Senin, 11 Oktober 2010

Sikap Positif Menghadapi Kegagalan

Anda pernah mendengar seorang Penyuluh Agama Islam (PAI) mengalami kegagalan dalam menjalankan tugas kepenyuluhannya? Penyuluh Agama Honorer (PAH) gagal menjalankan kewajiban selama satu tahun masa tugasnya? Seorang Penyuluh Agama Fungsional gagal menjalankan tugas-tugas kedinasannya? Sejauh ini kelihatannya belum pernah ada temuan yang secara pasti menyatakan bahwa penyuluh ’A’ gagal menjalankan misinya sebagai pencerah umat. Hal ini barangkali terkait dengan indikator yang menjadi patokan keberhasilan atau kegagalan profesi penyuluh belum ada, atau kalaupun sudah ada, tetapi belum dijalankan secara efektif.
Pastinya bahwa pekerjaan atau profesi apapun dapat mengalami kegagalan. Ini artinya bahwa profesi penyuluh sama dengan profesi lain, seperti pendidik, wirausahawan, politisi, peneliti, relawan sosial, dan sebagainya sama-sama bisa mengalami kegagalan. Seorang penyuluh gagal mengelola pribadi, gagal membangun rumah tangga, gagal mengelola kelompok binaan, gagal merumuskan program kerja, gagal menjalin hubungan yang baik dengan kelompok binaan atau mitra kerjanya, gagal menyelesaikan tugas dari atasan, gagal membuat berkas-berkas sebagai syarat formal naik pangkat/golongan dan sebagainya adalah bagian dari resiko pekerjaan.

Karena itu, kita perlu memahami makna kegagalan yang sebenarnya. Tanpa faham filosofi itu, jangan berpikir kita dapat mengambil jalan menjadi profesi yang penuh resiko seperti menjadi penyuluh yang profesional. Jelas bahwa menjadi penyuluh adalah profesi yang beresiko tinggi; resiko kesehatan dan keselamatan fisiknya, resiko karirnya, resiko penghasilannya dan bahkan resiko masa depannya. Mengapa demikian? Ambil saja salah satu resiko yang paling tinggi yaitu keselamatan dan kesehatan fisiknya.
Tugas pokok penyuluh adalah melakukan pembelajaran kepada masyarakat yang tersebar di seantero wilayah kerjanya. Ini artinya, seorang penyuluh dituntut melakukan mobilitas yang tinggi dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Apalagi jika kelompok binaannya semakin banyak, maka frekuensi perpindahan tempat akan semakin banyak pula. Ini berarti juga bahwa seorang penyuluh akan menghadapi resiko yang semakin besar akan keselamatan dirinya dalam perjalanannya – khususnya resiko kecelakaan. Belum lagi jika kegiatannya dilakukan malam hari atau bahkan menjelang subuh seperti setiap bulan Ramadhan. Jelas bahwa udara malam, apalagi larut malam sampai menjelang subuh adalah waktu yang sangat beresiko terhadap kesehatan fisik – khususnya terhadap berbagai penyakit dalam. Ini hanya sekelumit gambaran, betapa pilihan menjadi penyuluh benar-benar profesi yang sarat resiko, termasuk tentunya resiko kegagalan melakukan pemberdayaan dan pencerahan terhadap masyarakat warga binaannya – alias gagal melakukan penyuluhan.
Untuk itu, penting bagi setiap PAI agar dapat memahami benar resiko yang akan dihadapinya.
Menghadapi resiko adalah gabungan kerja keras, kecerdikan, kehati-hatian, kecermatan membaca peluang dan kesiapan menghadapi kegagalan maupun keberhasilan. Akhir yang menyenangkan (happy ending) atau dalam bahasa agamanya husnul khatimah, tentu menjadi harapan setiap penyuluh. Hanya saja, ini bisa dicapai, tentu setelah melewati keberhasilan demi keberhasilan kecil, tahap demi tahap, seperti keberhasilan menyingkirkan berbagai kesulitan dan bahaya. Proses ini dibangun dari kesungguhan melahirkan segenap potensi diri seorang relawan seperti PAI. Dengan begitu, ia akan dapat mengubah “kekalahan menjadi kemenangan”, sebuah proses yang kecil peluang pencapaiannya tanpa kesiapan mental menghadapi kegagalan. Karena itu, sekiranya Anda termasuk orang yang tidak siap gagal, lebih baik jangan meniti jalan menjadi Penyuluh Agama Islam. Bahkan, mengimpikannya saja, jangan!
Setiap kegagalan adalah pelajaran yang mendorong seorang penyuluh untuk mencoba pendekatan baru yang belum pernah dicoba sebelumnya. Bagi penyuluh sejati, “berani gagal” berarti “berani belajar”. Dengan gagal dan dengan belajar, maka penyuluh akan dapat tumbuh menjadi orang yang lebih baik dan belajar bagaimana menciptakan kekayaan pengalaman sejati – dimana pengalaman sejati itu akan menjadi modal utama dalam melakukan penyuluhan. Bukankah ada orang bijak menyatakan: ”Jangan harap Anda bisa merubah orang lain, sekiranya merubah dirinya sendiri atau keluarganya sendiri saja belum mampu”, ”Jangan berharap warga binaan kita akan dengan tulus menerima pesan yang kita sampaikan, jika kita sendiri belum dapat menyampaikannya dengan ketulusan sejati”. Walaupun seorang penyuluh kehilangan kesempatan yang telah mereka peroleh, mereka tahu bagaimana menciptakannya kembali – tanpa harus menunggu. Pelajarannya tidak pernah hilang.
Sebaliknya, mereka yang tidak pernah mengalami perjalanan yang sulit dan mendapatkan ”kekayaan hati” dengan mudah, maka ia tidak akan tahu bagaimana menciptakan kekayaan itu ketika mereka kehilangan. Dengan kata lain, mereka yang tidak pernah gagal tidak akan tahu kekayaan sejati. Ini artinya bahwa bahwa setiap kegagalan dibaliknya tersembunyi pelajaran. Seorang bijak berkata,”sukses hanyalah pijakan terakhir dari tangga kegagalan.”

Menghadapi Kegagalan

Ada banyak pembahasan tentang tips menghadapi kesuksesan. Tetapi bagi kita, sama pentingnya, menyiapkan sejumlah hal ketika menghadapi kegagalan! Billy P.S. Lim, motivator kelas dunia yang berbasis di Malaysia, pernah menanyakan kepada peserta trainingnya tentang satu masalah menarik. ”Mengapa orang akan tenggelam apabila jatuh ke dalam air?”
Berbagai jawaban diberikan tetapi yang paling sering ialah ”Dia tidak dapat berenang.” Peserta traning heran, penasaran dan terbengong karena Lim menyalahkan jawaban itu. Yang hadir mengira, Lim bercanda. Untuk menyakinkan mereka, Lim memberi contoh kejadian orang tenggelam di air sedalam tiga inci. Akhirnya, ia memberitahu jawabannya, yang akan ia berikan kepada Anda sekarang. Kami kutip pendapat Lim: ”Orang tenggelam karena dia menetap disitu dan tidak menggerakkan dirinya ke tempat lain.” Ini artinya bahwa berapa kali orang jatuh tidak jadi soal. Yang penting kemampuannya untuk bangkit kembali setiap kali jatuh.
Jangan ukur seseorang dengan menghitung berapa kali dia jatuh atau gagal. Tetapi, ukurlah ia dengan beberapa kali dia berani dan sanggup bangkit kembali. Seseorang yang mampu bangkit kembali setelah gagal, maka ia tidak akan putus asa. Sungguh menyedihkan ketika kita mendengar bahwa banyak orang yang mengalami gagal sekali, dua kali, atau berkali-kali, kemudian ia memilih tetap diam dan menetap di situ, akhirnya ia mati sebagai orang yang sebenar-benarnya gagal, tersungkur, dan tidak bangkit lagi.
Persoalannya adalah apakah kapasitas dan kualitas diri kita dapat membantu bangkit kembali setelah terjatuh? Kapasitas dan kualitas diri adalah modal utama bagi seseorang untuk dapat bangkit lagi setelah mengalami kegagalan.
”Tidak ada apapun di dunia ini yang bisa menggantikannya. Bakatpun tidak; Banyak sekali orang berbakat yang tidak sukses. Kejeniusanpun tidak; Jenius yang tidak sukses sudah hampir menjadi olok-olokan. Pendidikanpun tidak; dunia ini penuh dengan orang terpelajar. Hanya kemauan dan ketabahan saja yang paling ampuh.”

Ya, ketabahan, yaitu kemampuan bangkit kembali untuk kesekian kalinya setelah terjatuh. Dalam benturan antara sungai dan batu, air sungai senantiasa menang bukan dengan kekuatan tapi dengan ketabahan. Seberapa jauh kita jatuh tidak menjadi masalah, tetapi yang penting seberapa sering kita bangkit kembali.
Apabila kita dapat terus mencoba setelah tiga kegagalan, kita dapat mempertimbangkan diri untuk menjadi pemimpin dalam pekerjaan sekarang. Jika kita terus mencoba setelah mengalami belasan kegagalan, ini berarti benih kejeniusan sedang tumbuh dalam diri kita. Seperti Thomas Alfa Edison, saat ditanya, bagaimana ia bisa bertahan setelah ribuan kali gagal? Penemu bola lampu dan pendiri perusahaan kelas dunia, General Electric ini menjawab,
”Saya tidak gagal, tetapi menemukan 9994 cara yang salah dan hanya satu cara yang berhasil. Saya pasti akan sukses karena telah kehabisan percobaan yang gagal.”

Menarik Hikmah - Jangan Menyerah

Mengantisipasi bencana sejak dini adalah karakteristik seorang relawan seperti Penyuluh Agama Islam. Jangan biarkan kebanggaan dan sentimen mempengaruhi keputusan-keputusan kita. Ini artinya bahwa jangan biarkan kegagalan sebagai sesuatu yang final. Profesi penyuluh sejati, memandang kegagalan sebagai awal, batu loncatan untuk memperbaharui kinerja perjuangan dan pengabdian suci di masa mendatang. ”Pencerah umat” tidak menghabiskan waktunya hanya untuk memikirkan kegagalan.
Untuk memicu kesiapan mental kita menghadapi kegagalan, maka kerjakan apapun yang dapat dilakukan. Semakin terbatas sumber dana atau fasilitas, kita patut semakin bijaksana. Fahami, kapan harus meminimalisasi pemborosan. Semakin terbatas sumber pengetahuan dan pengalaman, semakin tertantang untuk terus belajar-berlatih, belajar-berlatih dan terus belajar-berlatih. Sembari demikian, maka ketika kita terjatuh, maka cepat bangkit, jangan menunggu orang datang memberi pertolongan.
Jadi, kegagalan hanyalah sebuah tikungan tajam yang menuntut ”kendaraan” usaha, sedikit mengurangi kecepatan, lalu di depan, begitu melihat ”jalan mulus peluang”, kita bisa menebusnya dengan kecepatan yang lebih tinggi.
Lantas, bagaimana jika semuanya gagal? Saat gagal menimpa, kendati lelah, kecewa berat, pahit-getir, tetapi jangan matikan energi kreatif yang tersimpan di dalam diri kita. Tetaplah berpikir kreatif. Sempurnakan produk pikiran yang ada, atau hasilkan produk pikiran baru atau usaha baru yang mungkin belum terpikirkan.
Jangan terpaku pada karier dan keterampilan yang dimiliki, yang terlalu lama bersandar pada lingkungan di mana kita dibesarkan atau selama ini bergulat. Kadang kala apabila seseorang gagal setelah berusaha dengan tabah dan mengerahkan sepenuh tenaga untuk sekian lama, mungkin tiba saatnya ia mengkaji kembali bidang yang digeluti dan menilai apakah ia mampu untuk mendapatkan apa yang dinginkannya di bidang tersebut. Banyak cara untuk mencapai tujuan hidup. Sebagian lebih cepat atau lebih lambat daripada yang lain.
Kadang kala dalam kehidupan kita terpaksa menekuni bidang usaha yang berlainan dengan disiplin ilmu yang kita pelajari dan kita mesti menyesuaikan segala keterampilan dan bakat yang tidak kita peroleh dari bidang-bidang usaha di masa lalu. Lalu? Salurkan kekuatan itu di bidang usaha yang baru. Mungkin, kita dipaksa mempelajari keterampilan baru, sebagai konsekuensi menghadapi tantangan serba-baru itu.
Jika kita menyadari bahwa kita tidak berhasil mencapai tujuan pada suatu pekerjaan di mana kita telah dilatih untuk melakukannya, latihlah atau lengkapi diri kita dengan pekerjaan yang memberi peluang meraih yang lebih baik di masa depan. Jangan gantungkan diri kita pada satu keterampilan saja. Sebagai manusia, bukankah Allah SWT telah memberi kita kemampuan untuk mempelajari keterampilan baru? Jangan ”hidup-mati” kita digantungkan pada satu bidang saja.
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan" (QS. Al Israa': 70)

Orang lain bisa sukses. Kita tentu juga bisa, hanya saja, ada yang lekas tercapai, ada yang masih berliku. Semoga profesi kita termasuk profesi yang tidak harus mengalami jalan berliku untuk mengantarkan diri kita dan masyarakat kita menikmati kehidupan yang tercerahkan. Bukanlah perkerjaan yang paling mulia dari seorang penyuluh bukan pada tunjangan fungsionalnya yang memang belum seberapa dibandingkan tunjangan profesi lain, tetapi pada misinya menjadikan orang lain dapat hidup tercerahkan? Wallahu a’lam.



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

0 komentar:

Posting Komentar