomi negara-negara Eropa.
Kelima, lemahnya struktur sosial dan politik umat Islam. Disadari atau tidak bahwa secara sosial-politik, umat Islam masih terus dibayang-bayangi oleh hegemoni negara-negara industri, seperti; Amerika, Inggris, Jerman, Jepang dan sebagainya. Dalam berbagai pengambilan kebijakan mengenai pembangunan sosial, demokrasi, hak asasi manusia, lingkungan hidup dan sebagainya, sedikit-banyak masih mempertimbangkan suara-suara dari negara industri.
Proyek Besar Umat Islam
Kelima faktor di atas, berjalin kelindan dan saling mempengaruhi satu sama lain serta menyebabkan umat Islam menjadi komunitas pinggiran, ortodoks dan terbelakang. Lebih jauh dari itu, persoalan tersebut menyebabkan sains Islam sebagai komponen terpenting dalam membangun peradaban Islam menjadi porak-poranda. Atas dasar itulah, maka proyek terbesar bagi umat Islam sekarang ini adalah bagaimana membangun kembali puing-puing sains Islam yang telah terjepit oleh dominasi sains Eropa. Dalam mengaplikasikan mega proyek tersebut, terdapat beberapa langkah yang perlu dilakukan.
Pertama, umat Islam perlu berpikir jauh ke depan dengan mengembangkan semangat keterbukaan, kebebasan dan toleran. Kesombongan yang luar biasa atas nama kebenaran agama, hanyalah menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan. Yang diperlukan sekarang adalah membangun masyarakat yang berpikir dewasa, punya toleransi intelektual dan agama, serta bisa memberi kebebasan asasi bagi setiap manusia.
Kedua, umat Islam harus bisa membedakan modernitas dan westernisasi. Bahwa untuk menjadi modern tidaklah harus menjadi Barat. Sebab masyarakat modern adalah masyarakat yang mau membuka diri bagi pengalaman-pengalaman dan gagasan-gagasan baru, serta menerima perhitungan rasional ketimbang menerima taqdir. Modernitas adalah bagian intrinsik dari sifat rasional manusia. Karena itu, sangatlah tidak beralasan jika umat Islam menolak modernisasi hanya dengan dalih dari Barat. Yang perlu diperhatikan adalah tidak bolehnya berkembang sikap konsumtif kepada produk-produk Barat, apalagi dengan alasan modernisasi. Sebab, hal ini bisa berakibat pada merosotnya kualitas kebudayaan dan pemborosan sumber daya serta mematikan etika rasional.
Ketiga, bahwa Islam dan sains tidaklah bertentangan. Keduanya punya batasan yang jelas. Sains adalah akal yang diatur untuk memahami isi alam semesta. Dan Islam (sebagai agama) adalah pelepasan akal yang beralasan logis yang berkait dengan masalah yang di luar jangkauan sains. Kontradiksi hanya terjadi bila keduanya ditumpang tindihkan.
Keempat, sains dan teknologi bersifat universal. Hal itu bukanlah kehendak politik atau otoritas dunia Barat. Keecenderungan sains dan teknologi Barat mendominasi dunia Islam (negara-negara berkembang), disebabkan oleh struktur sosial-politik kapitalis yang eksploitatif. Karena itu, diperlukan perombakan struktur tersebut dan perlu dikembangkan struktur sosial-politik yang membuka iklim partisipasi. Sebab, partisipasi adalah ungkapan rasa hormat terhadap warisan kebudayaan. Partisipasi harus diproyeksikan dalam rangka pengkayaan kehidupan, pengangkatan martabat manusia dan usaha kemerdekaan yang sebenarnya.
Akhirnya, kita perlu optimis bahwa dengan empat strategi di atas, sains Islam mampu tumbuh dan mekar sejalan dengan perkembangan kesadaran umat islam khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya. Dengan tumbuh suburnya sains Islam, herapan besar terbangunnya peradaban Islam, tidak lagi sebatas utopia belaka. Tetapi, hal itu akan menjadi realitas obyektif dalam sejarah kemanusiaan. Dengan kehadiran peradaban Islam, maka diharapkan tatanan dunia yang adil benar-benar bisa dinikmati oleh masyarakat dunia, tanpa mengecualikan bangsa ataupun ras tertentu. Sebab Islam sebagai ruh, maka bangunan peradaban Islam adalah ajaran kemanusiaan yang berpihak kepada universalitas kemanusiaan yang menembus batas-batas etnisitas, bahasa dan kebangsaan. Wallhu a'lam…



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

0 komentar:

Posting Komentar