Senin, 11 Oktober 2010

Mengenal Kecakapan Emosi

Kita sering menjumpai seseorang yang sekolah atau kuliah lulus dengan nilai sangat memuaskan, tetapi tidak dapat banyak berbuat bagi masyarakat. Sederhananya, seseorang memiliki prestasi akademik yang tinggi, tetapi tidak dapat bersosialisasi dengan masyarakat lingkungannya. Bahkan cenderung egois – alias tidak memiliki kepedulian terhadap masyarakat. Ada juga seseorang yang prestasi akademik sekolah atau kuliahnya sangat baik tetapi ketika dihadapkan pada pekerjaan harus kebingungan, mau bekerja apa atau bekerja dimana. Kemudian, ketika orang tersebut mengajukan surat lamaran pekerjaan ke berbagai perusahaan, kantor atau instansi, tetapi belum juga dapat diterima.
Sementara itu, dalam kasus lainnya, ada orang yang memiliki prestasi akademik sangat baik, tetapi kurang sukses dalam bekerja. Sebaliknya, ada orang yang prestasi akademiknya biasa saja (rata-rata) tetapi justru dapat meraih kesuksesan yang baik. Mengapa demikian?
Keberhasilan pekerjaan atau kesuksesan dalam bekerja memang tidak sepenuhnya ditentukan oleh prestasi akademik yang kekuatan utamanya adalah kecakapan intelektual (intellectual question/IQ). Akan tetapi, ada kecerdasan lain yang ikut berperan dalam menentukan keberhasilan atau kesuksesan seseorang.

Beberapa tahun terakhir ini, telah berkembang beberapa pemikiran yang menyatakan bahwa keberhasilan seseorang tidak hanya hanya ditentukan oleh tingkat IQ, tetapi ada kecerdasan lain yang ikut menentukan, di antaranya kecakapan emosi (emotional question), kecakapan spiritual (spiritual question), dan lain-lain. Dalam kesempatan ini, kita akan mengeksplorasi khusus soal kecakapan emosi.


Pengertian Kecakapan Emosi
Kecakapan emosi adalah kekuatan personal yang meliputi aspek internal dan eksternal yang menjadi locus of controll aktivitas seseorang. Ini berarti bahwa kecakapan emosi sangat menentukan sikap, sifat dan kemampuan pribadi seseorang.
Kecakapan emosi terdiri dari dua aspek :
1. Kecakapan pribadi (internal), terdiri dari :
a. Kesadaran Diri (Self Awareness)
b. Pengaturan Diri (Self Regulation)
c. Motivasi (motivation)

2. Kecakapan sosial (eksternal) (Social Comptetence), terdiri dari :
a. Empati (Emphaty)
b. Keterampilan Sosial (Social Skills)

Kerangka kerja kecakapan emosi

1. Kecakapan Pribadi (Personal Competence)
Kecakapan ini menentukan dan menetapkan bagaimana kita mengelola diri sendiri, yaitu meliputi kesadaran diri (self awareness), pengaturan diri (self regulation) dan motivasi (motivation).
a. Kesadaran Diri (Self Awareness)
Mengetahui kondisi diri sendiri, kesukaan dan kegemaran , sumber-sumber daya dan intuisi pribadi.
 Kesadaran Emosi (Emotional Awareness): yakni mengenali emosi pribadi dan efeknya bagi diri sendiri.
 Penilaian diri secara akurat (Accurate self assessment ) : mengetahui keunggulan atau kekuatan-kekuatan, kelemahan dan limit diri sendiri
 Percaya diri (Self confidence): yakni keyakinan tentang harga diri dan kemampuan pribadi.


b. Pengaturan Diri (Self Regulation)
Mengelola kondisi kemauan, kebutuhan, impuls (desakan), drive (dorongan) dan sumberdaya diri sendiri.
 Kendali Diri (Self Control): mengelola emosi-emosi dan desakan ( impuls) hati-hati yang merusak.
 Sifat dapat dipercaya (Trustworthiness): memelihara dan internalisasi norma kejujuran dan integritas pribadi.
 Kehati-hatian (Conscientiousness) : bertanggungjawab atas kinerja pribadi.
 Inovasi (Innovation ) : mudah menerima dan terbuka terhadap gagasan, pendekatan dan informasi-informasi baru

c. Motivasi (Motivation)
Motivasi berkaitan dengan kecenderungan emosi yang mengantar atau memudahkan pencapaian sasaran atau tujuan hidup
 Dorongan berprestasi (Achievement drive): dorongan untuk menjadi lebih baik atau memenuhi standar keberhasilan.
 Komitmen (Commitment): menyesuaikan diri dengan sasaran kelompok atau lembaga.
 Inisiatif (Inisiative) : kesiapan untuk memanfaatkan peluang.
 Optimisme (Optimism): kegigihan dalam memperjuangkan sasaran walaupun ada kendala-kendala dan bahkan kegagalan.

2. Kecakapan Sosial (Social Competence)
Kecakapan ini menentukan bagaimana kita menangani hubungan sosial atau bagaimana kita menyikapi interaksi sosial antara kita.
a. Empati (Empathy)
Kesadaran terhadap perasaan , kebutuhan , dan kepentingan orang lain .
 Memahami orang lain (Understanding Others): Mengindra perasaan dan persfektif orang lain dan menunjukkan minat akatif terhadap kepnetingan orang lain,
 Mengembangkan orang lain (Developing Others): Merasakan kebutuhan pengembangnan orang lain dan berusaha menumbuhkan kemampuan orang lain.
 Orientasi Pelayanan (Service Orientation): Mengantisipasi, mengenali, dan beupaya memenuhi kebutuhan para pelanggan.
 Memanfaatkan Keragaman (Leveraging Diversity) : menumbuhakna peluang dengan melalui pergaulan.
 Kesadaran Politis (Political Awareness): mampu membaca arus-arus emosi sebuah kelompok dan hubungannya dengan kekuasaan.

b. Keterampilan Sosial (Social Skills)
Cerdas dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain.
 Pengaruh (influence) : Memiliki taktik-taktik untuk melakukan persuasi.
 Komunikasi (communicatuion): mengirim pesan yang jelas dan meyakinkan.
 Manajemen Konflik (conflict management) : Penanganan masalah-masalah yang berkembang di dalam masyarakat.
 Kepemimpinan (leadership): Memandu orang lain dengan membangkitkan inspirasi
 Katalisator perubahan (Change Catalyst): Memulai dan mengelola perubahan.
 Membangun hubungan (building bonds) : menumbuhkan hubungan yang bermanfaat.
 Kolaborasi dan Kooperasi (Collaboration and cooperation ) : kerjasama dengan orang lain demi tujuan bersama.
 Kemampuan tim (Team capabilities): menciptakan sinergi kelompok dalam memperjuangkan tujuan bersama.

Konsep Diri Negatif dan Positif

Seseorang dikatakan memiliki konsep diri negatif, bila:
1. Tidak memiliki pengetahuan yang menyeluruh tentang diri sendiri, sehingga ia tak memiliki kemampuan untuk mengetahui apa kekuatan dan kelemahan dirinya.
2. Memiliki pandangan yang kaku terhadap dirinya bahkan over estimate. Ia menolak gagasan dan informasi baru, sehingga ia sulit untuk mengubah konsep dirinya.
3. Lebih banyak melihat aspek kelemahan dari[pada aspek kekuatan dirinya.

Sehingga:
Orang yang mempunyai konsep diri negatif adalah orang yang tidak memiliki atau kurang memiliki pengetahuan tentang dirinya, harapan-harapannya terlalu tinggi atau rendah terutama penghargaan terhadap dirinya sendiri.

Seseorang yang mempunyai konsep diri positif, bila :
1. Memiliki pengetahuan yang menyeluruh mengenai dirinya, baik kelemahan maupun kelebihannya.
2. Dapat menerima diri apa adanya. Kelebihan tidak akan membuat dirinya sombong, sebaliknya kelemahan tidak akan membuat dirinya menjadi rendah diri atau bahkan kecewa.
3. Dapat mengubah dengan segala daya upaya guna mengurangi aspek-aspek yang dapat merugikan sebagaimana umpan balik yang ia terima.

Sehingga seseorang dikatakan memiliki konsep diri yang positif bila ia memilki pengetahuan yang luas dan dapat melakukan diversifikasi diri, harapan yang realistis dan penghargaan diri yang sehat.

Kesadaran diri Star Performer
Menurut Daniel Goleman, setiap orang yang mempunyai kesadaran diri Star Performer memiliki tiga ciri, yakni :
1. Kesadaran emosi, yakni tahu bagaimana pengaruh emosi terhadap kinerja kita, dan kemampuan menggunakan nilai-nilai kita untuk memandu pembuatan keputusan. Orang dengan kecakapan ini memiliki beberapa cirri-ciri:
 Tahu apa dan mengapa emosi yang sedang dirasakan.
 Sadar akan keterkaitan antara perasaan mereka dengan apa yang mereka pikirkan, perbuatan mereka dan apa yang mereka katakan.
 Tahu bahwa perasaan mereka akan sangat mempengaruhi kinerja mereka.
 Punya kesadaran yang jadi pedoman untuk nilai-nilai dan sasaran-sasaran mereka.

2. Penilaian diri secara akurat, yaitu perasaan yang tulus tentang kekuatan dan batas-batas pribadi kita., visi yang jelas tentang apa dan mana yang perlu diperbaiki dan kemampuan untuk belajar dari pengalaman. Orang dengan kecakapan ini memiliki beberapa ciri:
 Sadar akan kekuatan dan kelemahan
 Mampu merenung dan belajar dari pengalaman.
 Terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima gagasan baru, mau belajar dan mengembangkan diri sendiri.
 Punya rasa humor dan bersedia memandang diri dari berbagai sudut persfektif yang luas.

3. Percaya diri, yaitu keberanian karena adanya kepastian akan kempuan, nilai-nilai dan tujuan kita. Orang dengan kecakapan ini:
 Berani tampil dengan keyakinan diri, berani menyatakan eksistensi dirinya.
 Berani menyuarakan pandangan yang tidak populer dan bersedia berkorban demi kebenaran
 Tegas , yakni mampu membuat keputusan yang baik kendati dalam kondisi beresiko, tidak pasti dan tanpa data yang cukup.

Yogyakarta, 11 Oktober 2010

M. Mahlani
Islamic Counselor Kementerian Agama
Kota Yogyakarta
Sekretaris Eksekutif dan Trainer di Bimasena Training Center Yogyakarta
Sekretaris Yayasan Kemaslahatan Umat (YKU) Yogyakarta
Email: mmahalani@yahoo.com
Rumah:
Perumahan Pemda DIY No. P-23, Banjardadap Potorono Banguntapan Bantul 0274-7884217/081328075005

Sumber Bacaan :
Ary Ginanjar Agustian (2001), Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual Berdasarkan Rukun Iman dan Rukun Islam, Jakarta: Arga
Anthoni Dio Martin (2003), Emotional Quality Management, Jakarta: Arga
Daniel Goleman (1996), Kecerdasan Emosional: Mengapa EI lebih penting daripada IQ, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Sikap Positif Menghadapi Kegagalan

Anda pernah mendengar seorang Penyuluh Agama Islam (PAI) mengalami kegagalan dalam menjalankan tugas kepenyuluhannya? Penyuluh Agama Honorer (PAH) gagal menjalankan kewajiban selama satu tahun masa tugasnya? Seorang Penyuluh Agama Fungsional gagal menjalankan tugas-tugas kedinasannya? Sejauh ini kelihatannya belum pernah ada temuan yang secara pasti menyatakan bahwa penyuluh ’A’ gagal menjalankan misinya sebagai pencerah umat. Hal ini barangkali terkait dengan indikator yang menjadi patokan keberhasilan atau kegagalan profesi penyuluh belum ada, atau kalaupun sudah ada, tetapi belum dijalankan secara efektif.
Pastinya bahwa pekerjaan atau profesi apapun dapat mengalami kegagalan. Ini artinya bahwa profesi penyuluh sama dengan profesi lain, seperti pendidik, wirausahawan, politisi, peneliti, relawan sosial, dan sebagainya sama-sama bisa mengalami kegagalan. Seorang penyuluh gagal mengelola pribadi, gagal membangun rumah tangga, gagal mengelola kelompok binaan, gagal merumuskan program kerja, gagal menjalin hubungan yang baik dengan kelompok binaan atau mitra kerjanya, gagal menyelesaikan tugas dari atasan, gagal membuat berkas-berkas sebagai syarat formal naik pangkat/golongan dan sebagainya adalah bagian dari resiko pekerjaan.

Karena itu, kita perlu memahami makna kegagalan yang sebenarnya. Tanpa faham filosofi itu, jangan berpikir kita dapat mengambil jalan menjadi profesi yang penuh resiko seperti menjadi penyuluh yang profesional. Jelas bahwa menjadi penyuluh adalah profesi yang beresiko tinggi; resiko kesehatan dan keselamatan fisiknya, resiko karirnya, resiko penghasilannya dan bahkan resiko masa depannya. Mengapa demikian? Ambil saja salah satu resiko yang paling tinggi yaitu keselamatan dan kesehatan fisiknya.
Tugas pokok penyuluh adalah melakukan pembelajaran kepada masyarakat yang tersebar di seantero wilayah kerjanya. Ini artinya, seorang penyuluh dituntut melakukan mobilitas yang tinggi dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Apalagi jika kelompok binaannya semakin banyak, maka frekuensi perpindahan tempat akan semakin banyak pula. Ini berarti juga bahwa seorang penyuluh akan menghadapi resiko yang semakin besar akan keselamatan dirinya dalam perjalanannya – khususnya resiko kecelakaan. Belum lagi jika kegiatannya dilakukan malam hari atau bahkan menjelang subuh seperti setiap bulan Ramadhan. Jelas bahwa udara malam, apalagi larut malam sampai menjelang subuh adalah waktu yang sangat beresiko terhadap kesehatan fisik – khususnya terhadap berbagai penyakit dalam. Ini hanya sekelumit gambaran, betapa pilihan menjadi penyuluh benar-benar profesi yang sarat resiko, termasuk tentunya resiko kegagalan melakukan pemberdayaan dan pencerahan terhadap masyarakat warga binaannya – alias gagal melakukan penyuluhan.
Untuk itu, penting bagi setiap PAI agar dapat memahami benar resiko yang akan dihadapinya.
Menghadapi resiko adalah gabungan kerja keras, kecerdikan, kehati-hatian, kecermatan membaca peluang dan kesiapan menghadapi kegagalan maupun keberhasilan. Akhir yang menyenangkan (happy ending) atau dalam bahasa agamanya husnul khatimah, tentu menjadi harapan setiap penyuluh. Hanya saja, ini bisa dicapai, tentu setelah melewati keberhasilan demi keberhasilan kecil, tahap demi tahap, seperti keberhasilan menyingkirkan berbagai kesulitan dan bahaya. Proses ini dibangun dari kesungguhan melahirkan segenap potensi diri seorang relawan seperti PAI. Dengan begitu, ia akan dapat mengubah “kekalahan menjadi kemenangan”, sebuah proses yang kecil peluang pencapaiannya tanpa kesiapan mental menghadapi kegagalan. Karena itu, sekiranya Anda termasuk orang yang tidak siap gagal, lebih baik jangan meniti jalan menjadi Penyuluh Agama Islam. Bahkan, mengimpikannya saja, jangan!
Setiap kegagalan adalah pelajaran yang mendorong seorang penyuluh untuk mencoba pendekatan baru yang belum pernah dicoba sebelumnya. Bagi penyuluh sejati, “berani gagal” berarti “berani belajar”. Dengan gagal dan dengan belajar, maka penyuluh akan dapat tumbuh menjadi orang yang lebih baik dan belajar bagaimana menciptakan kekayaan pengalaman sejati – dimana pengalaman sejati itu akan menjadi modal utama dalam melakukan penyuluhan. Bukankah ada orang bijak menyatakan: ”Jangan harap Anda bisa merubah orang lain, sekiranya merubah dirinya sendiri atau keluarganya sendiri saja belum mampu”, ”Jangan berharap warga binaan kita akan dengan tulus menerima pesan yang kita sampaikan, jika kita sendiri belum dapat menyampaikannya dengan ketulusan sejati”. Walaupun seorang penyuluh kehilangan kesempatan yang telah mereka peroleh, mereka tahu bagaimana menciptakannya kembali – tanpa harus menunggu. Pelajarannya tidak pernah hilang.
Sebaliknya, mereka yang tidak pernah mengalami perjalanan yang sulit dan mendapatkan ”kekayaan hati” dengan mudah, maka ia tidak akan tahu bagaimana menciptakan kekayaan itu ketika mereka kehilangan. Dengan kata lain, mereka yang tidak pernah gagal tidak akan tahu kekayaan sejati. Ini artinya bahwa bahwa setiap kegagalan dibaliknya tersembunyi pelajaran. Seorang bijak berkata,”sukses hanyalah pijakan terakhir dari tangga kegagalan.”

Menghadapi Kegagalan

Ada banyak pembahasan tentang tips menghadapi kesuksesan. Tetapi bagi kita, sama pentingnya, menyiapkan sejumlah hal ketika menghadapi kegagalan! Billy P.S. Lim, motivator kelas dunia yang berbasis di Malaysia, pernah menanyakan kepada peserta trainingnya tentang satu masalah menarik. ”Mengapa orang akan tenggelam apabila jatuh ke dalam air?”
Berbagai jawaban diberikan tetapi yang paling sering ialah ”Dia tidak dapat berenang.” Peserta traning heran, penasaran dan terbengong karena Lim menyalahkan jawaban itu. Yang hadir mengira, Lim bercanda. Untuk menyakinkan mereka, Lim memberi contoh kejadian orang tenggelam di air sedalam tiga inci. Akhirnya, ia memberitahu jawabannya, yang akan ia berikan kepada Anda sekarang. Kami kutip pendapat Lim: ”Orang tenggelam karena dia menetap disitu dan tidak menggerakkan dirinya ke tempat lain.” Ini artinya bahwa berapa kali orang jatuh tidak jadi soal. Yang penting kemampuannya untuk bangkit kembali setiap kali jatuh.
Jangan ukur seseorang dengan menghitung berapa kali dia jatuh atau gagal. Tetapi, ukurlah ia dengan beberapa kali dia berani dan sanggup bangkit kembali. Seseorang yang mampu bangkit kembali setelah gagal, maka ia tidak akan putus asa. Sungguh menyedihkan ketika kita mendengar bahwa banyak orang yang mengalami gagal sekali, dua kali, atau berkali-kali, kemudian ia memilih tetap diam dan menetap di situ, akhirnya ia mati sebagai orang yang sebenar-benarnya gagal, tersungkur, dan tidak bangkit lagi.
Persoalannya adalah apakah kapasitas dan kualitas diri kita dapat membantu bangkit kembali setelah terjatuh? Kapasitas dan kualitas diri adalah modal utama bagi seseorang untuk dapat bangkit lagi setelah mengalami kegagalan.
”Tidak ada apapun di dunia ini yang bisa menggantikannya. Bakatpun tidak; Banyak sekali orang berbakat yang tidak sukses. Kejeniusanpun tidak; Jenius yang tidak sukses sudah hampir menjadi olok-olokan. Pendidikanpun tidak; dunia ini penuh dengan orang terpelajar. Hanya kemauan dan ketabahan saja yang paling ampuh.”

Ya, ketabahan, yaitu kemampuan bangkit kembali untuk kesekian kalinya setelah terjatuh. Dalam benturan antara sungai dan batu, air sungai senantiasa menang bukan dengan kekuatan tapi dengan ketabahan. Seberapa jauh kita jatuh tidak menjadi masalah, tetapi yang penting seberapa sering kita bangkit kembali.
Apabila kita dapat terus mencoba setelah tiga kegagalan, kita dapat mempertimbangkan diri untuk menjadi pemimpin dalam pekerjaan sekarang. Jika kita terus mencoba setelah mengalami belasan kegagalan, ini berarti benih kejeniusan sedang tumbuh dalam diri kita. Seperti Thomas Alfa Edison, saat ditanya, bagaimana ia bisa bertahan setelah ribuan kali gagal? Penemu bola lampu dan pendiri perusahaan kelas dunia, General Electric ini menjawab,
”Saya tidak gagal, tetapi menemukan 9994 cara yang salah dan hanya satu cara yang berhasil. Saya pasti akan sukses karena telah kehabisan percobaan yang gagal.”

Menarik Hikmah - Jangan Menyerah

Mengantisipasi bencana sejak dini adalah karakteristik seorang relawan seperti Penyuluh Agama Islam. Jangan biarkan kebanggaan dan sentimen mempengaruhi keputusan-keputusan kita. Ini artinya bahwa jangan biarkan kegagalan sebagai sesuatu yang final. Profesi penyuluh sejati, memandang kegagalan sebagai awal, batu loncatan untuk memperbaharui kinerja perjuangan dan pengabdian suci di masa mendatang. ”Pencerah umat” tidak menghabiskan waktunya hanya untuk memikirkan kegagalan.
Untuk memicu kesiapan mental kita menghadapi kegagalan, maka kerjakan apapun yang dapat dilakukan. Semakin terbatas sumber dana atau fasilitas, kita patut semakin bijaksana. Fahami, kapan harus meminimalisasi pemborosan. Semakin terbatas sumber pengetahuan dan pengalaman, semakin tertantang untuk terus belajar-berlatih, belajar-berlatih dan terus belajar-berlatih. Sembari demikian, maka ketika kita terjatuh, maka cepat bangkit, jangan menunggu orang datang memberi pertolongan.
Jadi, kegagalan hanyalah sebuah tikungan tajam yang menuntut ”kendaraan” usaha, sedikit mengurangi kecepatan, lalu di depan, begitu melihat ”jalan mulus peluang”, kita bisa menebusnya dengan kecepatan yang lebih tinggi.
Lantas, bagaimana jika semuanya gagal? Saat gagal menimpa, kendati lelah, kecewa berat, pahit-getir, tetapi jangan matikan energi kreatif yang tersimpan di dalam diri kita. Tetaplah berpikir kreatif. Sempurnakan produk pikiran yang ada, atau hasilkan produk pikiran baru atau usaha baru yang mungkin belum terpikirkan.
Jangan terpaku pada karier dan keterampilan yang dimiliki, yang terlalu lama bersandar pada lingkungan di mana kita dibesarkan atau selama ini bergulat. Kadang kala apabila seseorang gagal setelah berusaha dengan tabah dan mengerahkan sepenuh tenaga untuk sekian lama, mungkin tiba saatnya ia mengkaji kembali bidang yang digeluti dan menilai apakah ia mampu untuk mendapatkan apa yang dinginkannya di bidang tersebut. Banyak cara untuk mencapai tujuan hidup. Sebagian lebih cepat atau lebih lambat daripada yang lain.
Kadang kala dalam kehidupan kita terpaksa menekuni bidang usaha yang berlainan dengan disiplin ilmu yang kita pelajari dan kita mesti menyesuaikan segala keterampilan dan bakat yang tidak kita peroleh dari bidang-bidang usaha di masa lalu. Lalu? Salurkan kekuatan itu di bidang usaha yang baru. Mungkin, kita dipaksa mempelajari keterampilan baru, sebagai konsekuensi menghadapi tantangan serba-baru itu.
Jika kita menyadari bahwa kita tidak berhasil mencapai tujuan pada suatu pekerjaan di mana kita telah dilatih untuk melakukannya, latihlah atau lengkapi diri kita dengan pekerjaan yang memberi peluang meraih yang lebih baik di masa depan. Jangan gantungkan diri kita pada satu keterampilan saja. Sebagai manusia, bukankah Allah SWT telah memberi kita kemampuan untuk mempelajari keterampilan baru? Jangan ”hidup-mati” kita digantungkan pada satu bidang saja.
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan" (QS. Al Israa': 70)

Orang lain bisa sukses. Kita tentu juga bisa, hanya saja, ada yang lekas tercapai, ada yang masih berliku. Semoga profesi kita termasuk profesi yang tidak harus mengalami jalan berliku untuk mengantarkan diri kita dan masyarakat kita menikmati kehidupan yang tercerahkan. Bukanlah perkerjaan yang paling mulia dari seorang penyuluh bukan pada tunjangan fungsionalnya yang memang belum seberapa dibandingkan tunjangan profesi lain, tetapi pada misinya menjadikan orang lain dapat hidup tercerahkan? Wallahu a’lam.

Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO