Jumat, 29 Januari 2010

Mendobrak Konservatisme Pembelajaran Agama Islam

Masyarakat Islam di bangun atas dasar prinsip-prinsip keimanan dan akhlakul karimah. Karena itu, perwujudan nilai-nilai Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari sangat ditekankan dalam pandangan hidup islami. Hal ini menjadi kerangka berpikir yang jelas bahwa menjadi seorang muslim yang kaffah mensyaratkan suatu bukti, yaitu bahwa keimanannya harus diwujudkan dalam kehidupan nyata, baik secara personal (kesalehan individual) maupun dalam interaksinya dengan kehidupan masyarakat luas (kesalehan sosial).

Namun demikian, sejauh ini protret seorang muslim kaffah, yang pada pribadinya tumbuh dan berkembang sikap-mental yang kuat dan konsisten serta memiliki sifat-sifat mulia, seperti; mandiri, bertanggung jawab, adil, kreatif, peduli terhadap sesama, cinta lingkungan dan memiliki dedikasi yang tinggi terhadap perjuangan kemanusiaan (jihad fi sabilillah) dan sebagainya, ternyata masih jauh dari kenyataan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita masih sering menyaksikan adanya seseorang yang mengaku muslim, tetapi belum mau dan mampu menjalankan rukun Islam. Hal ini dapat terjadi karena beberapa sebab. Pertama, masih rendahnya pemahaman terhadap ajaran Islam. Kedua, lemahnya semangat atau belum tumbuhnya kesadaran untuk menjalankan rukun Islam secara maksimal. Kesadaran rasionalnya, masih terbelenggu oleh emosionalitas personal yang cenderung malas, cepat bosan, kurang disiplin, tidak memliki visi hidup yang lebih baik dan sebagaiya. Ketiga, pengaruh budaya global yang cenderung mengedepankan gaya hidup materialis, hedonis, instant, dan sebagainya. Ketiga faktor ini, secara simultan menjadikan kepribadian umat compang camping.
Demikian juga dalam kehidupan sosial, kita masih dihadapkan pada berbagai persoalan umat, seperti; kemiskinan dan keterbelakangan yang masih menjerat sebagian besar umat Islam, hubungan antar aliran keagamaan yang kurang sehat, klaim kebenaran (truth claim) dari salah satu aliran keagamaan tertentu, lemahnya tatanan ekonomi dan sosio-budaya umat, serta terfragmentasinya kekuatan politik umat Islam. Inilah sederetan persoalan umat Islam yang muncul di permukaan yang jika ditelusuri, maka muaranya adalah rendahnya kualitas pendidikan Islam di Indonesia.


Kemudian, dalam hubungannya dengan pendidikan Islam ini, maka aspek yang paling menentukan adalah menyangkut pembelajaran agama Islam. Tulisan ini akan memfokuskan pada upaya mendobrak konservativisme pembelajaran agama Islam yang berkembang di masyarakat pada umumnya dan di lembaga-lembaga pendidikan Islam (madrasah) khususnya.

Visi Pembelajaran
Proses pembelajaran adalah proses pengembangan potensi seseorang untuk lebih manusiawi (being humanize). Karena itu, visi atau tujuan utama pembelajaran adalah proses menjadi dewasa dan mandiri. Demikian halnya dengan pembelajaran agama Islam, essensinya adalah proses humanisasi, yaitu proses menjadikan sosok pribadi yang pada mulanya lemah menjadi kuat dalam aspek mental, pengetahuan dan ketrampilan, pribadi yang tergantung menjadi mandiri, pribadi yang belum tahu ajaran Islam dan kehidupan menjadi tahu dan mampu menjalankan ajaran Islam dan disiplin, pribadi yang belum tahu hukum menjadi taat hukum, dan sebagainya. Prinsipnya, pembelajaran agama Islam itu tujuan utamanya adalah "memanusiakan" manusia.


Dalam konteks "memanusiakan" manusia ini, bisa kita lihat secara praktis dalam perbedaan antara kanak-kanak (child) dengan orang dewasa (adult). Perbedaan antara keduanya dapat diringkas dalam satu kata, yaitu kemampuan (ability). Kemampuan ini, umumnya berkaitan dengan tiga hal, yaitu; pengetahuan (knowledge), sikap (know-why, attitude) dan keterampilan (know-how, skill). Masa kanak-kanak memiliki pengetahuan yang amat terbatas dalam segala hal, baik menyangkut dirinya, orang lain, alam semesta, dan apalagi tentang Allah SWT. Kanak-kanak juga belum mampu menentukan sikap, apakah harus positif atau negatif, kritis atau nrimo, terhadap hampir semua hal yang terjadi di sekitarnya. Dalam hal keterampilan, kanak-kanak juga masih sangat terbatas, entah itu yang bersifat pertukangan (memukul, memanjat, memutar, membuka dan sebagainya) maupun kemampuan non teknis-kemanusiaan, seperti komunikasi, kepemimpinan, manajemen dan human skill lainnya. Dalam konteks inilah proses pembelajaran berfungsi, yaitu menjadikan seorang manusia menjadi semakin mampu, berdaya dan semakin merdeka dari segala hal di luar dirinya (Harefa,2000: 37).
Sebagai manusia muslim, maka dirinya semakin yakin terhadap realitas mutlak, yaitu Allah SWT, pencipta dirinya dan kehidupan alam raya, sadar terhadap makna kehadiran dirinya dengan seperangkat peran dan fungsinya, semakin mampu memenuhi kewajiban dan hak-haknya sebagai warga dunia dan pada akhirnya ia tetap sadar bahwa nantinya akan kembali kepada pencipta-Nya, Allah SWT.

Problem Pembelajaran
Tetapi, proses pembelajaran yang terjadi sementara ini, ternyata belum membuat orang terbuka pikirannya, apalagi peka nuraninya. Sekolah-sekolah kita pada umumnya dan madrasah-madrasah khususnya cenderung berperan sebagai lembaga pengajaran (teaching) atau bahkan pelatihan (training), ketimbang menjadi lembaga pembelajaran (learning). Artinya bahwa pendidikan kita baru bisa melahirkan orang-orang pintar (termasuk pintar agama) tetapi belum dewasa dan mandiri. Mengapa demikian? Karena proses pembelajaran yang terjadi di dalam lembaga-lembaga pendidikan kita masih sebatas transfer pengetahuan (knowledge). Peserta didik memang mampu mendefinisikan sesuatu obyek, mampu mendefinisikan iman, islam dan ihsan, tetapi tidak mampu memaknainya, apalagi mengembangkannya secara kreatif-inovatif. Ironisnya lagi, sekolah-sekolah kita cenderung menginginkan lulusan yang gemilang dengan melupakan pembentukan karakter dan kepribadian (Peter Drost, 1998: 251). Hal ini persis seperti dongeng mengenai angsa dan telur emas karangan Aesopus.
Aesopus menggambarkan ada seorang petani yang tidak sabar hanya mendapatkan satu telur emas setiap harinya. Lantas, ia menyembelih angsa itu untuk mengambil semua telur emas yang ada di dalam perutnya. Ternyata kosong. Akhirnya, angsa itupun mati serta tidak ada lagi telur emas. Ini berarti, petani itu hanya mengejar hasil, tetapi melupakan kemampuan berhasil. Inilah gambaran sederhana pembelajaran di sekolah-sekolah kita.


Apa hasil dari pembelajaran seperti di atas? Hasilnya adalah robot. Warga belajar hanya dapat menirukan apa yang ditransfer/diajar guru. Warga belajar tidak mampu mengaktualisasikan potensi kreatifnya ataupun menentukan jalan hidupnya sendiri. Akibatnya, kemampuan berhasil anak menjadi mati atau menjadi manusia dengan karakter dan kepribadian yang mati. Proses ini memperkuat masalah besar, yaitu generasi kita menjadi generasi egosentris, bahkan egoistis. Generasi kita terjebak pada semangat untuk mencapai hasil yang dituntut dirinya sendiri dan juga para guru yang dilakukan dengan cara manipulasi.


Bagaimana dengan pembelajaran agama Islam? Sejauh ini pembelajaran agama Islam tidak jauh berbeda dengan kondisi pembelajaran pada umumnya. Proses yang terjadi sejauh ini belum menunjukkan sebagai proses pembelajaran agama yang sebenarnya, tetapi cenderung baru sebatas pengajaran agama.


Pembelajaran agama Islam masih terpola dengan ritualisme pengajaran konvensional, yaitu terpaku pada lima proses; 1) diajar, 2) diset menjadi pekerja (tukang) ibadah, 3) dites, 4) dinilai, 5) dirangking. Proses semacam ini akibatnya melahirkan generasi "setengah matang". Pesan-pesan Islam yang dipelajari, difahami baru sebatas sebagai "a body of information" daripada sebagai "a body of experience". Nilai-nilai Islam yang tersurat dan tersirat di dalam Alquran dan Sunnah Nabi yang sebenarnya memiliki muatan makna sangat luas dan mendalam, belum mampu menjadi sumber inspirasi dan motivasi yang memperkaya khazanah pengetahuan yang akan melahirkan pengalaman-pengalaman hidup yang lebih kreatif dan inovatif.


Karena itu, generasi kita memang pandai membaca teks kitab suci dan kemungkinan malah rutin menjalankan berbagai praktek ibadah ritual. Tetapi, apa yang dilakukan itu belum membentuk sikap-mental yang kuat dan gaya hidup yang mencerminkan pribadi muslim yang santun, simpatik dan memiliki ketrampilan sosial (social skill) yang tinggi. Mengapa demikian? Karena cara berpikirnya monolitik dan dikhotomis, yaitu pikiran yang hanya mampu menerima kebenaran (informasi) secara diametral. Kecerdasan intelektualnya mampu berkembang dengan cepat, sementara kecerdasan emosionalnya mandeg. Akibatnya, generasi semacam ini pikirannya selalu tertutup, tidak mau menerima wacana (discourse) hidup yang baru, yang berasal dari luar dirinya. Inilah salah satu sebab utama yang menjadikan masyarakat Islam sulit memiliki perspektif yang sama dalam melakukan perjuangan di ranah sosial, ekonomi dan politik.


Bagi kebanyakan anak-anak muslim khususnya dan masyarakat muslim pada umumnya, pesan-pesan Islam belum mampu menjadi sumber inspirasi dan dipandang kurang bermakna (meaningless) dan bahkan dipandang kurang relevan dengan kehidupan pribadi serta pengalaman-pengalaman kehidupan mereka. Islam baru dipahami sebagai seperangkat praktek ritual yang tidak bersentuhan dengan realitas kemanusiaan. Implikasi sosialnya, masyarakat Islam masih terus terjerat kemiskinan, terbelakang, mudah tersinggung, gampang mencaci maki satu dengan yang lain, dan sebagainya. Semua ini, adalah akibat dari proses pembelajaran agama Islam yang baru sebatas pengajaran.

Visi Pembelajaran Agama Islam
Visi tentang pembelajaran agama Islam yang dimaksud di sini adalah mencoba membedakan antara pengajaran tentang Islam (teaching about Islam) dan pembelajaran tentang bagaimana menjadi seorang muslim (teaching about being moslem). Telah disebutkan di depan bahwa umumnya para pendidik muslim, dalam pengajarannya lebih menekankan tentang informasi dan fakta-fakta tentang Islam (fact about Islam), karena hal ini memang lebih mudah dan sebenarnya merupakan pendekatan yang kurang diperlukan (Abdul Goffar, 2004). Karena kita memang belum menjumpai suatu bentuk pengembangan program yang sistematik untuk melakukan proses pembelajaran generasi kita untuk "menjadi muslim (being moslem). Karena hal ini memang memerlukan upaya yang lebih rumit dan pemahaman yang mendalam, baik berkaitan dengan karakter ilmiah generasi muslim maupun ajaran Islam itu sendiri.


Visi sebenarnya dari pembelajaran Islam itu bukanlah "mengisi" otak generasi kita dengan informasi-informasi tentang Islam, tetapi lebih terletak pada bagaimana mangajarkan pada generasi kita untuk menjadi muslim yang baik (kaffah). Karena itu, visi pembelajaran Islam perlu perpijak pada pemahaman yang utuh bahwa pesan-pesan Islam itu harus memfokuskan pada pengembangan kepribadian (personality) dan akhlak generasi, serta lebih memperhatikakn pada kebutuhan dan harapan riil masyarakat kita (relevansi sosial). Di samping itu, pembelajaran itu juga perlu mempersiapkan generasi dengan daya kritis (critical thinking) dan ketarmpilan memecahkan masalah (problem solving skill) yang sangat diperlukan dalam peran sertanaya dalam kehidupan bermasyarakat.


Dalam konteks inilah, maka visi pembelajaran Islam harus mampu mengembangkan beberapa muatan berikut: 1) bermakna (meaningful), 2) terintegrasi (emosional, sosial, intelektual dan fisik), 3) berbasis nilai Islam, 4) menanatang (challenging), 5) menawarkan sesuatu yang baru (up-to date).
Implementasinya, lembaga-lembaga pendidikan Islam (khususnya madrasah-madrasah, pondok pesantren, perguruan tinggi Islam dan sebagainya) juga masyarakat Islam (khsususnya orang tua) harus mampu mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana generasi itu tumbuh dan belajar. Kita harus paham mengenai proses pengembangan moral dan metode yang efektif dalam proses pembelajaran. Dengan begitu, maka generasi kita akan tumbuh dan berkembang menjadi generasi yang memiliki moralitas yang tinggi, yang merupakan sinergi antara akal, rasa dan nurani dan sekaligus memiliki peluang-peluang untuk tahu dan mampu mengaplikasikan nilai-nilai Islam secara nyata dalam kehiudupan sehari-hari.

Visi pembelajaran Islam seperti di atas dapat diaplikasikan dengan fokus utama pembelajarannya pada; 1) pengembangan kepribadian (personality) dan akhlak, 2) terkait dengan persoalan nyata, 3) mempersiapkan generasi dengan daya kritis, keterampilan memecahkan masalah, 4) para pendidik yang memiliki pemahaman proses pemkembangan moral dan metode pembelajaran yang efektif.


Praktisnya, tanpa pemahaman yang tepat terhadap sistem nilai Islam, maka tipis harapan visi pembelajaran Islam dapat tercapai. Bagaimanapun juga, sekarang ini, sekolah-sekolah Islam memiliki peran yang krusial untuk memainkan peranannya dalam mengembangkan solusi-solusi dan program-program yang kongkrit untuk memberikan pemahaman yang tepat terhadap para siswa, tanpa menafikan pentingnya peran dan tanggung jawab keluarga dalam proses pembelajaran ini.


Patut memberikan rasa optimisme bahwa beberapa dekade terakhir ini, di Indonesia, khususnya di Yogyakarta dan beberapa kota lainnya, telah berkembang kesadaran untuk memperbaiki konservativisme pembelajaran agama Islam dan mengembangkan program-program pembelajaran alternatif yang dikemas dalam sekolah islam terpadu, seperti (TKIT, SDIT, SMPIT, SMAIT dan sebagainya).


Proses pembelajaran agama Islam yang efektif itu haruslah aktif. Studi Islam itu mesti mampu memenuhi kebutuhan utama, baik kebutuhan peserta didik maupun para pendidiknya (guru/ustazd). Para guru dituntut aktif dan genuin terlibat dalam proses pembelajaran, seperti; membuat perencanaan, memilih dan menyesuaikan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi generasi mendatang, serta tetap berjalan dalam koridor perundang-undangan. Guru yang efektif haruslah dipersiapkan dengan baik dan dilakukan up to date secara kontinyu terhadap ilmu pengetahuan, metode pengajaran yang efektif, kebutuhan para peserta didik, dan pengembangan keterampilan (skill) mengajarnya. Dengan kata lain, belajar haruslah aktif, dengan menekankan proses belajar interaktif yang mengajak peserta didik berpartisipasi secara aktif dalam proses tersebut.


Beberapa hal di atas adalah faktor-faktor kunci dalam proses pembelajaran agama Islam yang efektif. Dengan begitu, maka pembelajaran agama Islam ke depan diharapkan mampu menumbuh-kembangkan generasi muslim dengan tingkat pemahaman keislaman yang tinggi dan komitmen serta tanggung jawab sosial yang tinggi pula. Generasi semacam inilah yang mampu memotivasi dan memberdayakan masyarakat secara efektif. Pembejalaran agama Islam harus mampu mencetak generasi muslim yang memiliki kemampuan mengidentifikasi, memahami dan bekerja secara kooperatif untuk memecahkan berbagai persoalan keummatan dimana mereka tinggal, dan meproyeksikan kegemilangan peadaban Islam di masa depan.

Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Rabu, 27 Januari 2010

Fasilitator Outbound di Tawangmangu

Ahad, 14 Januari 2010 saya diminta menjadi fasilitator Outbound di Tawangmangu oleh Pimpinan Dewan Masjid Kelurahan Wirogunan kec. Mergangsan Yogyakarta. Luar biasa, jumlah pesertanya cukup banyak 50 an orang terdiri dari para sesepuh Takmir Masjid/Musholla, aktivis masjid dan remaja masjid se Kelurahan Wirogunan. Kebersamaan, keceriaan dan penuh pengharapan tergambar di raut muka semua peserta.

Jam 07.00 WIB rombongan bis full AC yang membawa rombongan peserta Outbound berangkat dari jln. Tamansiswa. Di tengah perjalanan diisi dengan perkenalan peserta yang dipandu oleh Bapak Mustafid (penggerak masjid/pengurus DMI Wirogunan/kepala KUA Mantrijeron). Satu persatu peserta berkenalan seputar nama, tempat aktivitas di masjid/musholla mana, alamat asal, pendidikan, status, dll. Sebagian peserta ternyata belum berkeluarga, ada yang masih SLTA, mahasiswa, sudah bekerja, dll.

Jam 10.10 WIB rombongan sampai di Tawangmangu. Acara dilanjutkan perjalanan menuju Grojogan Tawangmangu. Memasuki pintu pembelian Tiket Box, ternyata jumlah pengunjung Tawangmangu luar biasa. Jalan menurun yang cukup jauh penuh sesak dijejali pengunjung. Perjalanan menurun menuju Grojogan disambut oleh ratusan monyet yang bergelantungan di pepohonan. Para monyet itu sepertinya sudah akrab dengan dunia kita- dunia manusia.
Karena perjalanan yang ckp lumayan, akhirnya baru pukul 11.20 WIB game pertama bisa di mulai dengan ice breker untuk memecah kebekuan dengan The Seven Boomb, berhitung, dan dilanjutkan train balloon. Game kedua peserta diajak untuk menguji kapasitas kepemimpinannya dengan "Si Buta". Semua bisa tertawa, asik dan menikmati.
Lelah? ya terlihat peserta mulai lelah. Karena itu segera dilaksanakan debrief untuk mengapresiasi game yang telah dilaksanakan.

Game terakhir dilanjutkan di sungai Grojogan Sewu, yaitu dengan Water Bomb dan Pralon. Luar biasa, semua peserta bisa aktif dan menikmati dengan berbasah-basah di sungai.
Tepat pukul 13.00 WIB game selesai. Semua peserta menikmati dahsyatnya Grojogan sewu. Sekalipun target belum bisa tercapai secara maksimal, tetapi secara keseluruhan, proses outbound dapat berjalan lancar. Karena keterbatasan waktu, pemaknaan dua game terakhir dilaksanakan di Jogja. Alhamdulillah, semoga outbound dengan game yang murah dan sederhana dapat menjadi media mengeksplorasi diri setiap peserta, sehingga dapat mengembangkan diri menjadi pribadi yang penuh percaya diri, empatik, bersemangat tinggi untuk belajar, dan tumbuh rasa kebersamaan untuk meraih sukses secara bersama-sama melalui Dewan MAsjid Kelurahan Wirogunan. Selamat...
Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Sabtu, 23 Januari 2010

Mengenal Organisasi

Setiap orang punya kecenderungan untuk berkumpul dengan orang lain dalam sebuah komunitas tertentu. Namun demikian, berkumpulnya orang-orang dalam suatu kelompok/klub itu bisa dikelompokkan dalam dua kategori.
1. Spontanitas; misalnya, kerumunan orang-orang di pasar, terminal dan tempat-tempat umum lainnya. Mereka secara pribadi-pribadi memang punya maksud/tujuan, tetapi di antara mereka tidak ada satu kesepakatan bersama (kontrak sosial), tak ada komunikasi dan ikatan bersama.
2. Terencana dan kesepakatan yang menjadi ikatan bersama (kontrak sosial). Implementasinya, dalam kumpulan orang-orang itu, timbullah beberapa hal berikut :
a) Komukasi/interaksi di antara person-person yang bersangkutan (baik komunikasi formal/verbal-struktural atau informal-non-verbal. Kumpulan orang-orang dalam kategori inilah yang kemudian bisa disebut sebagai organisasi. b) Kontrol secara langsung atau tidak langsung di antara orang-orang yang bersangkutan.
Kategori kedua inilah yang dalam terminologi masyarakat modern kemudian disebut sebagai organisasi.

Karena itu, unsur pokok dalam organisasi antara lain :
1) Ada subyek-subyek persona 2) Ada rencana, maksud/tujuan bersama 3) Ada ikatan nilai (norma) yang ditaati bersama. 4) Ada komunikasi/interaksi 5) Ada mekanisme untuk mencapai tujuan 6) Ada instrumen (sarana) pendukung untuk mencapai tujuan.

Terdapat beberapa jenis organisasi, antara lain :

1. Ditinjau dari orientasinya;
a) organisasi profit b) organisasi non-profit
2. Ditinjau dari sifatnya :
a) organisasi independen b) organisasi dependen
3. Ditinjau dari subyek/sasaran:
a) organisasi kader b) organisasi profesi c) organisasi politik d) organisasi sosial e) organisasi keagamaan

Dalam prosesi perkembangannya, organisasi itu bisa diasosiasikan dengan perkembangan biologis manusia, antara lain : 1) Tahap pra-kelahiran/perintisan (masa mengandung), 2) Tahap kelahiran, 3) Tahap perkembangan, meliputi : a) masa penataan berbagai instrumen (masa kanak-kanak - remaja) b) masa aktualisasi (dewasa/maturasi) c) masa menikmati hasil (masa pensiun) 4. Tahap kematian.

Dalam pendekatan pengembangan program, kita mengenal dua kategori organisasi :
1. Pendekatan top-down, dengan karakteristik sebagai berikut :
a) Pemimpin sebagai pahlawan, b) Pemimpin sumber jawaban; sumber inspirasi dan yang lain tinggal mengikuti, c) visi jelas dan membangkitkan semangat yang menjelaskan mengapa memutus masa lalu yang pernah terjadi dan energi orang-orang untuk berubah. Karena itu, jawaban adalah “di luar” kesadaran anggota, d) Berjalan berdasar dorongan, e) Perubahan didorong sepenuhnya oleh individu yang menentukan (decision maker) yang merencanakan dengan hati-hati dan memperkecil kesempatan dari luar, f) “Mereka” sebagai problem, g) Individu-individu (anggota) melihat kebutuhan (program) untuk perubahan di luar dirinya (pada orang lain), h) Disibukkan dengan training, i) Orang-orang diajar cara-cara pekerjaan baru dalam program-program training secara intensif (dalam rangka sosialisasi, konsolidasi dan mobilisasi), j) Pendekatan program ini akan melahirkan organisasi sebagai seperti mesin (mekanis).

2. Pendekatan bottom-up, dengan karakteristik sebagai berikut : a)
Pemimpin sebagai fasilitator, b) Kesadaran pribadi-pribadi: memungkinkan yang lain untuk mengembangkan potensi., c) Dilandasi kesadaran, d) Perubahan orang-orang disebabkan karena mereka lebih memiliki kesadaran terhadap kebutuhan mereka sendiri dan kesalingtergantungan mereka terhadap realitas (dunia) yang melingkupinya. Jawaban ada “di dalam” diri mereka sendiri, e) Bebas, f) Para pemimpin yang efektif membebaskan potensi orang-orang (anggota) dan organisasi untuk menerima perubahan dan disiapkan untuk hidup dengan lingkungannya yang tak pernah henti, g) “Kita” perlu perubahan, h) Perubahan dimulai dari “saya/kita” bukan mereka.

Refleksi
Orang-orang belajar ketika mereka setahap demi setahap menyadari tugas-tugas, tanggung jawab dan peran-peran lain yang harus dilakukannya.
Pendekatan program ini akan melahirkan organisasi sebagai sistem yang hidup (organis).

Pendekatan organis, bisa diasosiasikan dengan paradigma pertanian. Yaitu bahwa organisasi adalah benda-benda hidup yang tidak dapat “diperbaiki” dengan mengganti bagian-bagian yang tidak berfungsi; tetapi benda-benda hidup itu hanya bisa ditumbuhkan untuk memberikan hasil-hasil yang diinginkan. Bahwa hasil (panen/karya-karya) itu tidak diciptakan oleh montir, tetapi oleh tukang kebun/orang-orang yang bekerja secara kreatif. Tukang kebun tahu bahwa kehidupan (organisasi) itu terdapat di dalam benih. Walaupun mustahil membuat benih tumbuh, tukang kebun masih tetap bisa memilih benih terbaik dan kemudian menggunakan logika “dan” untuk menciptakan keadaan - temperatur, tanah yang tepat, sinar matahari yang cukup, air, pupuk, menyiangi, mengolah tanah - yang kesemuanya itu akan mendukung memaksimalkan pertumbuhan sang benih. Jadi, para aktivis (pertanian) organisasi bekerja dengan salah satu persyaratannya adalah mengakomodasi pertentangan kronis antara kontrol organisasi dan otonomi perorangan melalui kesepakatan win-win - kesepakatan yang menunjukkan suatu “kemenangan” bagi perorangan dan suatu “kemenangan” bagi organisasi juga. “Hukum pertanian”, berpinjak pada prinsip bahwa “menunda dan melakukan sesuatu secara tergesa-gesa tidak berlaku dalam bertani”. Sapi harus diperah setiap hari. Hal-hal lain harus dikerjakan menurut waktunya dan menurut siklus alami. Konsekuensi alami akan menyusul setiap pelanggaran, walaupun terdapat niat baik. Dalam hukum pertanian, maka proses alami seperti “saya harus menyiapkan lahan, menyemai benih, mengolah lahan, menyiangi, mengairi dan menjaga gangguan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), harus benar-benar dijalankan secara benar dan tepat. Dalam konteks ini, hukum alam berlaku tidak pandang bulu (organisasi yang punya sejarah gemilang bukan berati akan seterusnya gemilang). Karena itu, menanamkan prinsip-prinsip pertanian ini pada pusat kehidupan organisasi dan semua perilakunya akan menjadi jaminan kemenangan organisasi. Dengan melakukan hal ini maka pola pikir kita akan berubah dari mentalitas “kelangkaan” menjadi mentalitas “berkelimpahan”. Dalam bahasa “petani kentang”, mentalitas berkelimpahan berarti “semakin tipis kulitnya semakin besar isinya”.

Tujuh prinsip dalam organisasi yang akan menopang keberadaannya dalam posisi dan kondisi seimbang : a) Kejelasan visi,misi dan tujuan, b) komunikasi, c) informasi, d) konpensasi, e) pelatihan dan pengembangan, f) rekruitmen dan seleksi, g) rancangan program,

Masalah kronis dalam organisasi :
1) Tidak visi dan nilai bersama: atau organisasinya tidak memiliki pernyataan misi; atau tidak ada pengalaman mendalam dan komitmen terhadap misi itu di semua tingkat dalam organisasi, 2) Tidak ada jalur strategis; atau strateginya tidak dikembangkan dengan baik atau strateginya tidak menjabarkan pernyataan misi secara efektif dan/gagal memenuhi keinginan dan kebutuhan serta realitas arus (angota dan lingkungannya). 3) Keselarasan yang jelek; keselarasan yang jelek antara struktur dan nilai-nilai bersama, antara visi dan misi; antara struktur dan sistem organisasi kurang melayani dan mendukung jalur strategis. 4) Gaya yang salah: Falsafah menajemennya tidak selaras dengan visi dan misi dan nilai-nilai bersama atau gaya manajemen tidak dengan konsisten mewujudkan visi dan nilai-nilai pernyataan misi. 5) Keterampilan yang jelek: Gaya tidak sesuai dengan ketrampilan, atau manajer tidak memiliki ketrampilan yang dibutuhkan untuk memakai gaya yang tepat. 6) Tidak ada integritas diri: nilai tidak sama dengan kebiasaan; tidak ada korelasi antara aya yang saya hargai dan percayai dengan apa yang saya lakukan.
Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Senin, 18 Januari 2010

Mengenal Sejarah Outbound

Anda punya kegemaran berjalan-jalan di alam bebas? Bersyukurlah jika Anda salah satu dari orang yang punya hobi mengasyikkan ini. Menyusuri alam bebas memang bisa jadi tes psikologi yang ampuh bagi pribadi seseorang. Kini, kegiatan belajar bersama di alam terbuka marak ditawarkan baik oleh lembaga-lembaga operator outbound ataupun perorangan yang merasa memiliki pengalaman menjadi fasilitator outbound. Tetapi, apa sebenarnya Outbound itu? Di sinilah pentingnya kita mengenali lebih detail mengenai jenis training yang efektif untuk merangsang perkembangan mental dan sosial pribadi seseorang.

Sejarah dan Pengertian Outbound
Asal usul Outbound diyakini dimulai pada tahun 1941. Ketika itu, seorang ahli pendidikan berkebangsaan Jerman bernama Kurt Hann mendapat tawaran pekerjaan dari Lawrence Holt - pengusaha kapal dagang. Holt punya masalah, yaitu kinerja antar-awak kapalnya rendah sekali, terutama soal kerja sama tim. Akhirnya, Kurt Hann menerima tawaran itu. Untuk mengatasi persoalan tadi, ia mengadaptasi suatu konsep. Dalam konsep ini, Hann mengembangkan sebuah training management di alam terbuka bagi para awak kapal sebagai medium mereka untuk belajar mematangkan diri dan mengenal lebih dalam tentang potensi diri mereka masing-masing, melalui sekolah Outward Bound di kota Wales. Inilah sekolah pertama yang mengembangkan pembelajaran menggunakan media alam terbuka.
Pada tahun 1970-an Outward Bound telah berkembang menjadi jaringan 30 sekolah lebih, yang menawarkan aneka petualangan dihutan belantara, berlayar, mendaki gunung dan bersampan di sungai. Pelatihan ini diberikan kepada setiap orang yang berumur 16 tahun keatas dan berbadan sehat. Para peserta di Carolina Utara telah mengenyam beberapa pengalaman semacam itu selagi mereka meresapi pelajaran pokok di Outwad Bound. Mereka menjajal diri meraka melawan tantangan fisik yang begitu menyiksa sehingga tak satupun merasa yakin dapat meyelesaikan pelatihan ini. Tetapi ketika terbukti dapat mengatasinya, mereka memperoleh perasaan kuat baru, bagaikan mendapat suntikan vaksinasi melawan ketegangan, hingga seorang peserta berkata , “Saya kini tahu bahwa jika saya cukup berhasrat melakukan sesuatu, saya dapat melakukannya.”
Konsep training management Hahn pada intinya didasarkan atas perpaduan paket manajemen empat unsur, yaitu: tempat, isi program, simulator, dan kegiatan berbasis petualangan yang kemudian disebut dengan Outbound.
Outbound berasal dari kata out of boundaries, artinya keluar dari batas. Hal itu merupakan istilah di bidang kelautan yang menandakan saat-saat sebuah kapal keluar dari dermaga dan melewati batas perairan.
Metode training Outbound di alam terbuka yang dikembangkan Hahn berfungsi sebagai katalis, sebagai medium perubahan dan membantu setiap peserta untuk lebih dapat mengenal kelemahan dan kelebihan masing-masing individu. Metode management Outbound tersebut kemudian dikenal dengan outward bound dan kemudian menjalar ke berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia.
Istilah Outbound training sebenarnya tidak dikenal dalam dunia pendidikan. Tetapi, masyarakat terlanjur mengenal, bahwa semua kegiatan di alam terbuka disebutnya dengan Outbound. Kegiatan tali-temali, jalan-jalan diselingi game sekedarnya juga sudah dianggap Outbound. Demikinlah, pengertian Outbound sekarang ini sudah salah kaprah.

Tujuan Outbound
Tujuan utama Outbound adalah melatih peserta untuk mampu menyesuaikan diri (adaptasi) dengan perubahan yang ada dengan membentuk sikap professionalisme yang didasarkan pada perubahan dan perkembangan sifat mendasar (traits) dari individu yang meliputi aspek trust, belief, dan komitmen serta kinerja yang diharapkan akan semakin lebih baik.
Lebih jauh, dengan Outbound peserta diharapkan dapat menyadari bahwa apa yang dilakukan itu merupakan bagian tidak terpisahkan dalam kebersamaan dengan rekan-rekannya dalam team. Keberhasilan seorang individu unit kerja organisasi akan merupakan bagian keberhasilan dari organisasi. Sebaliknya, kegagalan yang terjadi karena kesalahan individu atau suatu unit organisasi akan mempengaruhi pula nilai keberhasilan secara keseluruhan. Karena itu, semboyan one for all, all for one, yang merupakan semboyan Outbound Internasional selalu didengung-dengungkan dalam kegiatan oleh operator Outbound atau Out bound operator untuk membangun sebuah semangat kebersamaan dan kekompakan, bahkan belakangan ini dikembangkan lagi sebuah semboyan baru yang merupakan pula semboyan dunia global: ”we are one“, kita adalah satu.

Manfaat Outbond
o Membuka pikiran
o Transfer sikap mental, ilmu, praktek dan kemampuan
o Meningkatkan ketahanan fisik dan mental
o Sarana untuk meng-eksplorasi diri
o Pengembangan diri (tim kerja dan pimpinan)
o Sarana untuk introspeksi dan kontemplasi diri
o Proses pengenalan diri
o Mengasah kecerdasan IES dan menyelaraskan keseimbangan IES (Intelektual, emosi dan
spiritual)
o Pembentukan karakter
o Mengenal Tuhan dan Ciptaannya dengan meningkatkan ketakwaan dan keimanan
o Sarana penyegaran emosi
o Penyelesaian masalah individu dan kdelembagaan
o Keharmonisan dan kebahagiaan rumah tangga
o Menjadi sukses dan bahagia

Penggunaan Outbound

Saat ini pelatihan outbound banyak digunakan untuk banyak hal. Di perusahaan, tujuannya antara lain untuk orientasi dan pemetaaan, pengukuran atau assessment, dan bahkan pelatihan dan pengembangan. Dari kegiatan di luar ruangan ini, akan nampak perilaku-perilaku asli yang kadang tidak muncul dalam kehidupan keseharian kita. Harapannya, ketika kita mampu memecahkan masalah dalam pelatihan outbound, spirit tersebut dapat membantu kita mengembangkan diri menghadapi hal lain yang lebih kompleks.
Peserta outbound training tidak akan dihukum bila lupa membawa ponco/jas hujan, tetapi konsekuensinya dia akan basah saat hujan. Disadari atau tidak, filosofi pelajaran dari alam mengajarkan kita untuk mengembangkan softskill yang kita miliki. Hal ini sangat mendukung pengembangan karakter diri kita, yang bermafaat bagi pekerjaan maupun bidang kehidupan kita yang lain. (Diambil dari berbagai sumber)
Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Tiga Tipologi Pribadi Pendaki

Kita hidup dengan satu dorongan inti yang manusiawi, yaitu untuk terus mendaki. Artinya, bahwa hidup ini bukan sekedar melayang-layang menembus awan sambil melantunkan mantra dan mengimpikan kesuksesan. Mendaki di sini juga bukan sekadar meniti jenjang karier di kantor, mengejar jadi sarjana, mengejar/berburu calon suami/istri, mengumpulkan harta dunia dan sebagainya. Pendakian yang dimaksud di sini adalah menggerakkan TUJUAN hidup ke depan menuju ke tingkat yang lebih baik - yaitu puncak kesuksesan sejati - sukses dunia dan selamat akhirat.
Tiga jenis pribadi orang pendaki yaitu :

Pertama, tipe Quitters – mereka yang berhenti. Quiters adalah tipe orang yang memilih untuk keluar, menghindari kewajiban/tanggung jawab, mundur dan berhenti. Mereka yang menghentikan pendakian. Mereka menolak kesempatan yang diberikan oleh gunung. Mereka mengabaikan, menutupi atau meninggalkan dorongan inti yang manusiawi untuk mendaki, dan dengan demikian juga meninggalkan banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan. Quiters biasanya meninggalkan impian-impiannya dan memilih jalan yang mereka anggap lebih datar dan lebih mudah. Tetapi, tanpa disadarinya, ketika ia menoleh ke belakang dan melihat bahwa kehidupan yang telah dijalaninya ternyata tidak menyenangkan. Kata yang paling memilukan dari Quiters adalah, “Seandainya dulu……!”
Akibatnya, Quiters sering menjadi sinis, murung, dan mati perasaannya. Mereka menjadi pemarah, dan frustasi, menyalahkan semua orang di sekelilingnya dan membenci orang yang terus melakukan pendakian. Tipe Quiters biasanya menjadi pecandu; pecandu alkohol, narkoba, acara-acara TV yang tidak bermutu. Karena itu, Quiters sebenarnya orang yang mencari pelarian untuk menenangkan hati dan pikiran sebagai akibat dari ketidakmampuan dirinya.

Kedua, tipe Campers – Mereka yang berkemah. Campers adalah tipe orang yang pergi tidak jauh, lalu berkata, “sejauh ini sajalah saya mampu mendaki (ingin mendaki)”. Karena bosan, mereka mengakhiri pendakiannya dan mencari tempat datar yang rata dan nyaman sebagai tempat bersembunyi dari situasi yang tidak bersahabat. Mereka memilih untuk menghabiskan sisa-sisa hidup mereka dengan duduk di situ (camping). Campers adalah pendaki yang “tidak selesai”, tetapi oleh sebagian orang dianggap sebagai “kesuksesan”. Ini adalah “kesuksesan semu”. Campers merasa cukup senang dengan pendakian yang “tidak selesai” itu dan memilih mengorbankan kemungkinan untuk melihat atau mengalami APA yang masih mungkin TERJADI. Mereka beranggapan, tidak ada salahnya berhenti mendaki supaya bisa menikmati hasil jerih payah mereka, atau tepatnya, menikmati pemandangan dan kenyamanan yang sudah mereka peroleh selama pendakian yang belum selesai itu. Biasanya, sambil memasang tenda, Campers memfokuskan energinya pada kegiatan mengisi tenda dengan barang-barang yang sedapat mungkin membuatnya nyaman. Dengan demikian, Campers itu melepaskan kesempatan untuk maju, yang sebenarnya dapat dicapai jika energi dan sumber dayanya diarahkan dengan semestinya. Jadi, Campers menciptakan semacam “penjara yang nyaman”, yaitu sebuah tempat yang terlalu enak untuk ditinggalkan. Mereka puas dengan mencukupkan diri dan tidak mau berkembang terus.

Ketiga, tipe Climbers – pendaki. Climbers adalah sebutan bagi orang yang seumur hidupnya membaktikan diri pada pendakian (perjuangan), tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan atau kerugian, nasib buruk atau baik. Dia terus mendaki yang dalam bahasa agama disebut berjuang di jalan Allah (jihad fi sabilillah). Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental atau hambatan lainnya menghalangi pendakian - perjuangan hidupnya.
Climbers adalah orang yang menjalani hidupnya secara lengkap, mereka benar-benar memahami tujuan hidupnya dan bisa merasakan gairahnya. Karena tahu bahwa mencapai puncak pendakian itu tidak mudah, maka Climbers tidak pernah melupakan “kekuatan” dari perjalanan yang pernah ditempuhnya. Climbers tahu betul bahwa akan banyak imbalan (rewards) datang dalam bentuk manfaat-manfaat jangka panjang, dan langkah-langkah kecil sekarang ini akan membawanya pada kemajuan-kemajuan lebih besar di kemudian hari. Climbers selalu menyambut tantangan-tantangan dan memahami kesulitan sebagai bagian dari hidup. Jadi, mengindari kesulitan sama saja dengan menghindari hidup.
Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Minggu, 10 Januari 2010

Mentalitas Berkelimpahan

Manusia adalah makhluk unik yang memiliki potensi luar biasa. Pada mulanya, ia lahir sebagai bayi yang tanpa daya, bisanya hanya menangis. Ia belum memiliki kemampuan (ability), baik kemamuan bersikap (attitude), pengetahuan (knowledge) maupun keterampilan (skill). Seorang bayi atau masa kanak-kanak masih memiliki pengetahuan yang amat terbatas dalam segala hal, baik menyangkut dirinya, orang lain, alam semesta, dan apalagi tentang Allah SWT. Kanak-kanak juga belum mampu menentukan sikap, apakah harus positif atau negatif, kritis atau nrimo, terhadap hampir semua hal yang terjadi di sekitarnya. Dalam hal keterampilan, kanak-kanak juga masih sangat terbatas, entah itu yang bersifat pertukangan (memukul, memanjat, memutar, membuka dan sebagainya) maupun kemampuan non teknis-kemanusiaan, seperti komunikasi, kepemimpinan, manajemen dan human skill lainnya.

Tetapi, mengapa setelah beranjak remaja dan dewasa, kita dapat melakukan apa saja? Dapat bersikap, merasakan, berpikir dan melakukan sesuatu yang kita inginkan. Dalam konteks inilah, maka proses pembelajaran berfungsi, yaitu menjadikan seorang manusia menjadi semakin mampu, berdaya dan semakin merdeka dari segala hal di luar dirinya (Harefa,2000: 37).
Proses pembelajaran pada dasarnya adalah proses potensi, yang bisa berupa bakat atau minat sehingga dapat menjadi hobi atau bahkan profesi yang dapat menjadi nilai keunggulan diri. Dengan demikian, kita dapat keluar dari jeratan ketidak mampuan diri (sikap), pengetahuan dan keterampilan. Pada akhirnya, orang yang demikian dapat mencukupi kebutuhan hidupnya (intelektual, material dan spiritua) secara melimpah. Praktisnya, ia bisa dapat menghadirkan diri menjadi pribadi yang kaya; kaya hati, pengetahuan, harta, kedudukan dan sebagaianya. Inilah yang disebut mentalitas berkelimpahan. Yaitu, pribadi yang dapat mendayagunakan dan memberdayakan dirinya menjadi semakin bermanfaat bagi diri dan lingkungan. Gagasan-gagasan cerdasnya, perilakunya dan kemampuan praktisnya dapat bermanfaat bagi orang lain atau dijual buat orang lain.


Bagaimana mengaktualisasikan diri menjadi pribadi berkelimpahan? Ada empat pertanyaan yang dapat membantu; 1) bidang kegiatan apa yang sangat memikat hati Anda ? 2) bidang kegiatan apa yang memberikan kepuasan batins angat mendalam ? 3) bidang kegiatan apa yang terasa sangat mudah Anda palajari? 4) bidang kegiatan apa yang membuat Anda seakan-akan menyatu dengannya ?

Empat pertanyaan di atas harus dipandu oleh misi hidup. Karena, misi hidup inilah yang akan memberikan arah hidup kita? Akan berprofesi apa kita nantinya? Dan akhirnya, sejauh mana kesuksesan hidup yang dapat kita capai?
Inilah yang oleh Stephen R. Covey disebut sebagai "kompas batin" yang hanya bisa dikembangkan melalui proses dan waktu-tidak bisa secara instan.
Menurut Covey, ada tiga pertanyaan yang dapat memandu untuk mengembangkan "kompas batin" ini, yaitu: 1) apakah yang ingin Anda miliki ? 2) bila Anda telah memilikinya, apa yang ingin Anda lakukan (dalam hidup Anda) ? 3) akan menjadi manusia macam apakah Anda kelak (to be) ?

Dengan demikian, orang yang mampu secara spiritual, intelektual dan material, perlu proses pembelajaran secara secara sungguh-sungguh, reguler, berkelanjutan dan sinergis. Tidak kesuksesan hidup yang dicapai secara instant.

Tahun baru adalah saat yang tepat untuk melakukan proses kesabaran, ketekunan dan ketaatan dalam mekakukan pembelajaran itu. Dan upaya niatan untuk melakukan proses pembalajaran itu adalah bagian dari wujud syukur atas nikmat Allah SWT, bahwa kita diiciptakan menjadi pribadi yang kerkelimpahan. Menjadi manusia yang cerdas, kreatif dan memiliki martabat tinggi di antara semua makhluk Allah lainnya. Semoga kita semakin arif dan bijak. Dalam bahasa “petani kentang”, mentalitas berkelimpahan berarti “semakin tipis kulitnya semakin besar isinya”. Dalam bahasa kenabian orang semacam itu disebut, "kaya tanpa harta, kuat tanpa tentara dan menang tanpa bala". Insya Allah.

Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Kamis, 07 Januari 2010

Membangun Rasa Malu


"Diriwayatkan dari Imran bin Husaini, bahwa Nabi bersabda: “Malu itu tidak datang kecuali dengan membawa kebaikan”.

" Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: Iman terdiri daripada lebih dari tujuh puluh bahagian dan malu adalah salah satu dari bahagian-bahagian iman".

Sekarang ini kita merasakan bahwa masyarakat kita semakin tidak memiliki rasa malu. Para wanita semakin berani memamerkan auratnya di depan umum, secara langsung atau tidak langsung, misalnya lewat media cetak atau elektronik. Masyarakat dengan seenaknya membuang sampah di jalan atau di sungai atau selokan saluran air. Para pelajar jan juga mahasiswa kian berani membolos hanya untuk nongkrong di mall atau sekedar jalan-jalan padahal pas waktunya jam pelajaran. Sebagian pemuda kita dengan berani mengkonsumsi narkoba yang telah merambah tidak hanya di kota, tetapi juga talah merembet ke desa-desa. Demikian juga, para pejabat tinggi kita dengan enaknya menilep uang negara, memeras rakyat, menyalahgunakan wewenang, sikat kanan-kiri untuk meraih kekuasaan. Itulah sebagian dari fenomena semakin pudarnya rasa malu di masyarakat kita. Apa akibatnya kini dan di masa depan, jika rasa malu benar-benar hilang dari wajah masyarakat kita? Kehancuran ! Ya kehancuran.

Berbagai persoalan bangsa yang sekarang masih menjerat kehidupan masyarakat, salah satu sebabnya adalah karena masyarakat kita tidak lagi mempunyai rasa malu. Di kalangan pejabat dan para pemimpin rama-rama merampok harta negara dan rakyat. Sekalipun harta mereka rata-rata telah melampaui dari sekedar menjadi “The Have” atau orang kaya, tetapi masih juga tega melakukan korupsi. Para artis/selebritis kita semakin barani menjual kemolekan tubuhnya dengan dalih tuntutan profesi. Para konglomerat/pengusaha dengan teganya memeras tenaga karyawannya untuk memenuhi kerakusannya. Demikian juga, lapisan masyarakat yang masih dijerat kemiskinan, tidak malu lagi meminta-minta di pinggir jalan atau mendatangi dari rumah ke rumah menyadongkan tangannya.

Itulah sebagian wajah masyarakat kita. Mengapa rasa malu menjadi sesuatu yang langka? Mengapa rasa malu menjadi sesuatu yang mahal didapat?
Padahal rasa malu adalah energi yang mampu menjadi filter dalam memilih tindakan yang positif dan bermanfaat untuk meraih kesuksesan atau kemajuan. Rasa malu sekaligus menjadi kontrol diri yang paling efektif sehingga kita bisa meninggalkan tindakan yang merugikan dan tidak bermanfaat.

Karena itu, sejak 15 abad silam Nabi Muhammad SAW memberikan pernyataan yang sangat dalam maknanya, “Malu itu tidak datang kecuali dengan membawa kebaikan”. Hadits yang diriwayatkan oleh Imran bin Husaini radhiyallahu ‘anhu (RA) ini sekaligus memberikan makna tersirat bahwa hilanganya rasa malu pada seseorang, maka akan mendatangkan keburukan, kerusakan dan kehinaan.

Sekarang ini, pernyataan Nabi Muhammad SAW ini mulai menjadi kenyataan dalam kehidupan keseharian masyarakat kita. Bersamaan dengan semakin banyak masyarakat yang tidak lagi memiliki rasa malu, maka berbagai persoalan masyarakat kian menjerat.
Berbagai problem masyarakat, seperti; perampokan harta negara/rakyat oleh para pejabat, vulgarisme para artis yang hanya menonjolkan segi estetika tetapi menafikan aspek etika, media cetak dan elektronik yang cenderung menonjolkan kepentingan ekonomi semata tanpa mengindahkan kepentingan moral, ibu-ibu yang semakin tega memaksa anak bayinya mengkonsumsi susu formula tanpa alasan jelas, kemiskinan ekonomi yang masih menjerat sebagian masyarakat kita, pengangguran dan premanisme yang melanda di berbagai sektor kehidupan, sungguh menjadi kenyataan hidup yang mestinya memalukan. Malu rasanya kita dipimpin oleh pejabat yang suka korupsi, malu rasanya bangsa ini memiliki hutang yang masih menggunung, malu rasanya sebagian anak-anak kita hidup di perempatan jalan sambil menyadongkan tangan, mengemis.

Hanya dengan gerakan budaya malu inilah kiranya pelan-pelan namun pasti, maka keterbelakangan, kemiskinan, ketidak adilan, kerusakan lingkungan dan sebagainya yang menghimpit kehidupan masyarakat kita segera dapat teratasi. Dan kita lahir kembali menjadi masyarakat yang egaliter, kosmopolit, dan beradab. Semoga…!
Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Rabu, 06 Januari 2010

Sabar

Sabar adalah kemampuan seseorang untuk melakukan disposisi secara positif terhadap segala sesuatu kejadian yang dialaminya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ia selalu memandang kejadian yang menimpanya, seperti; dipikir, dilihat, didengar, atau dirasakannya bukanlah sebagai ancaman atau hukuman bagi dirinya, tetapi justru memandangnya sebagai tantangan, bahkan peluang untuk terus mengkaji diri secara mendalam dan memahami makna yang tersurat maupun tersirat dari pengalamannya itu.

Karena itu, orang yang sabar, panampilannya selalu tenang, sejuk, mengesankan dan tidak tergesa-gesa dalam melakukan suatu pekerjaan. Ia selalu berpikir secara sistematis dan mencoba memahami manfaat serta akibat dari apa yang dilakukannya. Dengan kata lain, orang yang sabar itu berarti ia telah mampu melakukan pengaturan diri (self-regulation) terhadap empat aspek dalam pribadinya secara baik, yaitu: 1) kendali diri (self control), yaitu kemampuan mengelola emosi dan desakan (impuls) hati yang merusak, 2) sifat dapat dipercaya (thrustworthiness), 3) kehati-hatian (conscientiousness) atau peka terhadap kata hati nurani, dan 4) ivovasi (innovation), yaitu mudah menerima dan terbuka gagasan, pendekatan dan informasi-informasi baru.
Demikianlah, rahasia yang sebenarnya, mengapa Allah sangat menghargai orang yang sabar. Bahkan secara tegas Allah akan menyertai orang-orang yang sabar, misalnya dapat kita baca dalam ayat berikut:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلاَ تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوْا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ.
Artinya:
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al Anfaal: 46).

Ini berarti bahwa Allah akan memberikan karunianya yang luar biasa kepada orang yang sabar. Karunia itu, dapat berupa keselamatan, kebahagiaan, ketentraman, kesejahteraan, kemulyaan, kesuksesan dan sebagainya yang kesemuanya itu menunjukkan ketinggian derajat seseorang di antara sesamanya dan di hadapan Allah SWT. Hal ini senada dengan sabda Rasulullah SAW:

“…Barang siapa yang bersabar, maka Allah akan menganugerahkannya kesabaran. Seseorang itu tidak dikurniakan sesuatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas selain daripada sabar” (HR. Muttafaqun ‘alaih).

Dalam konteks inilah maka fungsi puasa Ramadhan yang langsung dapat kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari adalah melatih kesabaran. Menahan diri dari makan, minum dan segala sesuatu yang membatalkan selama kira-kira 12 jam, yaitu sejak dari waktu imsak sampai maghrib dan dilakukan selama sebulan adalah tindakan yang sangat efektif untuk melatih kesabaran. Lisan, penglihatan, pendengaran, pikiran, perasaan dan tindakan perlu diatur sedemikian rupa, sehingga dapat berfungsi secara efektif, efisien dan proporsional .
Demikianlah, kesabaran itu dapat menjadi ukuran yang paling jelas bagi tingkat kepribadian seseorang. Orang yang masih sering emosional ketika memecahkan persoalan, selalu tergesa-gesa dalam melakukan pekerjaan dan dan marah ketika keinginannya belum terpenuhi, berarti pribadinya belum matang. Sebaliknya, orang yang sabar dalam kondisi apapun; ketika menerima nikmat, mendapat ujian atau cobaan, bahkan ketika menerima musibah sekalipun, berarti orang tersebut kepribadiannya telah matang. Yaitu pribadi yang mampu tampil secara meyakinkan, penuh percaya diri, mengedepankan pertimbangan nalar dan kreatif-inovatif.
Karena itu, bukanlah sesuatu yang mengada-ada jika Allah memberikan jamainan kesuksesan hidup bagi siapapun hambanya yang dapat sabar, seperti firman-Nya:
وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلاَنِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّار.ِ
Artinya:
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik”. (QS. Ar Ra’ad: 22).

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ.
"Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu; dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu" (QS. Muhammad 31).

وَعَنْ اَنَسٍ رَضِىَاللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّىاللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: اِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ: اِذَابْتَلَيْتُ عَبْدِىْ بِحَبِيْبَتِهِ فَصَبَرَعَوَّضْـتُهُ مِنْهُمَا الْجَنَّةَ, يُرِيْدُعَيْنَيْهِ. (رواه البخرى)
Artinya:
"Sari Anas RA berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah 'Azza wajalla berfirman: "Apabila Aku menguji hambaKu dengan kedua kecintaannya lalu ia sabar dari keduanya itu Aku ganti dengan sorga" Dia kehendaki dua atanya" (HR. Bukhari)

Akhirnya, semoga kita dapat benar-benar membakar semua sikap, sifat dan perlilaku negatif yang ada pada diri kita dan dapat tumbuh sifat sabar yang akan membuka pintu kebaikan, kemulyaan dan keselamatan hidup dunia-akhirat. Wallahu a’lam.


Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Jumat, 01 Januari 2010

Belajar Mengenal Alam Sejak Dini

Hari Jumat, 1 Januari 2010 adalah hari yang ditunggu-tungu lama oleh para keluarga yang tergabung di komunitas eks-Kohati Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Yogyakarta, khususnya putra-putri mereka. Hari pertama tahun 2010 itu diimpikan menjadi hari pembuka tahun yang menyenangkan, menggembirakan, penuh canda-ria, penuh kekeluargaan, kebersamaan dan luar biasa.

Betul...sejak sampai menginjakkan kaki di kawasan Kebun Penetilian dan pendidikan Pertanian UGM di Berbah Sleman, anak-anak semua ceria, saling bersalaman, saling bercanda sambil menunggu acara demia acara outbond dimulai. Sampai pukul 09.00 acara telah berkumpul 22 anak yang seterusnya menjadi peserta tetap Outbond generasi baru Eks Kohati 2010. Sementara itu, bapak/Ibu yang ikut mengantar antara lain: Zuhriyah (Pimpro), Nunik-mas Farid, Pak Hamim-Yanti, Somiyatun-pak Muslihin, Mahlani-alina niha, Bapak-Ibu Umam, Bapak-ibu Haris, Bapak-Ibu Wakijo, dll.
Generasi kecil calon penerus perjuangan ini antara lain: Zainab, Fakhri, Niha, Arin, Fidaus, Ading, Akmal, Sadid, Elan, Hanif, Faris, Akrom, Hanan, Fahmi, Iqbal, Bela, Ifah, Rifa, Aya, Azka, Ilma, dll.

Acara diawali dengan pemanasan dan perkenalan peserta, kemudian dilanjutkan dengan train balon, sibuta, flying fox dan diakhiri dengan panen rambutan bersama.

Semua ceria, bergembira, tertawa dan bermain bersama. Lebih-lebih ketika di sungai. Sambil menunggu giliran flying fox, peserta nyebur kesungai semua, bermain air, batu, ciprat-cipratan dan seterusnya...asyik sekali. Tranernya sampai bingung, karena peserta asik bermain sendiri...
Benar bahwa outbond merupakan media sangat efektif bagi anak-anak untuk tumbuh kembangnya keberanian, empati, kerja sama, kreatifitas, dan mengenal arti hidup yang sebenarnya. Dengan bermain di sungai, mereka sekaligus memahami betapa air, batu, lumpur, dll adalah makhluk Allah SWT yang sangat berguna. Semua itu merupakan teman bermain yang sarat makna - ketimbang berbagai permainan buatan dari plastik yang sekarang ini memenuhi ruangan rumah kita.

Mengenal alam, mengenal diri dan mengenal orang lain adalah tahap awal bagi anak untuk mengeksplorasi potensi kreatifnya yang luar biasa untuk diaktualisasikan menjadi sebuah gerakan tubuh, dalam bentuk bercakap-cakap, kreatifitas membuat karya, dan bersosialisasi dengan sesama teman. Selamat...berbahagia
Selengkapnya...



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO